Tukang Ramal dan Ramalannya, Begini Hukumnya dalam Islam
loading...
A
A
A
Di jagat maya, tukang ramal atau peramal berseliweran dengan jumlah follower yang cukup banyak. Eksistensi mereka kian populer untuk menanyakan segala sesuatu yang belum terjadi, mulai dari percintaan, ekonomi hingga dunia politik. Bagaimana Islam memandang tentang kondisi tersebut?
Tukang ramal atau ‘arraf yaitu orang yang mengaku mengetahui tentang suatu hal dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian, atau tempat barang hilang dan semacamnya. Sering disebut sebagai tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan sejenisnya.
Di dalam Shahiihul Bukhari, dari hadis ‘Aisyah ra bahwa ia pernah berkata: “Abu Bakar ra pernah memiliki seorang budak laki-laki yang makan dari upah yang diberikannya. Suatu hari budak itu datang menemuinya dengan membawa makanan. Lalu Abu Bakar ra memakannya.
Budak itu tiba-tiba berkata kepadanya: ‘Tahukah engkau dari mana aku mendapatkan makanan itu?’
Abu Bakar balik bertanya: ‘Dari mana?’
Budak itu menjawab: ‘Dahulu di masa Jahiliyyah aku pernah berlagak meramal untuk seseorang, padahal aku tidak bisa meramal. Aku sengaja menipunya. Lalu dia menjumpaiku lagi dan memberiku upah itu. Itulah yang engkau makan tadi.’
Serta merta Abu Bakar ra memasukkan jari tangannya ke dalam mulut, sehingga ia memuntahkan seluruh isi perutnya.” (HR Bukhari)
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin dalam Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid menjelaskan bahwa bertanya kepada ‘arrâf (dukun) dan semacamnya ada beberapa macam:
Wallahu A'lam
Tukang ramal atau ‘arraf yaitu orang yang mengaku mengetahui tentang suatu hal dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian, atau tempat barang hilang dan semacamnya. Sering disebut sebagai tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan sejenisnya.
Di dalam Shahiihul Bukhari, dari hadis ‘Aisyah ra bahwa ia pernah berkata: “Abu Bakar ra pernah memiliki seorang budak laki-laki yang makan dari upah yang diberikannya. Suatu hari budak itu datang menemuinya dengan membawa makanan. Lalu Abu Bakar ra memakannya.
Budak itu tiba-tiba berkata kepadanya: ‘Tahukah engkau dari mana aku mendapatkan makanan itu?’
Abu Bakar balik bertanya: ‘Dari mana?’
Budak itu menjawab: ‘Dahulu di masa Jahiliyyah aku pernah berlagak meramal untuk seseorang, padahal aku tidak bisa meramal. Aku sengaja menipunya. Lalu dia menjumpaiku lagi dan memberiku upah itu. Itulah yang engkau makan tadi.’
Serta merta Abu Bakar ra memasukkan jari tangannya ke dalam mulut, sehingga ia memuntahkan seluruh isi perutnya.” (HR Bukhari)
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin dalam Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid menjelaskan bahwa bertanya kepada ‘arrâf (dukun) dan semacamnya ada beberapa macam:
1. Sekadar bertanya saja
Ini hukumnya haram.Berdasarkan hadis: “Barangsiapa mendatangi ‘arrâf…”. Penetapan hukuman terhadap pertanyaannya menunjukkan terhadap keharamannya. Karena tidak ada hukuman kecuali terhadap perkara yang diharamkan.2. Bertanya kepada dukun, meyakininya, dan menganggap (benar) perkataannya.
Ini kekafiran, karena pembenarannya terhadap dukun tentang pengetahuan ghaib, berarti mendustakan terhadap Al-Qur’an.3. Bertanya kepada dukun untuk mengujinya, apakah dia orang yang benar atau pendusta, bukan untuk mengambil perkataannya.
Maka ini tidak mengapa, dan tidak termasuk (larangan) dalam hadis (di atas). Karena Nabi SAW pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad untuk mengujinya.4. Bertanya kepada dukun untuk menampakkan kelemahan dan kedustaannya
Ini terkadang (hukumnya) wajib atau dituntut.Wallahu A'lam
(wid)