Apa Itu Tradisi Rebo Wekasan? Begini Penjelasannya

Rabu, 28 Agustus 2024 - 14:29 WIB
loading...
Apa Itu Tradisi Rebo...
Disebut Rebo Wekasan artinya hari Rabu terakhir di bulan Safar pada kalender Jawa atau kalender Islam Hijriah. Foto/Ilustrasi: majalah nabawi
A A A
Apa itu tradisi Rebo Wekasan ? Istilah Rebo Wekasan populer di Indonesia, terutama di Jawa. Istilah ini muncul di bulan Safar dalam tradisi Jawa. Disebut Rebo Wekasan artinya hari Rabu terakhir di bulan Safar pada kalender Jawa atau kalender Islam Hijriah .

Apabila mengacu Kalender Hijriah 2024 yang diterbitkan secara resmi oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI, bulan Safar dimulai pada hari Selasa, 6 Agustus 2024 lalu. Sedangkan hari terakhir Rabu di bulan Safar jatuh pada tanggal 30 Safar 1446 Hijriah bertepatan dengan 4 September 2024.

Rebo Wekasan menjadi penting karena menurut ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah meyakini bahwa setiap tahun Allah menurunkan bala ( bencana ) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rabu yang terakhir di bulan Shafar.



Abdul Hamid Quds adalah salah satu yang berpendapat demikian. Pendapat itu disampaikan dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur.

Oleh sebab itu, katanya, hari ini menjadi hari terberat di sepanjang tahun. Disebutkan, maka barang siapa yang melakukan salat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca doa, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, harusnya merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Masyarakat jahiliah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial.

Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.



Abu Hurairah
berkata, bersabda Rasulullah SAW , "Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadis laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah.

Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah.

Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:

لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)



Maksud hadis laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.

Zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2327 seconds (0.1#10.140)