Meletusnya Perang Yamamah, Khalid Bin Walid dan Para Syuhada yang Bertumbangan

Kamis, 27 Agustus 2020 - 11:02 WIB
loading...
Meletusnya Perang Yamamah, Khalid Bin Walid dan Para Syuhada yang Bertumbangan
Khalid bin walid. Foto/Ilustrasi/ist
A A A
SYURAHBIL anak Musailamah tampil membakar semangat tentara Banu Hanifah dengan kata-kata yang benar-benar menggugah rasa kearaban, dengan segala yang menyangkut kehormatan dan keturunannya. ( )

"Hai Banu Hanifah!!" teriaknya kepada mereka. "Hari ini adalah hari harga diri kita! Kalau kita kalah, perempuan-perempuan kita akan mendapat giliran sebagai tawanan, akan dijadikan gundik-gundik. Berperanglah kamu mempertahankan kehormatan dan keturunan kalian dan lindungilah istri-istri kalian."

Kemudian diperintahkan agar mereka siap tempur. Kedua kekuatan itu sudah saling berhadapan. Semangat pihak Muslimin belum lagi dibakar. Kaum Muhajirin berkata kepada Salim, bekas budak Abu Huzaifah: "Ada yang masih kautakuti?"

"Kalau begitu celakalah aku sebagai orang yang sudah hafal Qur'an," katanya menjawab mereka. Bahkan mereka sudah saling mengejek dengan percakapan yang lebih buruk lagi. ( )

Muhammad Husain Haekal dalam As-Siddiq Abu Bakr menyebut, kaum Muhajirin dan Ansar menuduh orang-orang Arab pedalaman sebagai pengecut. "Kami orang-orang kota lebih tahu cara berperang daripada kalian orang-orang pedalaman," kata orang-orang kota. "Orang-orang kota tak mampu bertempur dan tidak tahu apa perang itu," demikian dijawab oleh orang-orang badui itu.

Karenanya mereka tak dapat bertahan menghadapi pasukan Banu Hanifah itu, padahal antara keduanya sudah terjadi pertempuran sengit.

Barisan Muslimin cenderung mengalami kekalahan. Dalam pada itu Khalid bin Walid sudah meninggalkan kemahnya. Tetapi pasukan Banu Hanifah tampaknya sudah berhasil masuk ke dalam kemah Khalid. Mereka hanya melihat Mujja'ah yang dibelenggu dengan besi dan tak jauh dari orang ini dilihatnya pula Laila Umm Tamim. Salah seorang di antara mereka sudah siap dengan pedangnya hendak membunuh Laila — istri Khalid itu. Tetapi ketika itu juga Mujja'ah berteriak: "He! Aku yang melindungi dia! Dia perempuan merdeka yang baik. Hadapilah kaum laki-laki!"

Tali-temali tenda kemudian diputuskan oleh tentara itu dan tendanya dirobek-robek dengan pedang, dengan meninggalkan Mujja'ah dan Laila yang hanya tercengang menyaksikan semua itu. ( )

Sungguhpun begitu, sebelum pasukan Muslimin mundur, tidak sedikit dari Banu Hanifah yang sudah terbunuh. Di antara yang pertama terbunuh ialah Nahar ar-Rajjal, pengkhianat dan penipu yang ahli Qur'an dan ahli fikih itu.

Begitu tampil di barisan depan dalam pasukan Banu Hanifah ia disambut oleh Zaid bin Khattab dan langsung dibunuhnya. Dengan terbunuhnya orang ini, biang keladi yang begitu setia kepada Musailamah, berakhirlah kini riwayatnya dan riwayat pasukannya yang selama ini mengancam kaum Muslimin dan menanamkan rasa takut dalam hati setiap orang yang mencintai agama Allah.

Khalid bin Walid tetap tenang tatkala ia meninggalkan kemahnya. Sedikit pun ia tak ragu menghadapi tujuannya hari itu. Dia sudah tahu kekalahan yang menimpa pasukan Muslimin; yakni karena mereka saling memperolok, saling tak peduli satu sama lain. Kalau tidak demikian sikap mereka, niscaya mereka menang. ( )

Karenanya, tatkala Khalid melihat ada peluang, ketika kedua pihak dalam keadaan tenang, ia berteriak sekeras-kerasnya dengan nada geram dan bergelora: "Saudara-saudara kaum Muslimin! Perlihatkanlah kelebihan kamu, biar orang tahu keberanian dan kepahlawanan kita, biar orang tahu dari mana kita datang."

Teriakan itu bersipongang ke dalam telinga prajurit-prajuritnya, dan membuat tersentak sehngga mereka menyadari keadaan yang sebenarnya. Khalid puas setelah dilihatnya mereka menunjukkan sikap seperti yang diperintahkannya itu. Kecurigaan dan saling tak peduli sudah dapat dihilangkan. Sekarang jalan kemenangan sudah terbuka.

Teriakan Khalid itu telah membangkitkan fanatisme yang kuat sesuai dengan naluri Arabnya. Pemuka-pemuka Muslimin pun melihat apa yang telah menimpa mereka. Dalam hati mereka sekarang tumbuh semangat agama yang membara. Iman telah mengangkat mereka ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Yang sekarang tampak jelas dan tersenyum di hadapan mereka hanyalah mati sebagai syahid. ( )

Cahaya mengantarkan mereka dan membukakan pintu surga abadi. Tuntunan cahaya ilahi memperlihatkan kepada mereka, bahwa segala kesenangan hidup, hiburan dunia dan segala tipu muslihatnya akan sia-sia adanya.

Sekarang mereka berbalik, dari kekalahan menjadi suatu tuntutan: menang atau mati syahid. Ketika itu Sabit bin Qais pemimpin Ansar berkata: "Saudara-saudara Muslimin, kalian mempunyai suatu kebiasaan yang amat buruk. Allahumma ya Allah, aku lepas tangan dari apa yang disembah oleh mereka (menunjuk kepada penduduk Yamamah), dan aku lepas tangan dari apa yang dilakukan oleh mereka (menunjuk kepada kaum Muslimin)."

Berkata begitu langsung ia menyerbu ke kancah pertempuran sambil berteriak: "Inilah aku, akan kuperlihatkan kepadamu cara berperang!" dilanjutkan dengan terus bertempur mati-matian tanpa merasa gentar.

Sementara ia bertempur itu seluruh badannya sudah penuh luka-luka dan akhirnya dia mati sebagai syahid. Demikian juga Bara' bin Malik, dia termasuk pemberani yang luar biasa yang tak kenal lari. Begitu melihat apa yang telah terjadi, ia terjun sambil berkata: "Mau ke mana hai Muslimin!? Aku Bara' bin Malik. Mari ke mari bersamaku!"

Suaranya terdengar oleh pejuang-pejuang Muslimin yang lain dan semua mereka sudah mengenal benar keberaniannya. Sebagian mereka kembali kepadanya dan melanjutkan pertempuran hingga banyak pula di antara mereka yang gugur. Yang ingin mati syahid. ( )

Ketika itu angin bertiup kencang dan pasir membubung menutupi muka Muslimin. Ada sekelompok orang yang berbicara dengan Zaid bin Khattab tentang apa yang akan mereka perbuat, maka dijawabnya: "Tidak, demi Allah aku tak akan berbicara sepatah kata pun hari ini sebelum kita hancurkan mereka, atau sampai aku bertemu Allah dengan membawa pembuktianku. Tundukkan matamu dan garitkan gigimu dan hantamlah musuhmu itu lalu teruslah maju."

Berkata begitu ia langsung terjun ke tengah-tengah musuh, bertempur habis-habisan, diikuti anak buahnya dari belakang. Ketika itu ia memberikan pembuktiannya, ia kembali kepada Penciptanya, Allah Yang Mahakuasa.

Abu Huzaifah berteriak kepada orang-orang yang berada di sekitarnya: "Hai keluarga Qur'an, hiasilah Qur'an dengan perbuatanmu!" Ia sendiri lalu terjun ke padang maut itu sampai juga menemui ajalnya. Ia kembali ke sisi Allah. ( )

Ketika itu juga bendera diambil alih oleh Salim bekas budak Abu Huzaifah seraya katanya: "Celakalah aku sebagai yang sudah hafal Qur'an kalau tidak terus bertahan."

Dia pun terjun ke kancah itu dan gugur pula. Dengan teriakan-teriakan yang keluar dari hati yang penuh iman itu, jiwa hendak mati syahid serentak bangkit pada prajurit-prajurit Islam itu semua.

Bagi mereka hidup sudah terasa kecil sekali dan mereka lebih suka mati sebagai para syahid. Dengan sungguh-sungguh mereka terjun maju semua ke depan. Mereka mengharapkan mati syahid.



Sekarang pasukan Musailamah yang mundur sampai ke belakang garis pertama. Dalam perang itu pasukan Musailamah tampak sudah mulai putus asa. Mereka berperang demi tanah air, berperang demi kehormatan nenek moyang. Bagi mereka berperang demi suatu keyakinan yang sudah sakit itu tingkatnya di bawah tanah air, di bawah kehormatan nenek moyang.

Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pasukan Muslimin dan memukul mundur yang dapat mereka pukul, dan mereka bertempur untuk setiap jengkal tanah, tak beranjak dari sana sebelum berbalik dan berusaha merebut kembali.

Khalid tidak gentar menghadapi pasukan Banu Hanifah yang berani mati itu. Bahkan, ketika mendengar teriakan kaum Muslimin dan melihat tekad mereka begitu gembira menghadapi maut, ia yakin bahwa sekarang kemudi berada di tangannya, dan kemenangan sudah di ambang pintu. ( )

Tetapi Khalid ingin sekali bila Muslimin juga menyadari bahwa kemenangan sudah di ambang pintu seperti yang dilihatnya. Karena ia tampil memimpin pasukannya dan berkata kepada para pengawalnya: "Janganlah datang dari belakangku." Lalu ia berteriak dengan moto pertempuran ketika itu: "Hidup Muhammad!"

Dengan tampil dan teriakannya itu tidak saja ia bermaksud hendak membakar semangat, tetapi dengan itu ia juga ingin menempuh jalan kemenangan itu lebih cepat lagi. Dilihatnya orang-orang Banu Hanifah bergelimpangan mati di sekitar Musailamah. Mati tak mereka pedulikan lagi. Maka Khalid yakin, jalan pintas untuk mencapai kemenangan itu ialah Musailamah sendiri yang harus dibunuh. Karenanya, ia dan pasukannya membuat suatu muslihat sampai berada tak jauh dari tempat Musailamah.



Kemudian ia memancingnya supaya orang itu keluar menghadapinya. Tetapi yang keluar untuk menemui Khalid saat itu pengawal-pengawal Musailamah. Namun sebelum mereka mencapai Khalid, pedang Khalid sudah lebih dulu menyambut mereka dengan maut. Tak sedikit di antara mereka yang terbunuh.

Karena sifat penakutnya yang luar biasa, Musailamah merasa rendah diri. Terlintas dalam pikirannya ingin juga keluar seperti yang lain-lain. Tetapi dia yakin, pasti akan terbunuh jika ia keluar. Dia ragu dan gelisah. Selama dalam kegelisahan dan keraguannya itulah, Khalid dan pasukannya tiba-tiba menyerangnya dan menyerang orang-orang di sekitarnya dan yang sudah siap dengan senjata.

Ketika itulah kawan-kawan Musailamah berteriak: "Mana yang kaujanjikan kepada kami!" Sambil berlari Musailamah menjawab: "Bertempurlah demi kehormatan leluhur." ( )

Bagaimana mereka akan bertempur sedang dia sendiri sudah cepat-cepat lari lebih dulu! Tidaklah logis mereka akan mengikuti orang yang lari seperti mengikuti seorang nabi! (Bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1288 seconds (0.1#10.140)