Pesantren di Era Kolonial: Kitab-Kitabnya Masih Dipelajari sampai Sekarang
loading...
A
A
A
Metode yang digunakan adalah sorogan dan wetonan/bandungan. Sorogan adalah metode belajar secara individual.
Seorang santri membawa satu kitab tertentu dan belajar langsung dengan guru.
Sedangkan wetonan/bandungan adalah belajar dengan sistem klasikal. Guru membacakan satu kitab dan beberapa santri menyimak.
Pesantren belum mengenal kurikulum dalam arti yang lebih sistematis sebagaimana dalam pendidikan modern. Jenjang dan batas waktu belajar misalnya tidak jelas. Semua itu lebih bergantung pada individu yang belajar.
Namun demikian, dalam arti yang lebih luas di sana sebenarnya sudah ada kurikulum. Setidaknya ada daftar kitab-kitab yang biasa dikaji dan pentahapan untuk mempelajarinya.
Menurut Karel A Steenbrink, semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda.
Berdasarkan wawancaranya dengan para kiai, dia mengomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai di pesantren-pesantren Jawa dan umumnya Madura.
Kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan di pesantren.
Kitab-kitab tersebut adalah: kitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Karel A. Steenbrink menyimpulkan bahwa kebanyakan kitab-kitab yang dipakai di pesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam.
Ada perbedaan yang mendasar antara pendidikan pesantren dengan pendidikan Belanda. Pendidikan pesantren bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan Tuhan (theosentris), sedangkan pendidikan Belanda bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan kehidupan (antroposentris).
Harus diakui bahwa sistem pendidikan Barat lebih handal dan sistematis. Sedangkan sistem pendidikan pesantren masih bersifat tradisional. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam tertinggal terutama dalam membangun tata kehidupan yang berkemajuan.
Pada konteks inilah kemudian lahirlah KH Ahmad Dahlan . Dia adalah salah satu bumi putra yang mendapat kesempatan untuk belajar ke luar. Di tempat belajarnya ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Bekal inilah yang di kemudian hari membuatnya mampu memosisikan diri secara tepat dan solutif di tengah problematika yang sedang terjadi di Indonesia.
Seorang santri membawa satu kitab tertentu dan belajar langsung dengan guru.
Sedangkan wetonan/bandungan adalah belajar dengan sistem klasikal. Guru membacakan satu kitab dan beberapa santri menyimak.
Pesantren belum mengenal kurikulum dalam arti yang lebih sistematis sebagaimana dalam pendidikan modern. Jenjang dan batas waktu belajar misalnya tidak jelas. Semua itu lebih bergantung pada individu yang belajar.
Namun demikian, dalam arti yang lebih luas di sana sebenarnya sudah ada kurikulum. Setidaknya ada daftar kitab-kitab yang biasa dikaji dan pentahapan untuk mempelajarinya.
Menurut Karel A Steenbrink, semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda.
Berdasarkan wawancaranya dengan para kiai, dia mengomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai di pesantren-pesantren Jawa dan umumnya Madura.
Kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan di pesantren.
Kitab-kitab tersebut adalah: kitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Baca Juga
Karel A. Steenbrink menyimpulkan bahwa kebanyakan kitab-kitab yang dipakai di pesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam.
Ada perbedaan yang mendasar antara pendidikan pesantren dengan pendidikan Belanda. Pendidikan pesantren bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan Tuhan (theosentris), sedangkan pendidikan Belanda bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan kehidupan (antroposentris).
Harus diakui bahwa sistem pendidikan Barat lebih handal dan sistematis. Sedangkan sistem pendidikan pesantren masih bersifat tradisional. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam tertinggal terutama dalam membangun tata kehidupan yang berkemajuan.
Pada konteks inilah kemudian lahirlah KH Ahmad Dahlan . Dia adalah salah satu bumi putra yang mendapat kesempatan untuk belajar ke luar. Di tempat belajarnya ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Bekal inilah yang di kemudian hari membuatnya mampu memosisikan diri secara tepat dan solutif di tengah problematika yang sedang terjadi di Indonesia.
(mhy)