Penaklukan Yerusalem: Isi Perjanjian Khalifah Umar dengan Pihak Gereja
loading...
A
A
A
Khalifah Umar bin Khattab membuat perjanjian dengan para utusan Severinus, Uskup Agung Baitulmukadas , atas dasar perjanjian Damsyik. Bahkan perjanjian damai itu lebih longgar. Mereka membuat perjanjian tertulis yang oleh sejarawan Ibnu Jarir ath-Thabari dikutip sebagai berikut:
“Bismillahir-rahmanir-rahim. Inilah jaminan yang telah diberikan oleh hamba Allah Umar Amirulmukminin kepada pihak Aelia: Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka, untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, bagi yang sakit dan yang sehat dan bagi kelompok agama yang lain.
Gereja-gereja mereka tak boleh ditempati atau dirobohkan, tak boleh ada yang dikurangi apa pun dari dalamnya atau yang berada dalam lingkungannya, baik salib mereka atau harta benda apa pun milik mereka."
Mereka tak boleh dipaksa dalam hal agama mereka atau mengganggu siapa pun dari mereka. Tak boleh ada orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Aelia.
Penduduk Aelia harus membayar jizyah seperti yang dilakukan oleh penduduk Mada’in. Mereka harus mengeluarkan orang-orang Romawi dan pencuri-pencuri.
Mereka yang keluar akan dijamin jiwa dan hartanya hingga sampai ke tempat tujuan mereka yang aman. Barang siapa ada yang tinggal di antara mereka, keamanan mereka tetap dijamin, dan kewajiban mereka membayar jizyah sama dengan kewajiban penduduk Aelia.
Barang siapa dari penduduk Aelia yang ingin pergi atas tanggungan sendiri dan hartanya sendiri bersama pihak Romawi dan meninggalkan rumah-rumah ibadah mereka dan salib-salib mereka, maka mereka yang bertanggung jawab atas diri mereka, rumah-rumah ibadah dan salib-salib mereka untuk sampai ke tempat tujuan yang aman.
Bagi penduduk yang ada di tempat itu, barang siapa ingin tetap tinggal, maka mereka berkewajiban membayar jizyah seperti penduduk Aelia.
Barang siapa mau pergi bersama pihak Romawi bolehlah mereka pergi, dan barang siapa mau kembali kepada keluarganya kembalilah. Tak boleh ada yang diambil dari mereka sebelum mereka selesai memetik hasil panennya.
Segala apa yang ada dalam surat perjanjian ini, merupakan janji dengan Allah, dengan jaminan Rasul-Nya, para khalifah dan jaminan orang-orang beriman, kalau mereka sudah membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka.”
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menjelaskan Khalifah Umar bin Khattab menutup surat perjanjian itu dengan tanda tangannya, disaksikan oleh Khalid bin Walid, Amr bin As, Abdur-Rahman bin Auf dan Mu’awiah bin Abi Sufyan.
Sekadar mengingatkan Aelia aalah koloni Romawi, yang dibangun di bawah kepemimpinan Kaisar Hadrian di wilayah Yerusalem. Aelia masih menjadi nama resmi Yerusalem sampai tahun 638 Masehi ketika tentara Arab menaklukan kota tersebut dan mengganti namanya menjadi Iliya.
Utusan Severinus itu kembali dengan membawa surat tersebut ke Yerusalem. Uskup itu sangat gembira dengan hasil perjanjian itu, demikian juga semua penduduk kota.
Bagaimana mereka tidak akan gembira, kata Haekal, pihak Muslimin mengakui keberadaan mereka, memberikan jaminan keamanan atas harta, jiwa dan kepercayaan mereka, tak seorang pun boleh diganggu karena keyakinan agamanya, tak boleh dipaksa dalam keadaan apa pun.
Mereka sangat gembira karena perjanjian itu membolehkan siapa pun dari penduduk untuk meninggalkan kota dan pergi bersama orang-orang Romawi, dan siapa pun dari orang-orang Romawi dan orang-orang asing yang tinggal di kota itu boleh untuk tetap tinggal dengan aman; tak ada keharusan apa pun bagi mereka selain jizyah sebagai imbalan keabsahan dan jaminan keamanan bagi mereka.
Alangkah besarnya perbedaan ini dengan keinginan Heraklius yang hendak memaksa penduduk kota harus meninggalkan keyakinan ajaran mereka dan harus mengikuti ajaran negara yang resmi; barang siapa menolak dipotong hidung dan telinganya, dan rumahnya harus dirobohkan!
Sungguh, perjanjian ini merupakan zaman baru yang dibukakan oleh Allah bagi umat Nasrani Yerusalem. Itulah perjanjian yang tak pernah mereka rasakan dalam sejarah dan yang semacam ini tak pernah ada cita-cita semacam itu pada mereka.
Menyebar
Berita tentang perjanjian Khalifah Umar bin Khattab dengan Uskup Agung Baitulmukadas, Severinus, tersiar di kalangan penduduk Ramallah. Yakni sebuah kota yang berada di pusat Tepi Barat, Palestina. Terletak 10 kilometer di utara kota Yerusalem Timur.
Mereka berusaha mempelajari karena ingin membuat perjanjian serupa dengan Amirulmukminin. Begitu juga dengan yang lain di Palestina .
Pihak Lad juga sudah berhasil membuat perjanjian dengan Khalifah Umar yang berlaku untuk mereka dan kota mereka yang kemudian masuk dalam perjanjian itu.
Dalam perjanjian itu kepada pihak Lad Umar memberikan jaminan keamanan bagi jiwa dan harta mereka, gereja-gereja dan salib-salib mereka serta bagi mereka yang sakit dan yang sehat serta kelompok- kelompok sekte mereka yang lain.
Tak ada yang boleh dipaksa dalam soal agama mereka dan tak seorang pun dari mereka boleh diganggu, mereka hanya harus membayar jizyah seperti yang dilakukan oleh kota-kota lain di Syam. Selesai Amirulmukminin mengerjakan semua itu, untuk Palestina Umar menempatkan orang yang dibagi dua bagian.
Alqamah bin Hakim untuk Ramallah dan sekitarnya, dan Alqamah bin Mujazziz untuk Aelia dan sekitarnya.
“Bismillahir-rahmanir-rahim. Inilah jaminan yang telah diberikan oleh hamba Allah Umar Amirulmukminin kepada pihak Aelia: Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka, untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, bagi yang sakit dan yang sehat dan bagi kelompok agama yang lain.
Gereja-gereja mereka tak boleh ditempati atau dirobohkan, tak boleh ada yang dikurangi apa pun dari dalamnya atau yang berada dalam lingkungannya, baik salib mereka atau harta benda apa pun milik mereka."
Mereka tak boleh dipaksa dalam hal agama mereka atau mengganggu siapa pun dari mereka. Tak boleh ada orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Aelia.
Penduduk Aelia harus membayar jizyah seperti yang dilakukan oleh penduduk Mada’in. Mereka harus mengeluarkan orang-orang Romawi dan pencuri-pencuri.
Mereka yang keluar akan dijamin jiwa dan hartanya hingga sampai ke tempat tujuan mereka yang aman. Barang siapa ada yang tinggal di antara mereka, keamanan mereka tetap dijamin, dan kewajiban mereka membayar jizyah sama dengan kewajiban penduduk Aelia.
Barang siapa dari penduduk Aelia yang ingin pergi atas tanggungan sendiri dan hartanya sendiri bersama pihak Romawi dan meninggalkan rumah-rumah ibadah mereka dan salib-salib mereka, maka mereka yang bertanggung jawab atas diri mereka, rumah-rumah ibadah dan salib-salib mereka untuk sampai ke tempat tujuan yang aman.
Bagi penduduk yang ada di tempat itu, barang siapa ingin tetap tinggal, maka mereka berkewajiban membayar jizyah seperti penduduk Aelia.
Barang siapa mau pergi bersama pihak Romawi bolehlah mereka pergi, dan barang siapa mau kembali kepada keluarganya kembalilah. Tak boleh ada yang diambil dari mereka sebelum mereka selesai memetik hasil panennya.
Segala apa yang ada dalam surat perjanjian ini, merupakan janji dengan Allah, dengan jaminan Rasul-Nya, para khalifah dan jaminan orang-orang beriman, kalau mereka sudah membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka.”
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menjelaskan Khalifah Umar bin Khattab menutup surat perjanjian itu dengan tanda tangannya, disaksikan oleh Khalid bin Walid, Amr bin As, Abdur-Rahman bin Auf dan Mu’awiah bin Abi Sufyan.
Sekadar mengingatkan Aelia aalah koloni Romawi, yang dibangun di bawah kepemimpinan Kaisar Hadrian di wilayah Yerusalem. Aelia masih menjadi nama resmi Yerusalem sampai tahun 638 Masehi ketika tentara Arab menaklukan kota tersebut dan mengganti namanya menjadi Iliya.
Utusan Severinus itu kembali dengan membawa surat tersebut ke Yerusalem. Uskup itu sangat gembira dengan hasil perjanjian itu, demikian juga semua penduduk kota.
Bagaimana mereka tidak akan gembira, kata Haekal, pihak Muslimin mengakui keberadaan mereka, memberikan jaminan keamanan atas harta, jiwa dan kepercayaan mereka, tak seorang pun boleh diganggu karena keyakinan agamanya, tak boleh dipaksa dalam keadaan apa pun.
Mereka sangat gembira karena perjanjian itu membolehkan siapa pun dari penduduk untuk meninggalkan kota dan pergi bersama orang-orang Romawi, dan siapa pun dari orang-orang Romawi dan orang-orang asing yang tinggal di kota itu boleh untuk tetap tinggal dengan aman; tak ada keharusan apa pun bagi mereka selain jizyah sebagai imbalan keabsahan dan jaminan keamanan bagi mereka.
Baca Juga
Alangkah besarnya perbedaan ini dengan keinginan Heraklius yang hendak memaksa penduduk kota harus meninggalkan keyakinan ajaran mereka dan harus mengikuti ajaran negara yang resmi; barang siapa menolak dipotong hidung dan telinganya, dan rumahnya harus dirobohkan!
Sungguh, perjanjian ini merupakan zaman baru yang dibukakan oleh Allah bagi umat Nasrani Yerusalem. Itulah perjanjian yang tak pernah mereka rasakan dalam sejarah dan yang semacam ini tak pernah ada cita-cita semacam itu pada mereka.
Menyebar
Berita tentang perjanjian Khalifah Umar bin Khattab dengan Uskup Agung Baitulmukadas, Severinus, tersiar di kalangan penduduk Ramallah. Yakni sebuah kota yang berada di pusat Tepi Barat, Palestina. Terletak 10 kilometer di utara kota Yerusalem Timur.
Mereka berusaha mempelajari karena ingin membuat perjanjian serupa dengan Amirulmukminin. Begitu juga dengan yang lain di Palestina .
Pihak Lad juga sudah berhasil membuat perjanjian dengan Khalifah Umar yang berlaku untuk mereka dan kota mereka yang kemudian masuk dalam perjanjian itu.
Dalam perjanjian itu kepada pihak Lad Umar memberikan jaminan keamanan bagi jiwa dan harta mereka, gereja-gereja dan salib-salib mereka serta bagi mereka yang sakit dan yang sehat serta kelompok- kelompok sekte mereka yang lain.
Tak ada yang boleh dipaksa dalam soal agama mereka dan tak seorang pun dari mereka boleh diganggu, mereka hanya harus membayar jizyah seperti yang dilakukan oleh kota-kota lain di Syam. Selesai Amirulmukminin mengerjakan semua itu, untuk Palestina Umar menempatkan orang yang dibagi dua bagian.
Alqamah bin Hakim untuk Ramallah dan sekitarnya, dan Alqamah bin Mujazziz untuk Aelia dan sekitarnya.
(mhy)