Muharram Apakah Sama Dengan Suro? Begini Penjelasan

Jum'at, 05 Juli 2024 - 08:53 WIB
loading...
Muharram Apakah Sama Dengan Suro? Begini Penjelasan
Orang Jawa memandang bulan Suro sama istimewanya dengan bulan Muharram dalam Islam ketika amal kebaikan harus ditingkatkan. Foto ilustrasi/freepik
A A A
Muharram apakah sama dengan Suro ? Adakah kesamaan perayaan tahun baru Islam tersebut dengan perayaan Kalender Jawa kuno ini?

Seperti diketahui, umat Islam di seluruh dunia akan merayakan tahun baru hijriah pada 1 Muharram dan dalam kalender masehi akan jatuh pada 7 Juli 2024. Sedangkan dalam Masyarakat Jawa, ternyata juga perayaan sendiri yang didasarkan pada kalender Jawa kuno, yakni malam 1 Suro.

Orang Jawa memandang bulan Suro sama istimewanya dengan bulan Muharram dalam Islam ketika amal kebaikan harus ditingkatkan. Malam tahun baru dalam kalender Jawa ini juga dianggap sakral. Di Jawa, malam 1 Suro diperingati dengan beragam cara di berbagai tempat misalnya dengan kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu dengan mandi kembang.

Tradisi malam 1 Suro bermula saat zaman Kerajaan Mataram Islam diperintah oleh Mas Rangsang atau Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berkuasa sekitar 1613-1645.

Di bawah panji kekuasaannya Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke 17. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.

Sultan Agung berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Dia kemudian memadukan Kalender Hijriah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman.

Hal ini dia lakukan pada 1625 Masehi (1547 Saka) dengan mengeluarkan dekrit yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan). Namun angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriah (saat itu 1035 H).

Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam.

Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram yang meliputi seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Balambangan).

Riwayat lain menyebut, Sunan Giri II berada di balik sistem Kalender Jawa. Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Jawa dan sistem kalender Hijriah pada tahun 931 Hijriah atau bertepatan dengan 1443 tahun Jawa baru pada masa pemerintahan kerajaan Demak. Langkah ini ditempuh sebagai upaya memperkenalkan kalender Islam pada masyarakat Jawa.

Nah, selanjutnya Sultan Agung ingin rakyatnya bersatu untuk memerangi Belanda di Batavia, sekaligus ingin menyatukan Pulau Jawa. Sultan Agung berharap rakyatnya tidak terbelah, terlebih lagi oleh keyakinan agama. Dia ingin abangan dan kelompok santri bersatu.

Pada tiap Jumat legi, laporan pemerintahan setempat pun dilakukan sambil digelar pengajian oleh penghulu kabupaten, sekaligus ziarah kubur serta haul ke makam Giri dan Ngampel.

Karena hal tersebut, pada 1 Muharram atau bertepatan dengan 1 Suro Jawa pada hari Jumat legi disebut hari keramat, bahkan 1 Suro dianggap sial jika terdapat orang yang menggunakan hari tersebut untuk kepentingan lain luar kepentingan ziarah, mengaji, dan haul.

Saat tiba malam 1 Suro, umumnya masyarakat Jawa juga menggelar ritual atau tradisi tirakatan, tuguran (perenungan diri sambari berdoa), dan lek-lekan (tak tidur semalam suntuk).

Bahkan ada juga sebagian orang yang memilih menyepi atau bersemedi di suatu tempat sakral (puncak gunung, pohon besar, tepi laut, makam keramat). Bagi masyarakat Jawa, 1 Suro ini sebagai awal bulan tahun Jawa yang dianggap bulan sakral atau suci.

Bulan Suro pun dianggap sebagai bulan yang tepat untuk menggelar tafakur, renungan, dan introspeksi guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Adapun cara yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam berinstrospeksi yaitu dengan lelaku atau mengendalikan hawa nafsu.

Selain itu, sepanjang bulan Suro ini masyarakat Jawa juga meyakini agar selalu bersikap eling serta waspada. Eling ini berarti manusia tetap harus ingat siapa dirinya serta kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Sedangkan waspada berarti manusia harus tetap terjaga serta waspada dari berbagai godaan yang menyesatkan. Itulah mengapa masyarakat Jawa pantang untuk melakukan hajatan nikahan di bulan Suro.

Pada perayaan malam 1 Suro, masyarakat Jawa juga dilarang melakukan dosa jika tak ingin kena malapetaka dan dianjurkan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT.

Makna 1 Suro dan 1 Muharram

Karena malam 1 Suro begitu istimewa dalam kehidupan masyarakat Jawa, maka peringatannya juga memiliki yang mendalam.
Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Suro dan pergantian tahun menjadi momen yang sangat keramat dan disucikan sehingga sangat cocok untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sepanjang bulan Suro, orang Jawa harus selalu bersikap eling (ingat) kepada Allah SWT, waspada terhadap dosa, dan selalu berbuat baik.

Hal tersebut sama dengan makna Muharram bagi umat Islam dan bulan tersebut merupakan salah satu dari 4 bulan yang diistimewakan Allah SWT. 1 Muharram jadi momen yang dinantikan oleh umat Islam untuk menandai dimulainya tahun baru Hijriah. Artinya, yang dirayakan bukan malam pergantian tahunnya, namun tanggal 1 Muharram itu sendiri.

Dalam 1 Muharram ini, umat Islam dianjurkan untuk puasa sunnah, memperbanyak doa dan ampunan, bersedekah dan melakukan amal saleh lainnya.



Wallahu A'lam
(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0938 seconds (0.1#10.140)
pixels