Memahami Pengertian atau Esensi Riba yang Diharamkan Al-Qur'an
loading...
A
A
A
DALAM Surat Al-Rum ayat 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan.
Al-Qurthubi dan Ibn Al-'Arabi menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibnu Katsir menamainya riba mubah.
Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum itu dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw, dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya.
Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari Surat Ali' Imran ayat 131.
Dengan demikian, Prof Dr Quraish Shihab berpendapat pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandunganSurat Ali 'Imran ayat 130 dan Surat Al-Baqarah ayat 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
"Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran," kata Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996).
Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".
Arti Adh'afan Mudha'afah
Quraish menjelaskan dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali.
Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan).
Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku."
Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya).
Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga.
Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut.
Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitur mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.
Al-Qurthubi dan Ibn Al-'Arabi menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibnu Katsir menamainya riba mubah.
Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum itu dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw, dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya.
Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari Surat Ali' Imran ayat 131.
Dengan demikian, Prof Dr Quraish Shihab berpendapat pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandunganSurat Ali 'Imran ayat 130 dan Surat Al-Baqarah ayat 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
"Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran," kata Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996).
Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".
Arti Adh'afan Mudha'afah
Quraish menjelaskan dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali.
Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan).
Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku."
Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya).
Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga.
Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut.
Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitur mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.