Kisah Abdullah bin Mubarak, Ulama yang Batal Berangkat Haji demi Sedekah ke Keluarga Miskin
loading...
A
A
A
Melainkan, mana yang penting dan mana yang lebih penting. Dalam fiqih prioritas (al fiqh al awlawi), derajat urgensi suatu ibadah bervariasi, yang satu lebih utama daripada yang lain.
Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.
Kisah tersebut juga memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan, ketika belum mampu berangkat haji karena keterbatasan ekonomi atau halangan lainnya.
Selain memikirkan bagaimana memenuhi kewajiban suatu ibadah, seseorang juga diharuskan memikirkan mana yang lebih prioritas untuk dilaksanakan. Karena itulah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu.
Islam, misalnya, tidak pernah mewajibkan orang miskin berangkat haji ketika ia sendiri masih kesulitan menunaikan kewajiban lain seperti menafkahi anak dan istrinya. Tidak dianjurkan juga baginya memaksakan diri secara berlebihan, hingga menjual aset-aset dasar seperti rumah atau sawah tempatnya mencari nafkah untuk keperluan itu.
Meski demikian, seseorang tetap diharuskan ikhtiar agar dapat melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana salat lima waktu dan zakat, haji adalah salah satu rukun Islam. Jika masuk kategori mampu, baik dari segi fisik, ekonomi, maupun keamanan, seseorang wajib menunaikannya tanpa menunda-nunda.
Kewajiban tetaplah kewajiban, meskipun kita harus memilih satu kewajiban prioritas saat dihadapkan dengan pilihan beberapa kewajiban yang mesti dipenuhi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. (QS Ali Imran: 97).
Pelajaran kedua, Abdullah bin Mubarak telah melaksanakan “al-birru” atau kebajikan yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya. (QS Ali ‘Imran: 92)
“Al-birru” merupakan derivasi dari kata barra-yabirru yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata ini terbentuk istilah mabrur. Haji mabrur dengan demikian bukan semata soal pelaksanaan rukun dan wajib haji beserta hal-hal teknis lainnya. Tapi juga bagaimana haji membentuk pribadi yang al-barr, yakni bajik secara sosial.
Pemilik predikat haji mabrur tidak hanya meningkat ibadahnya melainkan juga meningkat kepeduliannya terhadap persoalan di sekelilingnya sepulang dari haji. Artinya, substansi mabrur ada pada akhlak dan karenanya tidak heran jika Abdullah bin Mubarak mendapat kemuliaan meski belum berangkat ke Tanah Suci karena rasa kemanusiaan dan kepedulian sosialnya yang tinggi.
Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.
Kisah tersebut juga memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan, ketika belum mampu berangkat haji karena keterbatasan ekonomi atau halangan lainnya.
Selain memikirkan bagaimana memenuhi kewajiban suatu ibadah, seseorang juga diharuskan memikirkan mana yang lebih prioritas untuk dilaksanakan. Karena itulah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu.
Islam, misalnya, tidak pernah mewajibkan orang miskin berangkat haji ketika ia sendiri masih kesulitan menunaikan kewajiban lain seperti menafkahi anak dan istrinya. Tidak dianjurkan juga baginya memaksakan diri secara berlebihan, hingga menjual aset-aset dasar seperti rumah atau sawah tempatnya mencari nafkah untuk keperluan itu.
Meski demikian, seseorang tetap diharuskan ikhtiar agar dapat melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana salat lima waktu dan zakat, haji adalah salah satu rukun Islam. Jika masuk kategori mampu, baik dari segi fisik, ekonomi, maupun keamanan, seseorang wajib menunaikannya tanpa menunda-nunda.
Kewajiban tetaplah kewajiban, meskipun kita harus memilih satu kewajiban prioritas saat dihadapkan dengan pilihan beberapa kewajiban yang mesti dipenuhi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. (QS Ali Imran: 97).
Pelajaran kedua, Abdullah bin Mubarak telah melaksanakan “al-birru” atau kebajikan yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya. (QS Ali ‘Imran: 92)
“Al-birru” merupakan derivasi dari kata barra-yabirru yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata ini terbentuk istilah mabrur. Haji mabrur dengan demikian bukan semata soal pelaksanaan rukun dan wajib haji beserta hal-hal teknis lainnya. Tapi juga bagaimana haji membentuk pribadi yang al-barr, yakni bajik secara sosial.
Pemilik predikat haji mabrur tidak hanya meningkat ibadahnya melainkan juga meningkat kepeduliannya terhadap persoalan di sekelilingnya sepulang dari haji. Artinya, substansi mabrur ada pada akhlak dan karenanya tidak heran jika Abdullah bin Mubarak mendapat kemuliaan meski belum berangkat ke Tanah Suci karena rasa kemanusiaan dan kepedulian sosialnya yang tinggi.
(wid)