Wakaf Sebagai Nafas Manajemen
loading...
A
A
A
Muhammad Irfanudin Kurniawan,
Dosen Universitas Darunnajah
"Alhamdulillah, rapat dewan nadzir Darunnajah ke 48 bisa berjalan dengan lancar dan khidmat.. mohon doanya poro yai semoga dikuatkan utk mengelola amanah ummat ini". Penggalan pesan WA dari kiai muda Darunnajah (KH. Hadiyanto Arief) itu tersebar di beberapa grup WA yang kami ikuti, seperti forum pesantren alumni Gontor dan Darunnajah.
Apakah amanah umat itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah wakaf . Dewan Nazir nama yang dipakai di Darunnajah sebagai institusi tertinggi pengganti pendiri. Di Gontor dikenal dengan istilah Badan Wakaf . Di beberapa pesantren di kenal dengan Majlis Masyayikh.
Nama boleh berbeda tetapi inti tetap sama "Jangan sampai sebuah lembaga (Pesantren) bubar ketika ditinggal pendirinya (kiai). Inilah cita-cita dan harapan dan begitulah Islam menggariskan. Segala kebaikan harus seperti pohon yang akarnya kuat menancap sedang batang, ranting dan buahnya menjulang ke angkasa, memberikan keberkahan dan manfaat yang tak berbilang.
Setelah merenung beberapa saat. Bagi kami, wakaf merupakan filosofis sistem dan Manajemen. Wakaf adalah nafas yang menggerakan roda-roda dalam lembaga. Ini bukan sebuah cocokologi. Selama ini pelatihan-pelatihan kebijakan, pengelolaan perguruan tinggi yang kami ikuti, banyak membahas tentang Sistem penjaminan mutu, baik internal (SPMI) maupun eksternal berupa akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (Ban-PT).
Sistem penjaminan mutu ini menjadi penting, karena pertanyaan yang paling mendasar dari para Asesor tidak lain dan tidak bukan adalah apa visi lembaga ini, bagaimana implementasinya, apa saja medianya, sistemnya dan juga manajemen strateginya? Ini merupakan bentuk pengawalan visi, misi, tujuan dan strategi lembaga.
Tidak sedikit lembaga (Pesantren) yang visi dan tujuannya berubah, ketika pucuk pimpinannya berubah, menjadikan misi dan strateginya labil, hilang bentuk, atau bahasa lain “hilang identitas”, banyak juga yang sampai mencari pengakuan kesana kesini. Padahal setiap lembaga memiliki ciri khas yang berasal dari visi pendirinya. Apabila visi itu dijaga maka keberkahan akan memayungi dan menjadi panduan langkah-langkah ke depan.
Kembali kepada wakaf sebagai asas dari sebuah sistem dan manajemen lembaga. Pada hakikatnya, wakaf mempunyai filosofi dan hikmah yang sangat rasional, bermanfaat bagi kehidupan umat. Manfaat ini sudah terbukti dalam sejarah umat Islam, sejak awal sampai kini. Namun hal tersebut memang sangat tergantung kepada kemampuan umat sendiri untuk mengaktualisasikan filosofi dan hikmah wakaf dalam kehidupan umat.
Sebagaimana dengan Al-Qur’an yang penuh dengan petunjuk. Al-Qur’an tidak bisa menyampaikan secara langsung petunjuk yang terkandung pada dirinya, manusialah yang harus menggali. Sebagaimana yang diucapkan Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah:
"Dan Al-Qur'an ini hanyalah garis-garis tulisan yang tersimpan di antara dua kulit (mushaf), ia tidak berbicara dengan lisan, tetapi ia membutuhkan penerjemah. Yang berbicara atas namanya adalah manusia."
Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa Al-Qur'an, sebagai wahyu, meskipun penuh dengan kebijaksanaan, tidak dapat berbicara dan beraksi sendiri tanpa adanya manusia yang memahami, mengamalkan, dan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana wakaf, yang secara literal dapat berupa aset atau tanah, tidak memiliki kehidupan, nilai, atau manfaat jika tidak ada manusia yang mengelolanya dan menyebarkan manfaatnya kepada umat.
Wakaf sebagai filosofi dalam sistem dan manajemen pesantren mencerminkan upaya nyata untuk menghidupkan nilai-nilai yang tertuang, memperkuat visi serta misi pendiri agar lestari dan terus memberi manfaat. Seperti Al-Qur'an yang membutuhkan penerjemah, wakaf membutuhkan manajemen yang penuh kesadaran dan ketulusan, agar menjadi 'bahasa' nyata dari keberkahan yang diamanahkan.
Kadang tidak sedikit yang berpikiran bahwa wakaf harus berupa tanah yang luas. Padahal kalau dikembalikan ke dalam makna filosofis wakaf merupakan ibadah sosial. Oleh sebab itu dikenal juga wakaf profesi yaitu mewakafkan pekerjaan baik fisik maupun non fisik yang menghasilkan jasa atau layanan sesuai dengan syariah Islam. Wakaf ini memiliki nilai filosofis yang sangat dalam.
Filosofi ini mengingatkan, bahwa kita bisa mewakafkan kecakapan, keterampilan, kemampuan, bahkan ide, hasil temuan, sehingga mendapatkan keberkahan, manfaat yang luas, baik personal maupun sosial. Spirit wakaf ini perlu untuk dijaga dan disosialisasikan, membangun awareness bahwa lembaga ini adalah milik Allah, bagian-bagian dan program-program juga tujuannya hanya untuk Allah. Sehingga dalam setiap langkah pekerjaan ada nilai ibadah yang mendasari, Salam.
Dosen Universitas Darunnajah
"Alhamdulillah, rapat dewan nadzir Darunnajah ke 48 bisa berjalan dengan lancar dan khidmat.. mohon doanya poro yai semoga dikuatkan utk mengelola amanah ummat ini". Penggalan pesan WA dari kiai muda Darunnajah (KH. Hadiyanto Arief) itu tersebar di beberapa grup WA yang kami ikuti, seperti forum pesantren alumni Gontor dan Darunnajah.
Apakah amanah umat itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah wakaf . Dewan Nazir nama yang dipakai di Darunnajah sebagai institusi tertinggi pengganti pendiri. Di Gontor dikenal dengan istilah Badan Wakaf . Di beberapa pesantren di kenal dengan Majlis Masyayikh.
Nama boleh berbeda tetapi inti tetap sama "Jangan sampai sebuah lembaga (Pesantren) bubar ketika ditinggal pendirinya (kiai). Inilah cita-cita dan harapan dan begitulah Islam menggariskan. Segala kebaikan harus seperti pohon yang akarnya kuat menancap sedang batang, ranting dan buahnya menjulang ke angkasa, memberikan keberkahan dan manfaat yang tak berbilang.
Setelah merenung beberapa saat. Bagi kami, wakaf merupakan filosofis sistem dan Manajemen. Wakaf adalah nafas yang menggerakan roda-roda dalam lembaga. Ini bukan sebuah cocokologi. Selama ini pelatihan-pelatihan kebijakan, pengelolaan perguruan tinggi yang kami ikuti, banyak membahas tentang Sistem penjaminan mutu, baik internal (SPMI) maupun eksternal berupa akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (Ban-PT).
Sistem penjaminan mutu ini menjadi penting, karena pertanyaan yang paling mendasar dari para Asesor tidak lain dan tidak bukan adalah apa visi lembaga ini, bagaimana implementasinya, apa saja medianya, sistemnya dan juga manajemen strateginya? Ini merupakan bentuk pengawalan visi, misi, tujuan dan strategi lembaga.
Tidak sedikit lembaga (Pesantren) yang visi dan tujuannya berubah, ketika pucuk pimpinannya berubah, menjadikan misi dan strateginya labil, hilang bentuk, atau bahasa lain “hilang identitas”, banyak juga yang sampai mencari pengakuan kesana kesini. Padahal setiap lembaga memiliki ciri khas yang berasal dari visi pendirinya. Apabila visi itu dijaga maka keberkahan akan memayungi dan menjadi panduan langkah-langkah ke depan.
Kembali kepada wakaf sebagai asas dari sebuah sistem dan manajemen lembaga. Pada hakikatnya, wakaf mempunyai filosofi dan hikmah yang sangat rasional, bermanfaat bagi kehidupan umat. Manfaat ini sudah terbukti dalam sejarah umat Islam, sejak awal sampai kini. Namun hal tersebut memang sangat tergantung kepada kemampuan umat sendiri untuk mengaktualisasikan filosofi dan hikmah wakaf dalam kehidupan umat.
Sebagaimana dengan Al-Qur’an yang penuh dengan petunjuk. Al-Qur’an tidak bisa menyampaikan secara langsung petunjuk yang terkandung pada dirinya, manusialah yang harus menggali. Sebagaimana yang diucapkan Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah:
وهذا القرآن إنما هو خط مستور بين الدفتين لاينطق بلسان، ولا بد له من ترجمان وإنما ينطق عنه الرجال
"Dan Al-Qur'an ini hanyalah garis-garis tulisan yang tersimpan di antara dua kulit (mushaf), ia tidak berbicara dengan lisan, tetapi ia membutuhkan penerjemah. Yang berbicara atas namanya adalah manusia."
Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa Al-Qur'an, sebagai wahyu, meskipun penuh dengan kebijaksanaan, tidak dapat berbicara dan beraksi sendiri tanpa adanya manusia yang memahami, mengamalkan, dan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana wakaf, yang secara literal dapat berupa aset atau tanah, tidak memiliki kehidupan, nilai, atau manfaat jika tidak ada manusia yang mengelolanya dan menyebarkan manfaatnya kepada umat.
Wakaf sebagai filosofi dalam sistem dan manajemen pesantren mencerminkan upaya nyata untuk menghidupkan nilai-nilai yang tertuang, memperkuat visi serta misi pendiri agar lestari dan terus memberi manfaat. Seperti Al-Qur'an yang membutuhkan penerjemah, wakaf membutuhkan manajemen yang penuh kesadaran dan ketulusan, agar menjadi 'bahasa' nyata dari keberkahan yang diamanahkan.
Kadang tidak sedikit yang berpikiran bahwa wakaf harus berupa tanah yang luas. Padahal kalau dikembalikan ke dalam makna filosofis wakaf merupakan ibadah sosial. Oleh sebab itu dikenal juga wakaf profesi yaitu mewakafkan pekerjaan baik fisik maupun non fisik yang menghasilkan jasa atau layanan sesuai dengan syariah Islam. Wakaf ini memiliki nilai filosofis yang sangat dalam.
Filosofi ini mengingatkan, bahwa kita bisa mewakafkan kecakapan, keterampilan, kemampuan, bahkan ide, hasil temuan, sehingga mendapatkan keberkahan, manfaat yang luas, baik personal maupun sosial. Spirit wakaf ini perlu untuk dijaga dan disosialisasikan, membangun awareness bahwa lembaga ini adalah milik Allah, bagian-bagian dan program-program juga tujuannya hanya untuk Allah. Sehingga dalam setiap langkah pekerjaan ada nilai ibadah yang mendasari, Salam.
(wid)