Kehidupan Akhirat Dimulai dengan Peniupan Sangkakala, Begini Penjelasannya

Rabu, 14 Agustus 2024 - 09:24 WIB
loading...
A A A
Quraish Shihab menjelaskan yang ingin diinformasikan oleh ayat-ayat di atas dan semacamnya adalah bahwa pada hari itu tidak ada yang dapat mengelak, tidak ada juga yang dapat menyembunylkan sesuatu di hadapan pengadilan yang maha agung itu.

Siapa yang mengerjakan (walau) sebesar zarrah (dari kebaikan). maka dia akan melihat (ganjarannya) ( QS Az-Zilzal [99] : 7). Demikian pula sebaliknya (baca surat Al-Zilzal [99]: 8).

Pengadilan Ilahi itu akan diadakan terhadap setiap pribadi mukalaf, "Tidak ada satupun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri" ( QS Maryam [19] : 93-95)

Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak ada yang teraniaya karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiyat [21] : 47). Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya kiasan tentang keadilan mutlak, tidaklah banyak pengaruhnya dalam akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah:

Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. "Barangsiapa yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka adalah orang-orang beruntung, dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami" ( QS Al-A'raf [7] : 8-9)



Hasil pencatatan amal manusia yang ditimbang itu, akan diserahkan kepada setiap orang:

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab (catatan amalnya) dari arah kanannya, maka (dengan gembira) ia berkata: "Inilah, bacalah kitabku ini. Sesungguhnya (sejak dahulu di dunia) aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab (perhitungan) atas diriku." Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai; dalam surga yang tinggi, buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap dikarenakan amal-amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari terdahulu (di dunia)."

Adapun yang diberikan kepadanya kitabnya dari arah kirinya, maka dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab (perhitungan) terhadap diriku. Aduhai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak memberi manfaat bagiku. Telah hilang kekuasaan dariku" ( QS Al-Haqqah [69] : 19-29).

Dari mahsyar (tempat berkumpul), manusia menuju surga atau neraka. Beberapa ayat dalam Al-Quran menginformasikan bahwa dalam perjalanan ke sana mereka melalui apa yang dinamai "shirath" .

"Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim" ( QS Al-Shaffat [37] : 23).

Dalam konteks pembicaraan tentang hari akhirat, Allah berfirman: Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskanpenglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba(mencari) ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana merekadapat melihatnya? (QS Ya Sin [36]: 66).



Di sisi lain Allah menegaskan pula bahwa: Dan tidak seorang pun di antara kamu kecualimelewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalahsuatu kemestian yang sudah ditetapkan-Nya. KemudianKami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa danmembiarkan orang-orang yang zalim, di dalam nerakadalam keadaan berlutut (QS Maryam [19]: 71-72).

Berdasar ayat-ayat tersebut, kata Quraish, sementara ulama berpendapat bahwa ada yang dinamai "shirath" -berupa jembatan yang harus dilalui setiap orang menuju surga. Di bawah jalan (jembatan) itu terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin akan melewatinya dengan kecepatan sesuai dengan kualitas ketakwaan mereka. Ada yang melewatinya bagaikan kilat, atau seperti angin berhembus, atau secepat lajunya kuda; dan ada juga yang merangkak, tetapi akhirnya tiba juga.

Sedangkan orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka jatuh ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka.

Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang, Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Para ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di atas, lebih-lebih melukiskannya "dengan sehelai rambut di belah tujuh". Memang, melukiskannya seperti itu, paling tidak, bertentangan dengan pengertian kebahasaan dari kata shirath.



Kata tersebut berasal dari kata saratha yang arti harfiahnya adalah "menelan". Kata shirath antara lain diartikan "jalan yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia menelan setiap yang berjalan di atasnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2843 seconds (0.1#10.140)