Rasulullah Ingin Ubah Ka'bah, Demi Kemaslahatan Hal Itu Tidak Dilakukan

Minggu, 20 September 2020 - 13:47 WIB
loading...
Rasulullah Ingin Ubah Kabah, Demi Kemaslahatan Hal Itu Tidak Dilakukan
Ilustrasi/Ist
A A A
SYAIKH al-Islam,Taqiyuddin Ibnu Taimiyah , berkata, "Satu amalan boleh jadi kita dianjurkan untuk mengerjakannya dalam satu waktu, dan boleh jadi pula kita dianjurkan untuk meninggalkannya, tergantung kepada kemaslahatan yang timbul ketika kita mengerjakan atau meninggalkannya, berdasarkan dalil-dalil syari'ah agama. ( (1) dan ( 2 )

Dalam kitabnya Majmu, Fatawa Syaikh al-Islam , sebagaimana dikutip Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya " Fiqh Prioritas ", Ibnu Taimiyah menjelaskan seorang Muslim kadangkala mesti meninggalkan sesuatu yang dianjurkan manakala sesuatu itu apabila dikerjakan akan menimbulkan kerusakan dan tidak mendatangkan kemaslahatan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW .

Beliau meninggalkan pembangunan Baitullah di atas fondasi yang didirikan oleh Nabi Ibrahim , sambil berkata kepada 'Aisyah, "Kalau bukan karena kaummu baru saja meninggalkan zaman jahiliyah , niscaya akan kuhancurkan Ka'bah dan akan kubangun di atas tanah dengan dua pintu. Satu pintu untuk masuk dan satu pintu lagi untuk pintu keluar."

Hadits ini disebutkan dalam as-Shahihain. Nabi meninggalkan niatnya ini karena ada sesuatu yang lebih utama darinya. Yaitu seandainya niat ini beliau lakukan, sedangkan kaum Muslim Quraisy baru saja meninggalkan zaman jahiliyah, niscaya perbuatan itu akan membuat mereka menjauh dari Islam . Sehingga menghindari kerusakan yang akan terjadi lebih diutamakan atas kemaslahatan yang akan diperoleh.

Oleh sebab itu, Imam Ahmad dan ulama lainnya lebih senang melakukan sesuatu yang lebih utama, jika perbuatan itu dianggap dapat tetap menjaga keutuhan persatuan umat Islam. ( )

Lebih Utama
Menurutnya, memisalkan salat witir dianggap lebih utama; yaitu dengan melakukan salam pada dua rakaat yang pertama, kemudian baru melakukan salat satu rakaat pada salam yang kedua; jika dia menjadi imam pada suatu kaum yang memiliki pandangan memisahkan witir.

Misalnya tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan witir, dan dia terus menyambungkannya, maka kemaslahatannya sendiri dapat dicapai tetapi orang-orang merasa benci untuk salat di belakangnya. (Baca juga: Si Kaya Membangun Masjid dan Sekolah tetapi Masuk Golongan yang Tertipu )

Begitu pula halnya dengan orang yang berpandangan bahwa membaca basmalah dengan suara pelan lebih utama, atau dengan suara keras yang lebih utama, tergantung kepada kebanyakan ma'mumnya. Dalam hal ini harus ada sesuatu yang diutamakan sehingga kemaslahatan dan menjaga persatuan tetap dapat dijalankan.


Begitu pula halnya apabila kita mengerjakan sesuatu yang berbeda tetapi lebih utama, untuk memberikan penjelasan terhadap sunnah dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, merupakan sesuatu yang baik. Seperti membaca doa iftitah, ta'awwudz, atau basmalah dengan suara keras, agar diketahui oleh manusia bahwa perbuatan itu merupakan sesuatu yang disyari'ahkan di dalam salat, sebagaimana dijelaskan oleh sebuah hadis sahih bahwa Umar bin Khattab membaca iftitah dengan suara keras. ( )

Dahulu Umar bin Khattab melakukan takbiratul-ihram, kemudian mengucapkan, "Mahasuci Engkau wahai Allah dan Maha Terpuji, yang nama-Mu membawa berkah, dan kesungguhan-Mu yang Maha Tinggi, dan tiada Tuhan selain Engkau."

Al-Aswad bin Yazid berkata, "Aku salat di belakang Umar lebih dari tujuh puluh kali salat. Dia bertakbir, kemudian dia mengucapkan doa tersebut." (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya).

Dan oleh sebab itu, doa iftitah tersebut sangat populer di kalangan masyarakat sehingga mereka dapat melakukan hal yang sama. Begitu pula yang dilakukan oleh Ibn Umar dan Ibn Abbas. Kedua orang ini mengeraskan bacaan ta'awwudz, dan tidak sedikit sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah.

Dan menurut para imam jumhur, yang tidak berpandangan mengeraskan basmalah dalam salat, bahwa hal itu dilakukan agar semua orang mengetahui bahwa bacaan basmalah adalah sesuatu yang disunnahkan di dalam salat. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih bahwa Ibn Abbas melakukan perbuatan itu agar masyarakat mengetahui bahwa ia adalah sesuatu yang sunnah.

Oleh sebab itu, ada dua pandangan besar yang berkaitan dengan salat jenazah .

Pertama, kelompok yang tidak memandang bahwa di dalam salat itu ada bacaan, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama salaf, dan ini merupakan mazhab Abu Hanifah.



Kedua, kelompok yang memandang bahwa bacaan di dalam salat itu merupakan sesuatu yang sunnah. Dan ini adalah mazhab Syafi'i dan Ahmad; berdasarkan hadis Ibn Abbas dan lain-lain.

Kemudian ada kelompok lain lagi yang mengatakan bahwa bacaan di dalam salat itu adalah wajib sebagaimana kewajiban yang berlaku di dalam salat.

Sebagian kelompok lainnya mengatakan, "Bacaan ayat al-Qur'an itu hukumnya sunnah, dan tidak wajib."

Pendapat ini merupakan pendapat yang moderat dibandingkan dengan tiga pendapat sebelumnya. Karena sesungguhnya para ulama salaf mengerjakan ini dan yang lainnya mengerjakan itu. Dan kedua perbuatan mereka sangat masyhur di kalangan mereka.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2617 seconds (0.1#10.140)