Muhammadiyah Dekat dengan Kaum Proletar: Simak Pidato Kiai Ahmad Dahlan

Jum'at, 29 November 2024 - 18:21 WIB
loading...
A A A
PenelitianKarel A Steebrink

Informasi tentang selimut takhayul dan jimat bisa dibaca dari laporan penelitian Karel A. Steenbrink tentang “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19”.

Laporan penelitian Steenbrink tersebut terbit dalam bahasa Indonesia pada 1984. Dalam laporan itu dinyatakan ada lima macam guru yang berperan menyebarkan pengetahuan di dalam kehidupan umat. Salah satu dari lima macam guru itu disebutkan Steenbrink ialah Guru Ilmu Gaib dan Penjual Jimat.



Steenbrink selanjutnya menulis “Kemampuan ini (guru Ilmu Gaib dan Penjual Jimat) sering dikuasai oleh guru kitab dan guru tarekat, di samping dipraktikkan juga oleh orang yang tidak termasuk golongan di atas.”

Karel A Steebrink juga melaporkan tentang tugas penghulu (baca: pemimpin agama ketika itu). “Penghulu tingkat kabupaten harus melaksanakan lima fungsi; yaitu: ...e. Menurut adat dia adalah satu-satunya orang yang berhak mengumpulkan zakat; yang tidak diperuntukkan bagi mustahik, tetapi untuk gajinya.

Fungsi penghulu ini kemudian meluas diperankan oleh elite agama di daerah-daerah sebagai amil (pengumpul) zakat harta, zakat maal, dan daging kurban.

Praktik ibadah mahdlah (wajib) selama ini dilakukan dengan fokus memenuhi perintah Allah dalam rangka pendekatan diri kepada-Nya, sehingga kurang berfungsi bagi pemenuhan kebutuhan hidup kongkrit si pelaku ibadah itu sendiri.

Dimensi hablun minallah (hubungan dengan Allah) cenderung menjadi orientasi utama dengan mengabaikan dimensi hablun minnas (hubungan antar sesama manusia dan lingkungan alam tempat manusia hidup).

Ajaran tentang “Cari dan kejarlah kehidupan akhirat (baca: spiritual), tapi jangan lupa pemecahan problem kehidupan di dunia objektif”, kurang menjadi perhatian.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, khotbah, dakwah, pengajaran, dan buku-buku yang beredar lebih banyak mengeksplorasi doktrin ad-dunya mazro-atul akhirat, bahwa kehidupan duniawi adalah ladang kehidupan akhirat (baca: sesudah kematian), lebih diartikan dalam perspektif ad-dunya sijnun lil mukminin (kehidupan duniawi adalah penjara bagi orang-orang yang beriman).



Wahyu Allah dan sunnah Rasul yang berkaitan dengan masalah serupa yang dipahami secara harfiah menjadi arus utama sosialisasi ajaran Islam.

Ajaran kehidupan duniawi tidak lebih dari sekadar permainan, fata morgana, sesuatu yang sia-sia (laibun wa lahwun atau mataa-ul ghurur), sedang kehidupan yang sesungguhnya baru mulai berlangsung sesudah kematian, lebih dipahami secara harfiah, menjadi doktrin yang taken for granted.

Dalam hubungan inilah, muncul kritik bahwa dakwah, pengajian, khotbah, dan juga pengajaran di bangku-bangku sekolah lebih fokus sebagai “persiapan kematian” daripada “perjuangan hidup”.

Ajaran Islam seolah dipahami menjadi ajaran untuk mati, bukan untuk mempersiapkan diri guna menghadapi dan memecahkan persoalan kehidupan.

Pidato KH Ahmad Dahlan

Dalam pidatonya di Kongres Muhammadiyah Desember 1922, Kiai Ahmad Dahlan menyatakan: “Sesungguhnya tidak ada yang lain dari maksud dan kehendak manusia itu ialah menuju kepada keselamatan dunia dan akhirat. Adapun jalan untuk mencapai maksud dan tujuan manusia tersebut harus dengan mempergunakan akal yang sehat. ...Adapun akal yang sehat itu ialah yang dapat memilih segala hal dengan cermat dan pertimbangan, kemudian memegang teguh hasil pilihannya tersebut."

"Adapun akal manusia mempunyai watak dasar menerima segala pengetahuan, karena pengetahuan bagi akal adalah merupakan kebutuhannya.”

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2393 seconds (0.1#10.140)