Apa Hukum Salat Kafarat dalam Islam?

Jum'at, 05 April 2024 - 16:00 WIB
loading...
Apa Hukum Salat Kafarat dalam Islam?
Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai kebolehan atau ketidakbolehan melaksanakan salat kafarat ini. Foto ilustrasi/ist
A A A
Pembahasan mengenai praktek salat kafarat atau salat al-bara'ah selalu muncul setiap tahun, menjelang akhir Ramadan. Salat ini terdiri dari serangkaian rakaat, sama dengan jumlah rakaat salat fardhu, mulai dari subuh hingga isya, yakni sebanyak 17 rakaat. salat kafarat dilakukan dengan niat untuk menggantikan salat fardhu yang ditinggalkan atau diragukan keabsahannya.

Bahkan, beberapa orang meyakini bahwa tradisi melaksanakan salat kafarat pada Jumat terakhir Ramadan dapat menghapuskan dosa-dosa salat yang ditinggalkan selama 70 tahun, serta dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam salat akibat waswas.

Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai kebolehan atau ketidakbolehan melaksanakan salat kafarat ini. Masing-masing ulama menyampaikan dalil dan argumentasi mereka. Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) Jawa Barat, Ustadz Mohammad Mubasysyarum Bih, menyebutkan beberapa pandangan ulama mengenai tradisi salat kafarat ini.

Pandangan yang melarang salat kafarat:

Beberapa ulama berpendapat bahwa salat kafarat pada Jumat terakhir Ramadhan tidak memiliki tuntunan yang jelas dari hadits Nabi atau kitab-kitab hukum Islam. Oleh karena itu, melaksanakan salat kafarat dianggap sebagai usaha untuk mensyariatkan ibadah yang tidak diwajibkan atau melaksanakan ibadah yang tidak sesuai syariat. Penentuan waktu pelaksanaan salat kafarat pada Jumat terakhir bulan Ramadan tidak didasarkan pada dalil yang jelas dalam syariat. Ada keterangan yang jelas dari pakar fikih otoritatif dari ulama mazhab Syafi'i, Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, yang menyatakan bahwa salat kafarat pada Jumat terakhir Ramadan adalah haram, bahkan bisa dikategorikan sebagai kufur.

Pandangan ini direspons oleh Syekh Abdul Hamid al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, yang menyatakan bahwa salat kafarat bertentangan dengan semua mazhab. Hadits mengenai salat kafarat tidak dapat dijadikan dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.

Pandangan yang memperbolehkan slat kafarat pada Jumat terakhir Ramadan:

Pendapat Al-Qadli Husain yang mengqadha salat fardhu yang diragukan keabsahannya. Pendapat ini ditulis oleh Syekh Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiyah al-Jamal. "Al-Qadli Husain menyatakan, jika seseorang mengqadha salat fardhu yang ditinggalkan dengan keraguan, maka diharapkan salat tersebut dapat menghapuskan kekurangan dalam salat fardhu atau minimal dianggap sebagai salat sunah. Saya mendengar bahwa beberapa sahabatnya Bani Ashim menyatakan, bahwa mereka mengqadha seluruh slat sepanjang hidupnya sekali saja dan mulai mengqadhanya lagi untuk yang kedua kalinya. Al-Ghuzzi menyatakan, ini adalah manfaat besar yang jarang dikutip oleh ulama."

Sementara itu, Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi salat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf menyatakan bahwa jika terdapat keraguan dalam ibadah terkait tubuh atau harta, maka niat qadhanya bisa ditangguhkan; jika memang ada tanggungan, maka menjadi wajib, jika tidak, maka menjadi sunah.

Para ulama berpendapat bahwa ketika seseorang tidak yakin akan keabsahan salat yang baru saja dilakukan, apalagi salat yang dilakukan di masa lalu, maka saat kafarat dilarang karena adanya kekhawatiran bahwa salat tersebut cukup untuk menggantikan seluruh salat yang ditinggalkan selama setahun. Namun, para ulama berpendapat bahwa ketika kekhawatiran tersebut hilang, maka hukum haram atas salat kafarat juga hilang.

Mengikuti praktik-praktik dari para ulama besar dan wali Allah yang mahir dalam mengenal Tuhan, seperti Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, dan banyak lagi, sholat kafarat pada Jumat terakhir Ramadan rutin dilakukan dan didukung oleh para ulama di Yaman. Bahkan, di Masjid Zabid Yaman, slat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah. Oleh karena itu, mengikuti praktik-praktik dari para wali dan ulama yang ahli dalam mengenal Tuhan, meskipun tidak ada dalil yang jelas dari hadits Nabi, sudah cukup menjadi argumen untuk memperbolehkan salat kafarat ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin yang dikutip dalam Kasyf al-Khafa’.

"Diantara masyarakat, ketika mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi yang tertulis dalam kitab syariat, mereka menyampaikan hati mereka kepada Rasul, jika mereka berada di hadapan Nabi, mereka bertanya padanya dan mengamalkan apa yang disampaikan oleh Nabi, tetapi ini khusus untuk para ulama sufi," demikian penjelasan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani.

Dari berbagai pandangan tersebut, baik yang memperbolehkan maupun yang melarang, Ustadz Mubasysyarum Bih menegaskan bahwa keyakinan bahwa salat, baik disengaja atau lupa, adalah mengqadhanya satu per satu, hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sementara salat kafarat dimaksudkan hanya sebagai langkah pencegahan semata.



Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1274 seconds (0.1#10.140)