Beriringan, Hukum Negara dan Agama

Sabtu, 22 Agustus 2020 - 06:45 WIB
loading...
Beriringan, Hukum Negara...
Larangan pernikahan dini dengan pembatasan usia tertentu jangan sampai bertentangan dengan syariat Islam. Foto ilustrasi/muslimvillage
A A A
Hukum pernikahan adalah sunnah. Dalam sebuah hadis yang panjang, ketika sekelompok orang mendatangi salah satu rumah istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (SAW). Kemudian mereka menanyakan tentang ibadah Rasulullah maka mereka merasa harus melebihi ibadah Nabi SAW. Maka salah seorang di antara mereka menyatakan bahwa tidak akan menikahi wanita (agar diberi pahala seperti ibadah Nabi SAW).

Ketika sampai berita itu pada Rasulullah SAW menjawab:

لكنياصوموأفطرواصليوارقدواتزوجالنساء،فمنرغبعنسنتيفليسمني (رواهالبخاري)

"Namun aku berpuasa kemudian berbuka, aku salat kemudian aku istirahat (tidur),dan aku menikahi perempuan. Maka siapa yang membenci sunnahku, ia bukan termasuk golonganku." (HR Bukhari).

Ya, tujuan pernikahan adalah untuk kemashlahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan bagi kehamilan yang berkah dan sehat. Kehidupan pernikahan menurut syariat Islam adalah mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Islam juga mengatur standar kedewasaan untuk menikah terhindar dari pelanggaran syariat Islam seperti tindakan Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ketika terjadi persoalan antar suami-istri, serta terhindar dari perceraian. (Baca juga : Perlu Pendidikan Agar Tak Timbul Mudharat )

Artinya, usia pernikahan perlu diatur agar tercipta kedewasaan dalam membina maghligai rumah tangga. Pernikahan anak usia dini sebenarnya tidak diperkenankan menurut UU Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebut, "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

"Jika pernikahan anak usia dini diatur dalam hukum negara, bagaimana dengan hukum Islam?" Menurut syariat Islam, usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub). Islam tidak menentukan batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap menerima pembebanan hukum Islam .

Sebuah hadis menjelaskan :

“(Bahwa) telah menceritakan kepada kami (Abu Bakr bin Abu Syaibah) dan (Abu Kuraib) keduanya berkata : telah menceritakan kepada kami (Abu Mu’awiyah) dari (Al A’masy) dari (Umarah bin Umair) dari (Abdurrahman bin Yazid] dari (Abdullah) ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah mampu memikul beban (rumah tangga), maka menikahlah. Karena sesungguhnya, pernikahan itu lebih menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai (akan meredakan gejolak hasrat seksual).” (HR Muslim).

Hadis ini disampaikan Rasulullah SAW ketika datang menemuinya beberapa orang diantaranya ada pemuda. Setelah mendengarkan perkataan Rasulullah, para pemuda itu pun menikah. Hal ini diceritakan dalam lanjutan hadis di atas :

"Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Umarah bin Umair dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata : Aku bersama pamanku Alqamah pernah masuk menemui Abdullah bin Mas’ud, yang pada saat itu aku adalah seorang pemuda. Maka ia pun menyebutkan suatu hadis yang menurutku, ia menuturkan hadis karena karena melihatku sebagai seorang pemuda. Ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Yakni sebagaimana hadisnya Abu Mu’awiyah. Dan menambahkan, “Maka tidak lama kemudian aku menikah.”

Dalam syarah tentang hadis ini, para ulama menjelaskan tentang usia berapakah yang terkategori pemuda. Az Zamakhsyari, Ibnu Abbas Al Maliki berpendapat, pemuda adalah akil baligh hingga usia 40 tahun. Imam An Nawawi berkata pilihan paling tepat adalah ketika baligh hingga usia 30 tahun, setelah itu tua hingga melampaui 40 tahun, selanjutnya tua renta. Ar Ruyani berpendapat baligh hingga sampai usia 30 tahun. Ketika lebih dari 50 tahun maka disebut tua.

Rentang usia muda kira-kira 16 hingga 50 tahun. Masing-masing akan mengembalikan pada kesanggupan diri mereka dalam memikul beban berumah tangga. Setiap manusia tentu berbeda,tergantung individunya. Namun kelengkapan aturan pergaulan Islam, mulai dari memaknai usia baligh, pemisahan tempat pertemuan pria dan wanita di tempat area yang khusus, menjaga pandangan, menutup aurat, hingga larangan berdua-duaan tanpa mahram perempuan itu, akan menjaga pergaulan. (Baca juga : Cahaya Keimanan Menyatukan Kembali Cinta yang Lama Terpisah )

Belum lagi sanksi tegas bagi pelaku zina, sekaligus bagi penuduh zina tanpa bukti, akan mempertegas penjagaan bersihnya sistem pergaulan pria dan wanita. Dengan demikian, jika seorang pemuda belum mampu menikah, ia tidak sulit untuk menjaga kesuciannya.

Dalam hadis di awal disebutkan bahwa dengan pernikahan maka akan lebih menjaga pandangan dan menjaga kemaluan (اغضللبصرواحصنللفرج). Ini menunjukkan di luar pernikahan, wajib menjaga pandangan dan kemaluan. Interaksi yang mengumbar naluri seksual (sillah jinsiyah) hanya boleh terjadi antara dua insan berlainan jenis yang telah diikat dengan akad pernikahan.

Interaksi dalam masyarakat harus terjaga keamanan hubungannya, terjaga ikatan kerja sama antar manusia (sillah insaniyah).

Dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman:

قُللِّلْمُؤْمِنِينَيَغُضُّوا۟مِنْأَبْصَٰرِهِمْوَيَحْفَظُوا۟فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَأَزْكَىٰلَهُمْ ۗ إِنَّٱللَّهَخَبِيرٌۢبِمَايَصْنَعُونَ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS An Nur : 30)

Dan ayat :
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2949 seconds (0.1#10.140)