Ghilah: Bersetubuh Sewaktu Istri Masih Menyusui, Sempat Dilarang Rasulullah
loading...
A
A
A
Rasulullah SAW menamakan bersetubuh sewaktu perempuan masih menyusui , dengan ghilah atau ghail, karena penghamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan anak.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) mengatakan dinamakannya ghilah atau ghail juga karena suatu bentuk kriminalitas yang sangat rahasia terhadap anak yang sedang disusui.
"Oleh karena itu sikap seperti ini dapat dipersamakan dengan pembunuhan misterius (rahasia)," jelasnya.
Nabi Muhammad SAW selalu berusaha demi kesejahteraan umatnya, untuk itu ia perintahkan kepada umatnya ini supaya berbuat apa yang kiranya membawa maslahah dan melarang yang kiranya membawa bahaya. Di antara usahanya ialah beliau bersabda:
"Jangan kamu membunuh anak-anakmu dengan rahasia, sebab ghail itu biasa dikerjakan orang Persi kemudian merobohkannya." (Riwayat Abu Daud)
Al-Qardhawi menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri tidak memperkeras larangannya ini sampai ke tingkat haram, sebab beliau juga banyak memperhatikan keadaan bangsa yang kuat di zamannya yang melakukan ghilah, tetapi tidak membahayakan.
Dengan demikian bahaya di sini satu hal yang tidak dapat dielakkan, sebab ada juga seorang suami yang khawatir berbuat zina kalau larangan menyetubuhi istri yang sedang menyusui itu dikukuhkan. Sedang masa menyusui itu kadang-kadang berlangsung selama dua tahun bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan.
Untuk itu semua, Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh saya bermaksud akan melarang ghilah, kemudian saya lihat orang-orang Persi dan Rum melakukannya, tetapi ternyata tidak membahayakan anaknya sedikit pun." (Riwayat Muslim)
Ibnul Qayyim dalam menerangkan hubungan antara hadis ini dengan hadis sebelumnya, mengatakan sebagai berikut: "Nabi SAW memberitakan pada salah satu segi: bahwa ghail itu berarti memperlakukan anak seperti orang-orang Persi mengadu kudanya, dan ini salah satu macam yang menyebabkan bahaya tetapi sifatnya bukan membunuh dan merusak anak, sekalipun kadang-kadang membawa bahaya anak kecil.
Oleh karena itu Nabi SAW membimbing mereka supaya meninggalkan ghail kendati bukan melarangnya. Kemudian beliau berazam untuk melarangnya guna membendung bahaya yang mungkin menimpa anak yang masih menyusu.
Akan tetapi menutup pintu bahaya ini tidak dapat menghindari mafsadah yang juga mungkin terjadi sebagai akibat tertahannya jima' selama dalam menyusui, lebih-lebih orang-orang yang masih berusia muda dan syahwatnya sangat keras, yang tidak dapat diatasi melainkan dengan menyetubuhi istrinya.
Itulah sebabnya beliau mengetahui, bahwa maslahah dalam masalah ini lebih kuat daripada menolak mafsadah.
Kemudian beliau melihat dua bangsa yang besar dan kuat (Romawi dan Persi) di mana mereka itu juga mengerjakan ghilah dan justru karena kekuatannya itu, mereka sama sekali tidak ada rasa khawatir apa yang mungkin terjadi sebab ghilah. "Oleh karena itulah beliau tidak jadi melarangnya," demikian Ibnu Qayyim.
Al-Qardhawi selanjutnya menjelaskan di zaman kita ini sudah ada beberapa alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kemaslahatannya, dan justru maslahah itulah yang dituju oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu melindungi anak yang masih menyusu dari mara-bahaya termasuk menjauhi mafsadah yang lain pula, yaitu: tidak bersetubuh dengan istrinya selama menyusui, di mana hal itu sangat memberatkan sekali.
"Dengan dasar inilah, kita dapat mengira-ngirakan jarak yang pantas antara dua anak, yaitu sekitar 30 atau 33 bulan, bagi mereka yang ingin menyempurnakan susuan," ujar al-Qardhawi.
Imam Ahmad dan lain-lain mengikrarkan, bahwa hal yang demikian itu diperkenankan apabila istri mengizinkannya, karena dialah yang lebih berhak terhadap anak, di samping dia pula yang berhak untuk bersenang-senang.
Sedangkan Umar Ibnul-Khattab, dalam salah satu riwayat berpendapat, bahwa azl atau mengeluarkan mani di luar rahim ketika terasa akan keluar itu dilarang, kecuali dengan seizin istri.
"Demikianlah perhatian Islam terhadap hak-hak perempuan, di mana waktu itu dunia tidak mengenal dan tidak mengakuinya," ujar Al-Qardhawi.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) mengatakan dinamakannya ghilah atau ghail juga karena suatu bentuk kriminalitas yang sangat rahasia terhadap anak yang sedang disusui.
"Oleh karena itu sikap seperti ini dapat dipersamakan dengan pembunuhan misterius (rahasia)," jelasnya.
Nabi Muhammad SAW selalu berusaha demi kesejahteraan umatnya, untuk itu ia perintahkan kepada umatnya ini supaya berbuat apa yang kiranya membawa maslahah dan melarang yang kiranya membawa bahaya. Di antara usahanya ialah beliau bersabda:
"Jangan kamu membunuh anak-anakmu dengan rahasia, sebab ghail itu biasa dikerjakan orang Persi kemudian merobohkannya." (Riwayat Abu Daud)
Al-Qardhawi menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri tidak memperkeras larangannya ini sampai ke tingkat haram, sebab beliau juga banyak memperhatikan keadaan bangsa yang kuat di zamannya yang melakukan ghilah, tetapi tidak membahayakan.
Dengan demikian bahaya di sini satu hal yang tidak dapat dielakkan, sebab ada juga seorang suami yang khawatir berbuat zina kalau larangan menyetubuhi istri yang sedang menyusui itu dikukuhkan. Sedang masa menyusui itu kadang-kadang berlangsung selama dua tahun bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan.
Untuk itu semua, Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh saya bermaksud akan melarang ghilah, kemudian saya lihat orang-orang Persi dan Rum melakukannya, tetapi ternyata tidak membahayakan anaknya sedikit pun." (Riwayat Muslim)
Ibnul Qayyim dalam menerangkan hubungan antara hadis ini dengan hadis sebelumnya, mengatakan sebagai berikut: "Nabi SAW memberitakan pada salah satu segi: bahwa ghail itu berarti memperlakukan anak seperti orang-orang Persi mengadu kudanya, dan ini salah satu macam yang menyebabkan bahaya tetapi sifatnya bukan membunuh dan merusak anak, sekalipun kadang-kadang membawa bahaya anak kecil.
Baca Juga
Oleh karena itu Nabi SAW membimbing mereka supaya meninggalkan ghail kendati bukan melarangnya. Kemudian beliau berazam untuk melarangnya guna membendung bahaya yang mungkin menimpa anak yang masih menyusu.
Akan tetapi menutup pintu bahaya ini tidak dapat menghindari mafsadah yang juga mungkin terjadi sebagai akibat tertahannya jima' selama dalam menyusui, lebih-lebih orang-orang yang masih berusia muda dan syahwatnya sangat keras, yang tidak dapat diatasi melainkan dengan menyetubuhi istrinya.
Itulah sebabnya beliau mengetahui, bahwa maslahah dalam masalah ini lebih kuat daripada menolak mafsadah.
Kemudian beliau melihat dua bangsa yang besar dan kuat (Romawi dan Persi) di mana mereka itu juga mengerjakan ghilah dan justru karena kekuatannya itu, mereka sama sekali tidak ada rasa khawatir apa yang mungkin terjadi sebab ghilah. "Oleh karena itulah beliau tidak jadi melarangnya," demikian Ibnu Qayyim.
Al-Qardhawi selanjutnya menjelaskan di zaman kita ini sudah ada beberapa alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kemaslahatannya, dan justru maslahah itulah yang dituju oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu melindungi anak yang masih menyusu dari mara-bahaya termasuk menjauhi mafsadah yang lain pula, yaitu: tidak bersetubuh dengan istrinya selama menyusui, di mana hal itu sangat memberatkan sekali.
"Dengan dasar inilah, kita dapat mengira-ngirakan jarak yang pantas antara dua anak, yaitu sekitar 30 atau 33 bulan, bagi mereka yang ingin menyempurnakan susuan," ujar al-Qardhawi.
Imam Ahmad dan lain-lain mengikrarkan, bahwa hal yang demikian itu diperkenankan apabila istri mengizinkannya, karena dialah yang lebih berhak terhadap anak, di samping dia pula yang berhak untuk bersenang-senang.
Sedangkan Umar Ibnul-Khattab, dalam salah satu riwayat berpendapat, bahwa azl atau mengeluarkan mani di luar rahim ketika terasa akan keluar itu dilarang, kecuali dengan seizin istri.
"Demikianlah perhatian Islam terhadap hak-hak perempuan, di mana waktu itu dunia tidak mengenal dan tidak mengakuinya," ujar Al-Qardhawi.
(mhy)