Hukum Menjual dan Memindahkan Tanah Waqaf
loading...
A
A
A
Bagaimana hukum menjual atau memindahkan tanah waqaf ke tempat lain? Berikut penjelasan Ustaz Farid Nu'man Hasan dalam satu kajiannya.
Pada prinsip dasarnya, harta yang sudah diwaqafkan tidak boleh diperjualbelikan. Rasulullah ﷺ bersabda:
َ تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ
Artinya: "Sedekahkanlah (waqafkan) dengan pepohonannya dan jangan kamu jual juga jangan dihibahkan dan jangan pula diwariskan." (HR Al-Bukhari 2764)
Inilah pendapat mayoritas ulama baik Mazhab Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, dan sebagian Hanafiyah seperti Abi Yusuf dan Muhammad bin Hasan. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 44/119)
Namun, para ulama menegaskan ada kondisi mendesak yang membuatnya boleh dipindahkan, dan tentunya dijual dulu agar bisa pindah. Dalam Al Mausu'ah diterangkan: "Jika manfaat harta waqaf sirna maka hendaknya dikelola dengan cara yang memungkinkannya dapat mengalir kembali manfaatnya yaitu:
1. Dibangun atau dimakmurkan dengan hal lain yang lebih dibutuhkan.
2. Menjualnya lalu diganti dengan yang lainnya.
3. Kembalikan ke kuasa waqif (pewaqaf), agar dia kelola.
Contoh Penerapannya
Apabila kondisi waqaf tersebut tidak bermanfaat, misalnya waqaf tanah untuk pesantren, sementara pesantren itu bangkrut tidak ada santri maka boleh bagi nazir mengubahnya menjadi hal yang lebih melahirkan manfaat (menjadi RS atau masjid, atau makam). Atau menjualnya lalu pindah ke daerah yang lebih membutuhkan pesantren itu.
Contoh kedua, jika terkena proyek negara, yang manfaatnya lebih umum seperti proyek jalan tol, jalan raya yang dapat menghidupkan ekonomi umat daerah itu lebih pesat. Maka, boleh dijual dan dipindahkan ke tempat lain agar waqafnya tetap bermanfaat.
Jika dijual tanpa alasan syar'i, ini yang diharamkan oleh syari'at.
Wallahu A'lam
Pada prinsip dasarnya, harta yang sudah diwaqafkan tidak boleh diperjualbelikan. Rasulullah ﷺ bersabda:
َ تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ
Artinya: "Sedekahkanlah (waqafkan) dengan pepohonannya dan jangan kamu jual juga jangan dihibahkan dan jangan pula diwariskan." (HR Al-Bukhari 2764)
Inilah pendapat mayoritas ulama baik Mazhab Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, dan sebagian Hanafiyah seperti Abi Yusuf dan Muhammad bin Hasan. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 44/119)
Namun, para ulama menegaskan ada kondisi mendesak yang membuatnya boleh dipindahkan, dan tentunya dijual dulu agar bisa pindah. Dalam Al Mausu'ah diterangkan: "Jika manfaat harta waqaf sirna maka hendaknya dikelola dengan cara yang memungkinkannya dapat mengalir kembali manfaatnya yaitu:
1. Dibangun atau dimakmurkan dengan hal lain yang lebih dibutuhkan.
2. Menjualnya lalu diganti dengan yang lainnya.
3. Kembalikan ke kuasa waqif (pewaqaf), agar dia kelola.
Contoh Penerapannya
Apabila kondisi waqaf tersebut tidak bermanfaat, misalnya waqaf tanah untuk pesantren, sementara pesantren itu bangkrut tidak ada santri maka boleh bagi nazir mengubahnya menjadi hal yang lebih melahirkan manfaat (menjadi RS atau masjid, atau makam). Atau menjualnya lalu pindah ke daerah yang lebih membutuhkan pesantren itu.
Contoh kedua, jika terkena proyek negara, yang manfaatnya lebih umum seperti proyek jalan tol, jalan raya yang dapat menghidupkan ekonomi umat daerah itu lebih pesat. Maka, boleh dijual dan dipindahkan ke tempat lain agar waqafnya tetap bermanfaat.
Jika dijual tanpa alasan syar'i, ini yang diharamkan oleh syari'at.
Wallahu A'lam
(rhs)