Hukum Berhubungan Intim Suami Istri Saat Puasa Ramadhan

Minggu, 03 Mei 2020 - 22:56 WIB
loading...
Hukum Berhubungan Intim Suami Istri Saat Puasa Ramadhan
Ustaz Muhammad Asroi. Dai yang Bertugas di KUA Padangsidimpuan. Foto/ist
A A A
Ustaz Muhammad Asroi
Dai yang Bertugas di KUA Padangsidimpuan

Hubungan intim yang dilakukan pasangan suami istri asalnya adalah halal dan bahkan bernilai pahala, karena di dalam Islam itu merupakan bagian dari ibadah. Namun, ketika dalam keadaan berpuasa di bulan suci Ramadhan , hubungan intim suami istri (jima') menjadi terlarang dan menyebabkan batalnya puasa.

Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:

اُحِلَّ لَـکُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَآئِكُمْ ۗ هُنَّ لِبَا سٌ لَّـكُمْ وَاَ نْـتُمْ لِبَا سٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّکُمْ كُنْتُمْ تَخْتَا نُوْنَ اَنْفُسَکُمْ فَتَا بَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَا لْــئٰنَ بَا شِرُوْهُنَّ وَا بْتَغُوْا مَا کَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَا شْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَ بْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَ سْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَا مَ اِلَى الَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَا شِرُوْهُنَّ وَاَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Artinya:
"Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa." (QS. Al-Baqarah: Ayat 187)

Hubungan intim di siang hari termasuk tindakan yang menodai kesucian ataupun kehormatan bulan Ramadhan . Pelanggaran ini dihukumi dengan hukuman yang berat dalam kafaroh. Sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, "Wahai Rasulullah, celaka aku." Nabi berkata, "Apa yang terjadi padamu?" Pria tadi lantas menjawab, "Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa."

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?" Pria itu menjawab, "Tidak". Lantas Nabi bertanya lagi, "Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Pria tadi menjawab, "Tidak". Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, "Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?" Pria tadi juga menjawab, "Tidak".

Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau berkata, "Di mana orang yang bertanya tadi?" Pria itu lantas menjawab, "Ya, aku." Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, "Ambillah dan bersedakahlah dengannya."

Kemudian pria tadi mengatakan, "Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat Kota Madinah dari keluargaku. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau berkata, "Berilah makanan tersebut pada keluargamu." (HR. Al-Bukhari No 1936 dan Muslim No 1111).

Dalam hadis di atas, lelaki tersebut menyebut celakalah aku, karena telah menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadhan. Ini dapat kita yakini bahwa bersetubuh di siang hari Ramadhan dihukumi dosa besar. Maka jika itu dilakukan, wajib hukumnya membayar kafaroh. Kafaroh ini untuk menebus kesalahan di bulan Ramadhan, dan ini hanya berlaku pada puasa Ramadhan, bukan pada uasa qada atau puasa sunnah lainnya, merujuk kepada pendapat Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa'di, semoga Allah merahmati beliau.

Adapun Kafaroh itu sebagaimana disebutkan dalam hadis yaitu:
1. Membebaskan atu orang budak.
2. Jika tidak diperoleh, berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
3. Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.

Ada hal yang sangat menarik dalam hadis tersebut dan sangat menakjubkan, bahwa ada seseorang yang mengadu kepada baginda Rasulullah dalam keadaan takut. Namun ia pulang dalam keadaan gembira karena membawa kurma pemberian Rasulullah.

Kurma yang ia bawa itu adalah untuk membayar kafarohnya. Artinya sah kafaroh dibayarkan oleh orang lain jika benar-benar tidak mampu menunaikannya, dengan cara memberikannya kepada pelaku pelanggaran tersebut. Namun ini sebatas kajian dan bukan menjadi dalil, bahwa kafaroh itu gugur, karena ia semacam utang jika pemberi utang menggugurkannya.

Perlu diperhatikan dalam hal hubungan suami istri pada malam hari Ramadhan jangan sampai melalaikan kekhusukan ibadah kita. Syeikh As-Sa'di rahimahullah berkata: "Allah menetapkan adanya lailatul Qadar (malam yang penuh keutamaan) dan itu terdapat di malam-malam terakhir di Bulan ramadhan. Tidak sepantasnya kenikmatan hubungan intim melalaikan dari ibadah malam akhir bulan Ramadhan. Hubungan intim, jika luput, dapat dilakukan di lain waktu, namun jika lailatul qadar luput, maka ia tidak akan memperolehnya lagi untuk saat itu".

Wallohu A'lam Bisshowab
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1574 seconds (0.1#10.140)