Ibadah Haji dan Nilai-Nilai Kemanusiaan Menurut Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan haji pada hakikatnya menjalankan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satunya, kemanusiaan yang mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan.
"Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi," tulis Quraish Shihab dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Makna-makna tersebut, kata Quraish Shihab, dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di antaranya.
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram.
Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-Qur'an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya.
Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya.
Di Miqat Makani di tempat di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan.
Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. "Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan).
Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya.
Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini.
Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang di sisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan.
Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya.
Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani.
Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
Ketiga, Kakbah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Kakbah ini pernah berada dalan pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan usahanya untuk menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
"Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi," tulis Quraish Shihab dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Makna-makna tersebut, kata Quraish Shihab, dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di antaranya.
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram.
Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-Qur'an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya.
Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya.
Di Miqat Makani di tempat di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan.
Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. "Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan).
Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya.
Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini.
Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang di sisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan.
Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya.
Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani.
Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
Ketiga, Kakbah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Kakbah ini pernah berada dalan pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan usahanya untuk menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.