Tabiin yang Sahid di Tangan Penguasa Kufah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi

Rabu, 26 Agustus 2020 - 12:15 WIB
loading...
Tabiin yang Sahid di Tangan Penguasa Kufah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
Ilustrasi/Ist
A A A
SAMPAILAH utusan yang membawa Sa’id bin Jubair seorang imam yang zahid, tabiin yang abid dan berbakti itu di Kota Wasit. Sa’id dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi . ( )

Setelah Sa’id berada di hadapan Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya, “Siapa namamu?”

“Sa’id (bahagia) bin Jubair (perkasa),” jawab Sa’id.

“Yang benar engkau adalah Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh),” balas Hajjaj.

“Ibuku lebih mengetahui namaku daripada engkau,” ujar Sa’id.



Selanjutnya terjadilah dialog berikut ini.

Hajjaj, “Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?”

Sa’id, “Apakah yang engkau maksud Muhammad bin Abdullah?”

Hajjaj, “Benar.”

Sa’id, “Manusia utama di antara keturunan Adam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik di antara manusia yang hidup yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menyampaikan nasehat Allah, kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus.”



Hajjaj, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?”

Sa’id, “Ash-Shidiq khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat dengan terpuji dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa mengubah ataupun mengganti sedikitpun darinya.”

Hajjaj, “Bagaimana pendapatmu tentang Umar?”

Sa’id, “Beliau adalah Al-Faruq, dengannya Allah membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan mati sebagai syuhada.”
Hajjaj, “Bagaimana dengan Ustman?”



Sa’id, “Beliau yang membekali pasukan ‘Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur ‘Ruumah’ dan membeli rumah untuk dirinya di surga. Beliau adalah menantu Rasulullah atas dua orang putri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit, lalu terbunuh di tangan orang zalim.”

Hajjaj, “Bagaimana dengan Ali?”

Sa’id, “Beliau adalah putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemuda pertama yang memeluk Islam. Beliau adalah suami Fatimah Az-Zahrah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ayah dari Hasan dan Husein yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli surga.”

Hajjaj, “Khalifah yang mana dari Bani Umayyah yang paling kau sukai?”

Sa’id, “Yang paling diridhai Pencipta mereka.”

Hajjaj, “Manakah yang paling diridhai Rabb-nya?”



Sa’id, “Ilmu tentang itu hanyalah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zahir dan yang tersembunyi.”

Hajjaj, “Bagaimana pendapatmu tentang diriku?”

Sa’id, “Engkatu lebih tahu tentang dirimu sendiri.”

Hajjaj, “Aku ingin mendengar pendapatmu.”

Sa’id, “Itu akan menyakitkan dan menjengkelkanmu.”

Hajjaj, “Aku harus tahu dan mendengarnya darimu.”

Sa’id, “Yang kuketahui, engkau telah melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihatan hebat padahal justru membawamu ke arah kehancuran dan menjerumuskanmu ke neraka.”

Hajjaj, “Kalau begitu, demi Allah aku akan membunuhmu.”

Sa’id, “Bila demikian, maka engkau merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu.”

Hajjaj, “Pilihlah bagi dirimu cara-cara kematian yang engkau sukai.”


Sa’id, “Pilihlah sendiri wahai Hajjaj. Demi Allah untuk setiap cara yang engkau lakukan, Allah akan membalasmu dengan cara yang setimpal di akhirat nanti.”

Hajjaj, “Tidakkah engkau menginginkan ampunanku?”

Sa’id, “Ampunan itu hanyalah dari Allah, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan lagi di hadapan-Nya.”

Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada algojonya diperintahkan, “Siapkan pedang dan alasnya!”

Sa’id bin Jubair kemudian tersenyum.

Hajjaj, “Mengapa engkau tersenyum?”

Sa’id, “Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu.”

Hajjaj, “Bunuh dia sekarang!”

Sa’id, (menghadap kiblat sambil membaca firman Allah), “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,” (Al-An’am: 79).

Hajjaj, “Palingkan dia dari kiblat!”

Sa’id, (membaca firman Allah Ta’ala), “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah,” (Al-Baqarah: 115).

Hajjaj, “Sunggkurkan dia ke tanah!”

Sa’id, (membaca firman Allah Ta’ala), “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,” (Thaha: 55).

Hajjaj, “Sembelihlah musuh Allah ini! Aku belum pernah menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah seperti dia.”

Sa’id, (mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a), “Ya Allah jangan engkau beri kesempatan ia melakukannya atas orang lain setelah aku.”

Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menceritakan tak lebih dari lima 15 hari setelah wafatnya Sa’id bin Jubair, mendadak Hajjaj bin Yusuf terserang demam. Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak lagi nyenyak, sebentar-bentar terbangun dengan ketakutan dan mengigau, “Ini Sa’id bin Jubair hendak menerkammu! Ini Sa’id bin Jubair berkata, ‘Mengapa engkau membunuhku’?” Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri, “Apa yang telah aku perbuat atas Sa’id bin Jubair? Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!”

Kondisi itu terus berlangsung hinga dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya. Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj, “Apa yang Allah perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?”

Dia menjawab, “Aku disiksa dengan siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin Jubair aku disiksa 70 kali lipat.” (
Siapa Said bin Jubair?
Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Jubair al-Asadi al-Kufi, yang mempunyai julukan “Abu Abdillah”. Ia seorang ahli fiqh, pembaca al-Qur’an yang fasih dan ahli ibadah. Sufyan ats-Tsauri lebih mendahulukannya dari pada Ibrahim an-Nakha’i, ia berkata: “Ambilah tafsir dari empat orang, yaitu dari Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah dan adl-Dhahhak”.

Dr Abdurrahman Ra’fat Basya dalam Shuwaru min Hayati at-Tabi’in menceritakan Said bertubuh kekar, sempurna bentuk tubuhnya, lincah gerak-geriknya, cerdas otaknya, jenius akalnya, antusias terhadap kebajikan dan menjauhi dosa. Meski hitam warna kulitnya, keriting rambutnya dan asalnya dari Habsy, namun tidaklah jatuh rasa percaya dirinya untuk menjadi manusia yang istimewa.

Sa’id mengarungi samudera kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan. Sejak masih muda, orang-orang telah mengenalnya sebagai pemuda yang akrab dengan buku-buku yang ia baca. Atau jika mereka tidak mendapatkannya sedang membaca buku, maka ia tengah di mihrabnya untuk beribadah.

Sa’id berguru kepada banyak sahabat senior, tapi guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas, guru besar umat Islam dan lautan ilmu yang luas. Dengan setia Sa’id bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya. Dari sahabat inilah ia menggali tafsir Al-Qur’an, hadis-hadis dan seluk beluknya. Darinya pula ia mendalami persoalan agama maupun tafsirnya. Juga mempelajari bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada seorangpun di muka bumi ini kecuali memerlukan ilmunya.

Selanjutnya ia mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu sesuai kehendak Allah. Setelah merasa cukup, ia memilih Kufah sebagai tempat tinggalnya. Dan kelak ia menjadi guru dan imam di kota itu.

Adakalanya ia khatamkan Al-Qur’an dalam sekali salat. Dan sudah menjadi kebiasaannya apabila membaca ayat yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya dan meneteslah air matanya. Kemudian mengualang-ulang ayat tersebut sampai adakalanya hampir pingsan.

Ia melakukan perjalanan ke Baitullah Al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah pada bulan Rajab untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji.

Orang-orang yang merindukan ilmu dan kebaikan datang berduyun-duyun ke Kufah untuk menghirup sumber ilmu yang jernih dari Sa’id bin Jubair. Beliau pernah ditanya, “Apakah khasyah (takut) itu?” Ia menjawab, “Khasyah adalah bahwa engkau harus takut kepada Allah hingga rasa takutmu menghalangi dirimu dari perbuatan maksiat.” ( )

Ketika ditanya tentang dzikir, ia berkata, “Dzikir itu adalah taat kepada Allah. Barangsiapa menyahut seruan Allah dan mentaati-Nya, berarti dia berdzikir kepada-Nya. Adapun orang yang berpaling dan tak mau taat, maka dia bukanlah termasuk ahli dzikir, meski dia bertasbih dan membaca Al-Qur’an semalam suntuk.” (Habis)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2545 seconds (0.1#10.140)