Kisah Polemik Ijtihad Umar Bin Khattab soal Agraria yang Kontroversial
loading...
A
A
A
"Kemudian," kata 'Umar lagi, "Allah tidak rela sebelum Dia mengikutsertakan orang-orang lain dan berfirman:
'Dan mereka (kaum Ansar) yang telah bertempat tinggal di negeri (Madinah) serta beriman sebelum (datang) mereka (kaum Muhajirin); mereka itu mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak mendapati dalam dada mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang yang berhijrah itu, bahkan mereka lebih mementingkan orang-orang yang berhijrah itu daripada diri mereka sendiri meskipun kesusahan ada pada mereka. Barangsiapa yang terhindar dari kekikiran dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang yang bahagia.'"
"Firman ini," jelas 'Umar, adalah khusus tentang kaum Ansar. Kemudian Allah tidak rela sebelum menyertakan bersama mereka itu orang-orang lain (dari generasi mendatang), dan berfirman,
'Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) itu semuanya berdo'a: 'Oh Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman, dan janganlah ditumbuhkan dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka yang beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.'" ( QS al-Hashr/59 :7-10).
"Ayat ini," kata 'Umar, "secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Ansar) itu, sehingga harta rampasan (fay') adalah untuk mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka (tentara yang berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya."
Mendahulukan Kepentingan Umum
Ijtihad Umar bin Khattab berkenaan dengan masalah tanah pertanian berserta garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Islam di negeri Syam, Irak, Persia, dan Mesir adalah sikap mendahulukan pertimbangan kepentingan umum yang menyeluruh.
"Kebijakan ini sangat cermat memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok orang-orang kaya saja," ujar Cak Nur.
Penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam, Persia, dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja.
"Hal itu akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji," ujarnya.
Di dalamnya kita melihat Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. "Itu adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an diketemukan sandaran yang sangat kuat," katanya.
Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok muslim sezamannya dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay'), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.
Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam yang hanif terhadap masalah-masalah yang pelik.
Ma'ruf al-Dawalibi dalam tulisannya berjudul "Kayfa ista'mala al-sahaabah 'uqulahum fi fahm al-Qur'an" juga menyebut ijtihad Umar bin Khattab ini termasuk yang menonjol pada zaman para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat.
Ma'ruf al-Dawalibi menjelaskan telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutkan dengan jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci.
Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil)."[QS al-Anfal/8:41]
Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci tersebut dan praktik Nabi SAW ketika beliau membagi (tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.
Ma'ruf al-Dawalibi meriwayatkan, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada Umar bin Khattab, dan meminta agar ia mengambil seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah merampasnya dalam perang.
'Dan mereka (kaum Ansar) yang telah bertempat tinggal di negeri (Madinah) serta beriman sebelum (datang) mereka (kaum Muhajirin); mereka itu mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak mendapati dalam dada mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang yang berhijrah itu, bahkan mereka lebih mementingkan orang-orang yang berhijrah itu daripada diri mereka sendiri meskipun kesusahan ada pada mereka. Barangsiapa yang terhindar dari kekikiran dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang yang bahagia.'"
"Firman ini," jelas 'Umar, adalah khusus tentang kaum Ansar. Kemudian Allah tidak rela sebelum menyertakan bersama mereka itu orang-orang lain (dari generasi mendatang), dan berfirman,
'Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) itu semuanya berdo'a: 'Oh Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman, dan janganlah ditumbuhkan dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka yang beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.'" ( QS al-Hashr/59 :7-10).
"Ayat ini," kata 'Umar, "secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Ansar) itu, sehingga harta rampasan (fay') adalah untuk mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka (tentara yang berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya."
Mendahulukan Kepentingan Umum
Ijtihad Umar bin Khattab berkenaan dengan masalah tanah pertanian berserta garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Islam di negeri Syam, Irak, Persia, dan Mesir adalah sikap mendahulukan pertimbangan kepentingan umum yang menyeluruh.
"Kebijakan ini sangat cermat memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok orang-orang kaya saja," ujar Cak Nur.
Penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam, Persia, dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja.
"Hal itu akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji," ujarnya.
Di dalamnya kita melihat Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. "Itu adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an diketemukan sandaran yang sangat kuat," katanya.
Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok muslim sezamannya dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay'), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.
Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam yang hanif terhadap masalah-masalah yang pelik.
Ma'ruf al-Dawalibi dalam tulisannya berjudul "Kayfa ista'mala al-sahaabah 'uqulahum fi fahm al-Qur'an" juga menyebut ijtihad Umar bin Khattab ini termasuk yang menonjol pada zaman para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat.
Ma'ruf al-Dawalibi menjelaskan telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutkan dengan jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci.
Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil)."[QS al-Anfal/8:41]
Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci tersebut dan praktik Nabi SAW ketika beliau membagi (tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.
Ma'ruf al-Dawalibi meriwayatkan, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada Umar bin Khattab, dan meminta agar ia mengambil seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah merampasnya dalam perang.