Kisah Zubair bin Awwam: Hawari Nabi yang Syahid Dibunuh Pengikut Ali
loading...
A
A
A
Di perang Hunain, Zubair melihat pemimpin suku Hawazin yang juga menjadi panglima pasukan musyrik dalam perang tersebut nama-nama Malik bin Auf. Terihat olehnya sesudah pasukan Hawazin bersama panglimanya lari tunggang langgang dari medan perang Hunain, ia sedang berada di tengah-tengah gerombolan besar sahabat-sahabatnya bersama sisa pasukan yang kalah, maka secara tiba-tiba diserbunya rombongan itu seorang diri, dan dikucar -kacirkannya kesatuan mereka. Kemudian dihalaunya mereka dari tempat persembunyian yang mereka gunakan sebagai pangkalan untuk menyergap pemimpin-pemimpin Islam yang baru kembali dari arena peperangan.
Keluarga Zubair
Masa kecil Zubair bin Awwam dihabiskan di Makkah, memori remaja dipenuhi dengan perjuangan membela Islam dan Rasulullah pada masa-masa awal saat Islam masih terasing dan sedikit pengikut.
Dalam catatan Thabaqat al-Kubra Zubair bin Awwam menikah dengan Asma’ binti Abu Bakar al-Shiddiq dan dikaruniai 11 orang putra dan 9 orang putri. Zubair sempat menikahi 3 orang istri selain Asma’ yaitu Ummu Khalid, al-Rabab binti Unaif, dan Zainab.
Masih dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra, diceritakan tentang keutamaan lain dari Zubair bin Awwam yang keluar langsung dari mulut Rasulullah saw. Rasul bersabda: “Setiap Nabi memiliki sahabat utama, sahabat utamaku adalah Zubair bin Awwam (Likulli Nabiyyin hawaariyyun wa hawarii al-Zubair bin Awwam).
Karena bukan saja ia saudara sepupunya dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang empunya dua puteri semata, tapi lebih dari itu adalah karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang perkasa, kepemurahannya yang tidak terkira dan pengurbanan diri dan hartanya untuk Allah Tuhan dari alam semesta.
Sungguh, Hasan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifatnya ini dengan indah sekali, katanya: "la berdiri teguh menepati janjinya kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya. Menjadi pembelanya, sementara perbuatan sesuai dengan perkataannya. Ditempuhnya jalan yang telah digunakannya, tak hendak menyimpang daripadanya. Bertindak sebagai pembela kebenaran, karena kebenaran itu jalan sebaik-baiknya.
Zubair bin Awwam radhiallahu ‘anhu wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Saat itu beliau berusia 66 atau 67 tahun. Setelah jasad Zubair dimakamkan, Khalifah Ali bin Abu Thalib mengucapkan kalimat perpisahan kepada Zubair, “Sungguh aku berharap bahwa aku, Thalhah, Zubair, dan Usman termasuk orang-orang yang difirmankan Allah,
“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” ( QS. Al-Hijr : 47)
Ali menatap kubur Zubair sambil mengatakan, “Sungguh kedua telingaku ini mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thalhah dan Zubair berjalan di surga.”
Keluarga Zubair
Masa kecil Zubair bin Awwam dihabiskan di Makkah, memori remaja dipenuhi dengan perjuangan membela Islam dan Rasulullah pada masa-masa awal saat Islam masih terasing dan sedikit pengikut.
Dalam catatan Thabaqat al-Kubra Zubair bin Awwam menikah dengan Asma’ binti Abu Bakar al-Shiddiq dan dikaruniai 11 orang putra dan 9 orang putri. Zubair sempat menikahi 3 orang istri selain Asma’ yaitu Ummu Khalid, al-Rabab binti Unaif, dan Zainab.
Masih dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra, diceritakan tentang keutamaan lain dari Zubair bin Awwam yang keluar langsung dari mulut Rasulullah saw. Rasul bersabda: “Setiap Nabi memiliki sahabat utama, sahabat utamaku adalah Zubair bin Awwam (Likulli Nabiyyin hawaariyyun wa hawarii al-Zubair bin Awwam).
Karena bukan saja ia saudara sepupunya dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang empunya dua puteri semata, tapi lebih dari itu adalah karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang perkasa, kepemurahannya yang tidak terkira dan pengurbanan diri dan hartanya untuk Allah Tuhan dari alam semesta.
Sungguh, Hasan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifatnya ini dengan indah sekali, katanya: "la berdiri teguh menepati janjinya kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya. Menjadi pembelanya, sementara perbuatan sesuai dengan perkataannya. Ditempuhnya jalan yang telah digunakannya, tak hendak menyimpang daripadanya. Bertindak sebagai pembela kebenaran, karena kebenaran itu jalan sebaik-baiknya.
Zubair bin Awwam radhiallahu ‘anhu wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Saat itu beliau berusia 66 atau 67 tahun. Setelah jasad Zubair dimakamkan, Khalifah Ali bin Abu Thalib mengucapkan kalimat perpisahan kepada Zubair, “Sungguh aku berharap bahwa aku, Thalhah, Zubair, dan Usman termasuk orang-orang yang difirmankan Allah,
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ
“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” ( QS. Al-Hijr : 47)
Ali menatap kubur Zubair sambil mengatakan, “Sungguh kedua telingaku ini mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thalhah dan Zubair berjalan di surga.”
(mhy)