Al-Qur'an Tegas Melarang Perkawinan dengan Orang Musyrik

Jum'at, 28 Juni 2024 - 13:25 WIB
loading...
Al-Quran Tegas Melarang Perkawinan dengan Orang Musyrik
Prof Quraish Shihab. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996) mengatakan Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2) :

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman."

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.

"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman" (QS A1-Baqarah [2]: 221).



Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen ), yakni surat Al-Maidah (51) : 5 yang menyatakan,

"Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS Al-Maidah [5]: 5).

Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan:

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."

Menurut Quraish, pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun akidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan akidah Islam, tetapi Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai orang-orang musyrik.

Firman Allah dalam surat Al-Bayyinah (98) : 1 dijadikan salah satu alasannya.

"Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata" (QS Al-Bayyinah [98]: 1).



Ayat ini menjadikan orang kafir terbagi dalam dua kelompok berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin. Perbedaan ini dipahami dari kata "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung makna "menghimpun dua hal yang berbeda."

Quraish mengatakan larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim--termasuk pria Ahl Al-Kitab-- diisyaratkan oleh Al-Quran.

Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.

Larangan perkawinan antarpemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.

Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.

Memang, kata Quraish, ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa as adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam-- dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya,

"Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku". ( QS Al-Kafirun [109] : 6).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1626 seconds (0.1#10.140)
pixels