Ketika Kiai Ahmad Dahlan Dituduh Kafir karena Meniru Sekolah Belanda
loading...
A
A
A
Kiai Haji Ahmad Dahlan (1868 -1923) adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah . Beliau dikenal banyak membuat terobosan di bidang pendidikan.
"Tidak hanya berhenti pada substansi pengajaran. Ia juga mengangkat citra pendidikan Islam dari yang tadinya bersifat non-formal menjadi sekolah formal," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan" (Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015).
Secara kelembagaan, lanjut Abdul Mu'ti, kala itu sekolah Islam telah setara dengan sekolah-sekolah Belanda . Lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak hanya diakui eksistensinya di mata masyarakat, tapi juga diakui secara hukum di hadapan pemerintah.
Secara kelembagaan, Kiai Ahmad Dahlan telah berhasil meletakkan landasan lahirnya pendidikan modern.
Sistem sekolah Islam dan madrasah yang sekarang ini merupakan model lembaga pendidikan Islam yang paling dominan yang merupakan pengembangan yang lebih lanjut dari sistem sekolah dan madrasah yang dikembangkan oleh Kiai Ahmad Dahlan.
"Kiai Ahmad Dahlan juga mengadopsi model manajemen dan sarana prasarana sekolah-sekolah Belanda," tutur Abdul Mu'ti.
Kendati didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan, kata Mu'ti, status sekolah Muhammadiyah bukanlah milik Kiai Ahmad Dahlan, tapi milik umat dengan organisasi Muhammadiyah sebagai pemegang otoritasnya.
Sekolah Muhammadiyah dikelola secara organisatoris dengan menggunakan tata pamong seperti yang ada di sekolah-sekolah Belanda.
Dalam konteks ini, Kiai Ahmad Dahlan telah berhasil mengubah otoritas manajemen pendidikan pesantren tradisional yang berbasiskan kharisma individu ke dalam sistem modern yang berbasiskan organisasi.
Selanjutnya dalam bidang sarana prasarana Kiai Ahmad Dahlan juga mencontek pendidikan Barat. Jika dulunya pendidikan Islam di pesantren diselenggarakan apa adanya dengan duduk lesehan, kali ini Kiai Ahmad Dahlan membuatnya berbeda.
Ia membuat ruang kelas lengkap dengan bangku, meja tulis, dan papan tulis, persis seperti sekolah Belanda.
Demi memenuhi sarana pendidikan tersebut, Kiai Ahmad Dahlan menjual perabotan rumahnya dan mengerjakan sendiri pembuatan mebeler dibantu para muridnya.
Di sinilah terlihat bagaimana dedikasi Kiai Ahmad Dahlan untuk memajukan pendidikan.
"Dalam dunia pendidikan sekarang ini pemenuhan sarana pembelajaran modern merupakan suatu keniscayaan. Akan tetapi, pada masa Kai Ahmad Dahlan penggunaan sarana pembelajaran modern dinilai sebagai perbuatan yang menyimpang dari agama," ujar Mu'ti.
Karena langkahnya itu, menurut Mu'ti, Kiai Ahmad Dahlan dicap sebagai seorang kafir. Penggunaan sarana pendidikan modern dianggap sebagai bentuk peniruan terhadap Belanda yang kafir.
Barang siapa meniru orang kafir maka dia adalah kafir pula. Logika ini didasarkan atas hadis yang menyebutkan: man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum (barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka).
Pandangan tersebut berbeda dengan prinsip Kiai Ahmad Dahlan. Baginya, sarana pembelajaran dan fasilitas pendidikan adalah alat yang membantu dan mempermudah kegiatan belajar.
Sarana pendidikan tidak ada hubungannya dengan akidah. Karena itu manusia justru harus menggunakan alat tersebut.
Dalam sebuah perdebatan dengan seorang tokoh agama yang mengkritik langkahnya, Kiai Ahmad Dahlan bertanya: "Bagaimana tuan bisa tiba di Jogjakarta dari Magelang?"
Tokoh agama tersebut menjawab: “Saya naik kereta.”
“Siapa yang membuat kereta?” tanya Ahmad Dahlan.
“Ya jelas Belanda,” jawab sang tokoh agama.
“Nah, kalau begitu tuan juga sudah menjadi kafir karena menggunakan kereta Belanda menuju Jogjakarta.”
Dalam melangkah, Kai Ahmad Dahlan selalu mendasarinya dengan dasar agama yang kuat dan perspektif kemoderenan yang terbuka.
"Tidak hanya berhenti pada substansi pengajaran. Ia juga mengangkat citra pendidikan Islam dari yang tadinya bersifat non-formal menjadi sekolah formal," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan" (Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015).
Secara kelembagaan, lanjut Abdul Mu'ti, kala itu sekolah Islam telah setara dengan sekolah-sekolah Belanda . Lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak hanya diakui eksistensinya di mata masyarakat, tapi juga diakui secara hukum di hadapan pemerintah.
Secara kelembagaan, Kiai Ahmad Dahlan telah berhasil meletakkan landasan lahirnya pendidikan modern.
Sistem sekolah Islam dan madrasah yang sekarang ini merupakan model lembaga pendidikan Islam yang paling dominan yang merupakan pengembangan yang lebih lanjut dari sistem sekolah dan madrasah yang dikembangkan oleh Kiai Ahmad Dahlan.
"Kiai Ahmad Dahlan juga mengadopsi model manajemen dan sarana prasarana sekolah-sekolah Belanda," tutur Abdul Mu'ti.
Kendati didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan, kata Mu'ti, status sekolah Muhammadiyah bukanlah milik Kiai Ahmad Dahlan, tapi milik umat dengan organisasi Muhammadiyah sebagai pemegang otoritasnya.
Sekolah Muhammadiyah dikelola secara organisatoris dengan menggunakan tata pamong seperti yang ada di sekolah-sekolah Belanda.
Dalam konteks ini, Kiai Ahmad Dahlan telah berhasil mengubah otoritas manajemen pendidikan pesantren tradisional yang berbasiskan kharisma individu ke dalam sistem modern yang berbasiskan organisasi.
Selanjutnya dalam bidang sarana prasarana Kiai Ahmad Dahlan juga mencontek pendidikan Barat. Jika dulunya pendidikan Islam di pesantren diselenggarakan apa adanya dengan duduk lesehan, kali ini Kiai Ahmad Dahlan membuatnya berbeda.
Ia membuat ruang kelas lengkap dengan bangku, meja tulis, dan papan tulis, persis seperti sekolah Belanda.
Demi memenuhi sarana pendidikan tersebut, Kiai Ahmad Dahlan menjual perabotan rumahnya dan mengerjakan sendiri pembuatan mebeler dibantu para muridnya.
Di sinilah terlihat bagaimana dedikasi Kiai Ahmad Dahlan untuk memajukan pendidikan.
"Dalam dunia pendidikan sekarang ini pemenuhan sarana pembelajaran modern merupakan suatu keniscayaan. Akan tetapi, pada masa Kai Ahmad Dahlan penggunaan sarana pembelajaran modern dinilai sebagai perbuatan yang menyimpang dari agama," ujar Mu'ti.
Karena langkahnya itu, menurut Mu'ti, Kiai Ahmad Dahlan dicap sebagai seorang kafir. Penggunaan sarana pendidikan modern dianggap sebagai bentuk peniruan terhadap Belanda yang kafir.
Barang siapa meniru orang kafir maka dia adalah kafir pula. Logika ini didasarkan atas hadis yang menyebutkan: man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum (barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka).
Pandangan tersebut berbeda dengan prinsip Kiai Ahmad Dahlan. Baginya, sarana pembelajaran dan fasilitas pendidikan adalah alat yang membantu dan mempermudah kegiatan belajar.
Sarana pendidikan tidak ada hubungannya dengan akidah. Karena itu manusia justru harus menggunakan alat tersebut.
Dalam sebuah perdebatan dengan seorang tokoh agama yang mengkritik langkahnya, Kiai Ahmad Dahlan bertanya: "Bagaimana tuan bisa tiba di Jogjakarta dari Magelang?"
Tokoh agama tersebut menjawab: “Saya naik kereta.”
“Siapa yang membuat kereta?” tanya Ahmad Dahlan.
“Ya jelas Belanda,” jawab sang tokoh agama.
“Nah, kalau begitu tuan juga sudah menjadi kafir karena menggunakan kereta Belanda menuju Jogjakarta.”
Dalam melangkah, Kai Ahmad Dahlan selalu mendasarinya dengan dasar agama yang kuat dan perspektif kemoderenan yang terbuka.
(mhy)