Kisah Amr bin Ash Menaklukkan Iskandariah: Kemenangan Muslimin di Naqiyus

Kamis, 11 Juli 2024 - 14:57 WIB
loading...
Kisah Amr bin Ash Menaklukkan...
Dalam bulan Mei 641 Masehi Amr bin Ash dan pasukannya meninggalkan Babilon. Kala itu kekacauan terjadi di ibu kota kerajaan Romawi karena kematian Konstantin mencapai puncaknya. Ilustrasi: Ist
A A A
Setelah sukses menaklukkan benteng Babilon Mesir, Amr bin Ash menunggu perintah Khalifah Umar bin Kattab untuk menyerang kota berikutnya di Mesir . Sasaran utama kala itu adalah Iskandariah atau Aleksandria. Wilayah ini merupakan pelabuhan utama di Mesir, dan kota terbesar kedua di negara tersebut. Letaknya di pantai Laut Tengah di sebelah barat laut Kairo.

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menceritakan tidak berselang lama izin itu pun datang.

Khalifah Umar bin Khattab sudah tahu bahwa sesudah tiga bulan lagi Sungai Nil akan kembali pasang dan meluap. Maka akan lebih baik jika pasukan itu berangkat menaklukkan ibu kota Mesir sebelum tiba waktu air meluap.



Begitu Amr bin As menerima surat izin berangkat, sepasukan Muslimin ditinggalkannya di benteng Babilon di bawah pimpinan Kharijah bin Huzafah as-Sahmi. Dia sendiri setelah itu berangkat memimpin pasukan menuju kota yang besar itu, pusat segala keindahan, ilmu dan seni di seluruh dunia.

Dalam bulan Mei 641 Masehi Amr bin Ash dan pasukannya meninggalkan Babilon. Kala itu kekacauan terjadi di ibu kota kerajaan Romawi karena kematian Konstantin mencapai puncaknya.

Amr bin mengambil jalan pesisir sebelah kiri Sungai Nil, provinsi Buhairah sekarang, hingga perjalanan pasukannya tak terhalang oleh terusan-terusan yang membentang di selatan Delta di provinsi Manufiah.

Selama tinggal di benteng Babilon itu ia telah berhasil meminta bantuan orang-orang Kopti yang berada di bawah kekuasaannya untuk memperbaiki jalan dan membangun beberapa jembatan. Inilah yang membantunya mempercepat perjalanannya itu. Dalam perjalanan ini Amr mengajak juga beberapa pemimpin Kopti pilihannya dan dia memang sudah mengadakan hubungan baik dengan mereka untuk kemudian dijadikan penghubung dia dengan penduduk negeri.

Yang pertama kali dipikirkan oleh Amr ialah menguasai Naqiyus serta bentengnya yang kuat. Naqiyus ini terletak di tepi kanan Sungai Nil, beberapa mil di utara Manuf, sementara Manuf sendiri sudah berada di bawah kekuasaan Muslimin seperti sudah disebutkan.



Pasukan Romawi berusaha hendak menghadang Amr selama dalam perjalanannya menyusuri tepi kiri itu, sebelum ia mencapai Naqiyus. Ini dimaksudkan supaya ia tidak menyeberangi sungai.

Mereka mengadakan pertahanan di Tarnut - atau Tarana seperti yang biasa disebut kalangan sejarawan - yang terletak di tepi Sungai Nil berhadapan dengan Zawiah Razin di selatan Manuf. Oleh Amr mereka disambut dan pertempuran seru pun tak terhindarkan. Amr tidak menemui kesulitan untuk mengalahkan mereka kendati mereka memang sudah mati-matian bertempur.

Kemenangan Muslimin di Naqiyus

Amr meneruskan perjalanannya hingga berada di depan Naqyus dengan bentengnya yang begitu kekar. Amr mengira bahwa penghuni benteng itu akan berlindung dengan benteng itu dan Sungai akan dijadikan perintangnya. Karenanya ia menyusun suatu strategi untuk dapat menyeberang ke tempat mereka.

Ia berunding dengan pemimpin-pemimpin Kopti yang sengaja diajak dalam perjalanan itu. Tak terpikir olehnya bahwa Naqiyus dan bentengnya itu akan dibiarkan, dan ia akan meneruskan langkahnya ke ibu kota.



Ia khawatir persenjataan di benteng itu akan diangkut ke luar dan barisan belakangnya akan disergap sehingga rencananya akan berantakan. Tetapi menyeberangi Sungai Nil pada hari-hari bulan Mei itu tidak sulit, karena air sudah mulai surut dan arus sudah reda. Dengan demikian pasukannya dengan mudah menyeberang dengan kapal atau melalui jembatan.

Tetapi yang dipikirkan pihak Romawi dalam hal ini tidak sama dengan yang dipikirkan Amr. Terpikir oleh mereka, bahwa kalau mereka meninggalkan benteng itu dan mengikuti perjalanannya ke ibu kota tanpa perlawanan, terutama sesudah jebolnya pertahanan garnisun di Tarnut, hal itu akan melemahkan semangat dan mereka akan segera menyerah kepada pasukan yang memang sudah tak dapat dikalahkan itu.

Oleh karenanya, komandan benteng itu keluar bersama semua anggota pasukannya. Mereka naik ke kapal yang sudah disiapkan untuk pertahanan kota, dan berusaha hendak merintangi pasukan Arab dari tujuannya.

Amr sudah melihat kapal itu dan orang-orang yang berusaha keluar hendak membendung langkahnya. Maka dikeluarkannya perintah agar mereka dihujani panah. Maka mereka yang sudah meninggalkan kapal itu kembali ke dalam kapal dengan anggapan kapal itu menjadi tempat perlindungan yang akan menyelamatkan mereka dari serangan musuh. Tetapi pasukan Muslimin tidak membiarkan mereka lari.



Mereka dikejar terus sampai ke dalam Sungai sambil menghujani mereka dengan panah. Terbayang oleh komandan Romawi itu bahwa pasukan Muslimin akan menyeberang Sungai ke tempatnya itu.

Mungkin dia sudah pernah mendengar tentang mereka dulu yang pernah menyeberangi Tigris ke Mada'in dengan pasukan berkudanya padahal Sungai Tigris ketika itu sedang pasang dengan arus gelombang yang meluap-luap.

Sesudah mengeluarkan perintah kepada anak buah kapal itu ia sendiri cepat-cepat lari menuju Iskandariah. Melihat apa yang dilakukannya itu, pasukannya segera meletakkan persenjataan dan menyerahkan diri dengan harapan pertama-tama menyelamatkan diri dari maut. Tetapi pasukan Muslimin tidak membiarkan mereka begitu saja. Mereka dikepung dan habis terbunuh. Setelah itu mereka memasuki kota tanpa mendapat perlawanan sesudah dikosongkan dari pasukan pertahanan kota.

Hanna Naqyusi, sejarawan masa itu menyebutkan: Mereka memasuki kota, "lalu membunuh semua penduduk yang mereka jumpai di jalan. Orang yang berlindung masuk ke dalam gereja pun tak ada yang selamat, dan tak ada yang dibiarkan, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Kemudian mereka menyebar ke sekitar Naqiyus, merampok dan membunuh siapa saja yang mereka jumpai.



Setelah memasuki kota Sawuna dan melihat Iskotaus dan keluarganya, yang masih berkeluarga dengan Theodorus, ketika itu ia bersembunyi bersama keluarganya di sebuah kebun anggur, mereka semua dihabisi, tak ada seorang pun yang hidup.

Tetapi apa yang sudah itu harus kita sudahi, sebab tidak mudah buat kita menguraikan semua kekejaman Muslimin setelah mereka menguasai pulau Naqiyus."

Haekal mengatakan kata-kata yang dikutip oleh Butler dari buku Hanna itu tampak sangat berlebihan. Ustaz Muhammad Farid Abu Hadid, penerjemah Butler itu membuat catatan: "Rupanya ini sangat dilebih-­lebihkan oleh penulis (Hanna Naqyusi), terdorong oleh rasa cemburu dan dengki terhadap pihak Arab yang menang perang, mengingat bahwa dasar-dasar pertama yang menjadi pegangan orang Arab dalam perang, tidak boleh membunuh orang yang sudah menyerah, perempuan, orang lanjut usia dan anak-anak. Itulah yang diperintahkan oleh agama, dan ini pula yang ditekankan oleh para khalifah yang mula-mula kepada para komandan dan pasukannya."

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2510 seconds (0.1#10.140)