Si Kaya Membangun Masjid dan Sekolah tetapi Masuk Golongan yang Tertipu
loading...
A
A
A
IMAM Al-Ghazali memberi contoh tentang perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya tetapi mereka itu tertipu. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini ada bermacam-macam. Salah satunya ialah orang yang sangat berambisi untuk membangun masjid-masjid , sekolah-sekolah , jembatan-jembatan. (
)
Amal mereka ini tampak pada mata orang banyak, kemudian mereka mengukirkan nama-nama mereka pada batu prasasti , agar nama mereka senantiasa diingat, dan tetap dikenang walaupun mereka telah meninggal dunia, serta diketahui bahwa itulah hasil peninggalan mereka.( )
Si tajir ini menyangka bahwa dengan melakukan perbuatan seperti itu mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah SWT, namun sebenarnya mereka tertipu dalam dua hal.
Pertama, mereka membangun proyek-proyek itu dari harta kekayaan yang mereka peroleh melalui kezaliman, perampasan, dan sogokan (risywah), serta dari hal-hal yang terlarang. ( )
Dengan cara pencarian harta kekayaan seperti ini berarti mereka telah mendapatkan satu kemurkaan dari Allah SWT, serta kemurkaan ketika menafkahkannya.
Seharusnya mereka mencegah diri untuk tidak mencari harta kekayaan dengan cara seperti itu. Dan apabila mereka telah melakukan kemaksiatan kepada Allah untuk memperoleh harta kekayaan itu, maka mereka harus bertobat dan kembali kepada Allah, mengembalikan harta kekayaan itu kepada orang yang berhak memilikinya. Yaitu dengan cara mengembalikan barangnya atau menggantikan nilai barang tersebut apabila mereka tidak dapat mengembalikan barangnya.( )
Jikapun mereka tidak dapat mengembalikan barang-barang itu kepada pemiliknya, maka mereka wajib mengembalikannya kepada para ahli warisnya. Jika orang yang dizalimi itu tidak mempunyai ahli waris, maka dia harus menafkahkan harta itu untuk kemaslahatan yang paling penting.
Syaikh Yusuf Al-Qatdhawi berpendapat barangkali tindakan yang paling penting ialah mengentaskan kemiskinan . Akan tetapi, sayang sekali mereka tidak melakukannya, karena khawatir bahwa perbuatannya tidak banyak diketahui oleh mata manusia. Dan oleh karena itu mereka mendirikan bangunan, dengan tujuan memamerkan amal perbuatannya, dan memperoleh pujian dari manusia, serta berambisi untuk mengekalkan amal perbuatannya agar pada masa yang sama namanya juga ikut terabadikan.
Kedua, mereka menyangka bahwa amal perbuatan itu mereka lakukan dengan ikhlas, dan bertujuan baik karena menafkahkan harta kekayaan untuk membangun gedung-gedung.
Akan tetapi, kalau salah seorang di antara mereka diminta sumbangan, dan namanya tidak diabadikan sebagai penyumbang, maka hatinya tidak hendak memberikan sumbangan itu, padahal Allah SWT Maha Mengetahui amal perbuatannya baik namanya ditulis sebagai penyumbang atau tidak. Misalkan orang itu tidak memerlukan pujian orang, tapi hanya karena Allah, maka mengapa dia harus berlaku seperti itu. (Bersambung)
Lihat Juga: Profil Friederich Silaban, Anak Pendeta yang Ditunjuk Soekarno Jadi Arsitek Masjid Istiqlal
Amal mereka ini tampak pada mata orang banyak, kemudian mereka mengukirkan nama-nama mereka pada batu prasasti , agar nama mereka senantiasa diingat, dan tetap dikenang walaupun mereka telah meninggal dunia, serta diketahui bahwa itulah hasil peninggalan mereka.( )
Si tajir ini menyangka bahwa dengan melakukan perbuatan seperti itu mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah SWT, namun sebenarnya mereka tertipu dalam dua hal.
Pertama, mereka membangun proyek-proyek itu dari harta kekayaan yang mereka peroleh melalui kezaliman, perampasan, dan sogokan (risywah), serta dari hal-hal yang terlarang. ( )
Dengan cara pencarian harta kekayaan seperti ini berarti mereka telah mendapatkan satu kemurkaan dari Allah SWT, serta kemurkaan ketika menafkahkannya.
Seharusnya mereka mencegah diri untuk tidak mencari harta kekayaan dengan cara seperti itu. Dan apabila mereka telah melakukan kemaksiatan kepada Allah untuk memperoleh harta kekayaan itu, maka mereka harus bertobat dan kembali kepada Allah, mengembalikan harta kekayaan itu kepada orang yang berhak memilikinya. Yaitu dengan cara mengembalikan barangnya atau menggantikan nilai barang tersebut apabila mereka tidak dapat mengembalikan barangnya.( )
Jikapun mereka tidak dapat mengembalikan barang-barang itu kepada pemiliknya, maka mereka wajib mengembalikannya kepada para ahli warisnya. Jika orang yang dizalimi itu tidak mempunyai ahli waris, maka dia harus menafkahkan harta itu untuk kemaslahatan yang paling penting.
Syaikh Yusuf Al-Qatdhawi berpendapat barangkali tindakan yang paling penting ialah mengentaskan kemiskinan . Akan tetapi, sayang sekali mereka tidak melakukannya, karena khawatir bahwa perbuatannya tidak banyak diketahui oleh mata manusia. Dan oleh karena itu mereka mendirikan bangunan, dengan tujuan memamerkan amal perbuatannya, dan memperoleh pujian dari manusia, serta berambisi untuk mengekalkan amal perbuatannya agar pada masa yang sama namanya juga ikut terabadikan.
Kedua, mereka menyangka bahwa amal perbuatan itu mereka lakukan dengan ikhlas, dan bertujuan baik karena menafkahkan harta kekayaan untuk membangun gedung-gedung.
Akan tetapi, kalau salah seorang di antara mereka diminta sumbangan, dan namanya tidak diabadikan sebagai penyumbang, maka hatinya tidak hendak memberikan sumbangan itu, padahal Allah SWT Maha Mengetahui amal perbuatannya baik namanya ditulis sebagai penyumbang atau tidak. Misalkan orang itu tidak memerlukan pujian orang, tapi hanya karena Allah, maka mengapa dia harus berlaku seperti itu. (Bersambung)
Lihat Juga: Profil Friederich Silaban, Anak Pendeta yang Ditunjuk Soekarno Jadi Arsitek Masjid Istiqlal
(mhy)