Tali-Temali Perekat Pernikahan: Cinta, Mawaddah, Rahmah dan Amanah Allah
loading...
A
A
A
Prof Quraish Shihab mengatakan cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali rohani perekat perkawinan , sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan:
"Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak" ( QS Al-Nisa' [4] : l9).
Dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996), Quraish menjelaskan mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.
Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta.
Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).
Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.
Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya.
Menurut Quraish, suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.
"Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka" ( QS Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami istri --orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi "menutup kekurangan pasangannya" sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya.
Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw. dalam sabdanya: "Kalian menerima istri berdasar amanah Allah."
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.
Quraish menjelaskan istri adalah amanah di pelukan suami, suami pun amanat di pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami --demikian juga istri-- tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.
Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan "mengganti" semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki "asing" yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.
Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya.
Keyakinan inilah yang dituangkan istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa' [4): 21).
"Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak" ( QS Al-Nisa' [4] : l9).
Dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996), Quraish menjelaskan mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.
Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta.
Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).
Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.
Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya.
Menurut Quraish, suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.
"Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka" ( QS Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami istri --orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi "menutup kekurangan pasangannya" sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya.
Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw. dalam sabdanya: "Kalian menerima istri berdasar amanah Allah."
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.
Quraish menjelaskan istri adalah amanah di pelukan suami, suami pun amanat di pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami --demikian juga istri-- tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.
Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan "mengganti" semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki "asing" yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.
Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya.
Keyakinan inilah yang dituangkan istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa' [4): 21).
(mhy)