Pencegahan Korupsi, Agama dan Kesalehan Sosial (1)
loading...
A
A
A
Sabir Laluhu
Wartawan Koran SINDO
KORUPSI adalah kejahatan serius dan luar biasa yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Negara-negara di dunia termasuk juga tentunya Indonesia telah menjadikan korupsi sebagai musuh utama. Apalagi dampak korupsi begitu besar dan nyata bagi kehidupan kita. Dengan demikian korupsi harus diberantas secara berkesinambungan dan bersama-sama.
Beberapa bulan terakhir, publik diperlihatkan dengan sejumlah kejadian. Ada terpidana -kini mantan terpidana- yang berhasil menghirup udara bebas setelah mendapatkan remisi dengan jumlah cukup fantastis. Padahal, penegak hukum yang menangani perkara si terpidana sebelumnya tidak pernah memberikan status justice collaborator (JC) atau ada yang diberikan status JC tetapi belum disampaikan alasan yang jelas. Ada pula beberapa terpidana di tahap peninjauan kembali (PK) yang dikurangkan pidana penjaranya serta bahkan ada juga yang divonis bebas.
Berdasarkan berbagai perkara yang terhampar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), penulis merangkum sedikitnya ada 15 dampak korupsi. (1) Merusak nilai fitrah manusia dan kemanusiaan. (2) Merugikan keuangan negara. (3) Merusak lingkungan dan ekosistem sehingga menimbulkan bencana alam. (4) Pelayanan publik tidak berjalan maksimal. (5) Akses masyarakat dan pelayanan pendidikan, kesehatan, perizinan, dan energi menjadi tidak optimal. ( )
(6) Pembangunan tidak signifikan untuk kesejahteraan masyarakat. (7) Tender proyek dan pelaksanaan hanya bisa dinikmati oleh orang yang memiliki akses kekuasaan dan politik. (8) Banyak proyek termasuk infrastruktur seperti gedung dan jalan yang mangkrak dan menjadi 'monumen korupsi'. (9) Tercederainya kepercayaan masyarakat terhadap dan mencoreng nama baik kementerian/lembaga negara baik eksekutif maupun legislatif dari tingkat pusat hingga tingkat daerah bahkan desa.
(10) Hukum menjadi ladang pengeruk uang atau dengan kata lain kasus atau perkara hukum menjadi sarana 'anjungan tunai mandiri' bagi oknum penegak hukum, hingga penegakan hukum tidak berpihak ke yang lemah dan orang-orang yang tidak berduit. (11) Mencoreng lembaga atau badan peradilan. (12) Penempatan jabatan dan PNS/ASN menjadi tergantung pada kepala daerah/pejabat kementerian/lembaga/instansi daerah yang diduga menerima uang pelicin.
(13) Mengakibatkan saksi yang bukan pelaku korupsi kesulitan mencari kerja dan bahkan tidak diterima kerja saat melamar kerja. (14) Merusak regenerasi dan perkaderan di internal partai politik, rekrutmen dan pencalonan anggota legislatif dan kepala daerah, hingga merusak sistem kepartaian dan pelaksanaan demokrasi. (15) Mencederai kepercayaan umat serta menghambat pemenuhan kebutuhan dan peningkatan beribadah keimanan dan ketakwaan umat.
Singkat kata, korupsi berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara. Karenanya upaya pemberantasan korupsi tidak boleh mundur satu langkah pun. Di dalam 'pemberantasan' korupsi tersirat dua upaya penting yaitu penindakan dan pencegahan yang wajib terus dilakukan. Setiap anak bangsa, siapa pun dia, apapun jabatan, profesi, pekerjaan, tingkat pendidikan, maupun status sosialnya harus bahu-membahu, bergandengan tangan, dan berperan aktif. ( )
Kesalehan Sosial dan Korupsi
Kesadaran nyata pemberantasan korupsi dalam konteks pencegahan, sudah selayaknya hadir dari dalam diri setiap individu. Perwujudannya kemudian adalah tindakan dalam kehidupan sosial yang menjadi kesalehan sosial. Bagaimanapun jua, korupsi harus diberantas agar benar-benar terciptanya kesejahteraan sosial serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang tidak boleh dilupakan, kesalehan individual maupun kesalehan sosial akan termanifestasikan jika didasari dengan kesadaran utuh pada nilai-nilai ajaran agama dan kepercayaan para pemeluknya.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat (1) berbunyi, "Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya."
Dalam beberapa kesempatan, almarhum KH Abdurrahan Wahid (Gus Dur) menekankan tentang perwujudan kesalehan individual menjadi kesalehan sosial. Karenanya, ketuhanan yang diyakini oleh para pemeluknya diwujudkan dengan berkemanusiaan yang didasari pada nilai-nilai ajaran agama. Dalam konteks perwujudan ketuhanan dalam diri seseorang, maka satu di antaranya yaitu berbuat baik kepada sesama manusia. Pun bagi Gus Dur, Indonesia akan hancur karena dua hal, moral bejat dan korupsi.
Karenanya layak disodorkan kembali satu kalimat Gus Dur, kurang lebih berbunyi, "Tidak penting apapun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."
Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), ajaran Islam berada pada posisi tengah yang mengikat antara dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal berwujud ritual dan bersifat pribadi. Dimensi horizontal berwujud amal saleh atau kerja kemanusiaan sebagai kesatuan tunggal. Singkatnya, kata Cak Nur, agama Islam melarang orang yang hanya mengutamakan dimensi ritual dan kesalehan formal (formal piety) tapi melalaikan dimensi kemanusiaan. (Budhy Munawar-Rachman (Peny.), Karya Lengkap Nurcholish Madjid, Cetakan Pertama, Jakarta, Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2020, h. 3741).
Cak Nur menyodorkan berzakat sebagai satu contoh wujud ajaran Islam yang berdimensi horizontal yang juga merupakan efek ikutan dimensi vertikal. Ide dasar berzakat adalah komitmen sosial dan perbaikan sosial. Di sisi lain, ujar Cak Nur, berzakat adalah amalan ibadah yang bermuara pada perbaikan sosial sebagai wujud dan realisasi atau pembuktian keimanan yang bersifat personal atau pribadi.
Dalam Islam , orang tidak cukup hanya menjaga kesalehan pribadi dengan menjalankan perintah agama, tetapi kosong dan hampa dari dimensi konsekuensial. Dimensi konsekuensial, tutur Cak Nur, yakni amal saleh atau berbuat baik secara sosial. Karenanya, seorang muslim mestinya menjadikan kesalehan pribadi yang dibarengi dan diiringi dengan komitmen sosial atau amal saleh atau juga kesalehan sosial. Dalam konteks kesalehan seorang muslim, Cak Nur menegaskan, kesalehan pun dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum. (Budhy Munawar-Rachman (Peny.), h.793, h. 3716-3717, dan h. 3839).
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyatakan, hakikatnya agama menekankan keselarasan kesalehan individual-personal dan kesalehan sosial. Menurut dia, peningkatan kesalehan individual-personal sudah seharusnya dibarengi dengan peningkatan kesalehan sosial. Beberapa tahun belakangan, kesalehan individual-personal di kalangan umat beragama di Indonesia terus meningkat. Tapi kesalahan itu tidak diimbangi dengan peningkatan kesalehan sosial.
Contoh paling nyata, ada banyak pelaku korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hampir semua aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat atau umat beragama. Para pelaku yang ditersangkakan, ditahan, hingga berstatus narapidana pun rata-rata merupakan penganut agama. Padahal, dalam agama Islam misalnya, dorongan hawa nafsu harus dikendalikan termasuk mengumpulkan harta dari jalan yang batil, agar tidak merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya.
"Di Indonesia terjadi peningkatan gairah keagamaan, gairah kesalehan individual-personal, tapi kesalehan sosialnya masih kedodoran. Ibadah rajin tapi malah korupsi . Seharusnya kesalehan individual-personal diwujudkan menjadi kesalehan sosial. Salah satu bentuknya adalah tidak permisif dengan korupsi, tidak berperilaku koruptif, dan tidak melakukan korupsi," ujar Azyumardi kepada penulis.
Pria bergelar Sir dari Kerajaan Inggris ini membeberkan, korupsi adalah perbuatan yang mengkhianati amanah, bertentangan dengan keadilan, dan bertentangan dengan tanggung jawab. Azyumardi mengungkapkan, ketidakpaduan kesalehan individual-personal dan kesalehan sosial pun terlihat jelas bahwa korupsi di Indonesia sudah menjangkiti masyarakat dari tingkat atas atau elit hingga tingkat pemerintahan paling rendah dan akar rumput. Padahal akibat dari korupsi, kata dia, di antaranya merusak kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta merusak lingkungan.
" Korupsi juga mengakibatkan kesejahteraan masyarakat tidak terpenuhi dengan baik, infrastruktur yang dibangun tidak memadai, layanan kesehatan tidak berjalan maksimal, juga pemenuhan pendidikan anak bangsa jadi terabaikan," katanya. ( )
(Bersambung)!
Wartawan Koran SINDO
KORUPSI adalah kejahatan serius dan luar biasa yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Negara-negara di dunia termasuk juga tentunya Indonesia telah menjadikan korupsi sebagai musuh utama. Apalagi dampak korupsi begitu besar dan nyata bagi kehidupan kita. Dengan demikian korupsi harus diberantas secara berkesinambungan dan bersama-sama.
Beberapa bulan terakhir, publik diperlihatkan dengan sejumlah kejadian. Ada terpidana -kini mantan terpidana- yang berhasil menghirup udara bebas setelah mendapatkan remisi dengan jumlah cukup fantastis. Padahal, penegak hukum yang menangani perkara si terpidana sebelumnya tidak pernah memberikan status justice collaborator (JC) atau ada yang diberikan status JC tetapi belum disampaikan alasan yang jelas. Ada pula beberapa terpidana di tahap peninjauan kembali (PK) yang dikurangkan pidana penjaranya serta bahkan ada juga yang divonis bebas.
Berdasarkan berbagai perkara yang terhampar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), penulis merangkum sedikitnya ada 15 dampak korupsi. (1) Merusak nilai fitrah manusia dan kemanusiaan. (2) Merugikan keuangan negara. (3) Merusak lingkungan dan ekosistem sehingga menimbulkan bencana alam. (4) Pelayanan publik tidak berjalan maksimal. (5) Akses masyarakat dan pelayanan pendidikan, kesehatan, perizinan, dan energi menjadi tidak optimal. ( )
(6) Pembangunan tidak signifikan untuk kesejahteraan masyarakat. (7) Tender proyek dan pelaksanaan hanya bisa dinikmati oleh orang yang memiliki akses kekuasaan dan politik. (8) Banyak proyek termasuk infrastruktur seperti gedung dan jalan yang mangkrak dan menjadi 'monumen korupsi'. (9) Tercederainya kepercayaan masyarakat terhadap dan mencoreng nama baik kementerian/lembaga negara baik eksekutif maupun legislatif dari tingkat pusat hingga tingkat daerah bahkan desa.
(10) Hukum menjadi ladang pengeruk uang atau dengan kata lain kasus atau perkara hukum menjadi sarana 'anjungan tunai mandiri' bagi oknum penegak hukum, hingga penegakan hukum tidak berpihak ke yang lemah dan orang-orang yang tidak berduit. (11) Mencoreng lembaga atau badan peradilan. (12) Penempatan jabatan dan PNS/ASN menjadi tergantung pada kepala daerah/pejabat kementerian/lembaga/instansi daerah yang diduga menerima uang pelicin.
(13) Mengakibatkan saksi yang bukan pelaku korupsi kesulitan mencari kerja dan bahkan tidak diterima kerja saat melamar kerja. (14) Merusak regenerasi dan perkaderan di internal partai politik, rekrutmen dan pencalonan anggota legislatif dan kepala daerah, hingga merusak sistem kepartaian dan pelaksanaan demokrasi. (15) Mencederai kepercayaan umat serta menghambat pemenuhan kebutuhan dan peningkatan beribadah keimanan dan ketakwaan umat.
Singkat kata, korupsi berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara. Karenanya upaya pemberantasan korupsi tidak boleh mundur satu langkah pun. Di dalam 'pemberantasan' korupsi tersirat dua upaya penting yaitu penindakan dan pencegahan yang wajib terus dilakukan. Setiap anak bangsa, siapa pun dia, apapun jabatan, profesi, pekerjaan, tingkat pendidikan, maupun status sosialnya harus bahu-membahu, bergandengan tangan, dan berperan aktif. ( )
Kesalehan Sosial dan Korupsi
Kesadaran nyata pemberantasan korupsi dalam konteks pencegahan, sudah selayaknya hadir dari dalam diri setiap individu. Perwujudannya kemudian adalah tindakan dalam kehidupan sosial yang menjadi kesalehan sosial. Bagaimanapun jua, korupsi harus diberantas agar benar-benar terciptanya kesejahteraan sosial serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang tidak boleh dilupakan, kesalehan individual maupun kesalehan sosial akan termanifestasikan jika didasari dengan kesadaran utuh pada nilai-nilai ajaran agama dan kepercayaan para pemeluknya.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat (1) berbunyi, "Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya."
Dalam beberapa kesempatan, almarhum KH Abdurrahan Wahid (Gus Dur) menekankan tentang perwujudan kesalehan individual menjadi kesalehan sosial. Karenanya, ketuhanan yang diyakini oleh para pemeluknya diwujudkan dengan berkemanusiaan yang didasari pada nilai-nilai ajaran agama. Dalam konteks perwujudan ketuhanan dalam diri seseorang, maka satu di antaranya yaitu berbuat baik kepada sesama manusia. Pun bagi Gus Dur, Indonesia akan hancur karena dua hal, moral bejat dan korupsi.
Karenanya layak disodorkan kembali satu kalimat Gus Dur, kurang lebih berbunyi, "Tidak penting apapun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."
Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), ajaran Islam berada pada posisi tengah yang mengikat antara dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal berwujud ritual dan bersifat pribadi. Dimensi horizontal berwujud amal saleh atau kerja kemanusiaan sebagai kesatuan tunggal. Singkatnya, kata Cak Nur, agama Islam melarang orang yang hanya mengutamakan dimensi ritual dan kesalehan formal (formal piety) tapi melalaikan dimensi kemanusiaan. (Budhy Munawar-Rachman (Peny.), Karya Lengkap Nurcholish Madjid, Cetakan Pertama, Jakarta, Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2020, h. 3741).
Cak Nur menyodorkan berzakat sebagai satu contoh wujud ajaran Islam yang berdimensi horizontal yang juga merupakan efek ikutan dimensi vertikal. Ide dasar berzakat adalah komitmen sosial dan perbaikan sosial. Di sisi lain, ujar Cak Nur, berzakat adalah amalan ibadah yang bermuara pada perbaikan sosial sebagai wujud dan realisasi atau pembuktian keimanan yang bersifat personal atau pribadi.
Dalam Islam , orang tidak cukup hanya menjaga kesalehan pribadi dengan menjalankan perintah agama, tetapi kosong dan hampa dari dimensi konsekuensial. Dimensi konsekuensial, tutur Cak Nur, yakni amal saleh atau berbuat baik secara sosial. Karenanya, seorang muslim mestinya menjadikan kesalehan pribadi yang dibarengi dan diiringi dengan komitmen sosial atau amal saleh atau juga kesalehan sosial. Dalam konteks kesalehan seorang muslim, Cak Nur menegaskan, kesalehan pun dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum. (Budhy Munawar-Rachman (Peny.), h.793, h. 3716-3717, dan h. 3839).
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyatakan, hakikatnya agama menekankan keselarasan kesalehan individual-personal dan kesalehan sosial. Menurut dia, peningkatan kesalehan individual-personal sudah seharusnya dibarengi dengan peningkatan kesalehan sosial. Beberapa tahun belakangan, kesalehan individual-personal di kalangan umat beragama di Indonesia terus meningkat. Tapi kesalahan itu tidak diimbangi dengan peningkatan kesalehan sosial.
Contoh paling nyata, ada banyak pelaku korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hampir semua aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat atau umat beragama. Para pelaku yang ditersangkakan, ditahan, hingga berstatus narapidana pun rata-rata merupakan penganut agama. Padahal, dalam agama Islam misalnya, dorongan hawa nafsu harus dikendalikan termasuk mengumpulkan harta dari jalan yang batil, agar tidak merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya.
"Di Indonesia terjadi peningkatan gairah keagamaan, gairah kesalehan individual-personal, tapi kesalehan sosialnya masih kedodoran. Ibadah rajin tapi malah korupsi . Seharusnya kesalehan individual-personal diwujudkan menjadi kesalehan sosial. Salah satu bentuknya adalah tidak permisif dengan korupsi, tidak berperilaku koruptif, dan tidak melakukan korupsi," ujar Azyumardi kepada penulis.
Pria bergelar Sir dari Kerajaan Inggris ini membeberkan, korupsi adalah perbuatan yang mengkhianati amanah, bertentangan dengan keadilan, dan bertentangan dengan tanggung jawab. Azyumardi mengungkapkan, ketidakpaduan kesalehan individual-personal dan kesalehan sosial pun terlihat jelas bahwa korupsi di Indonesia sudah menjangkiti masyarakat dari tingkat atas atau elit hingga tingkat pemerintahan paling rendah dan akar rumput. Padahal akibat dari korupsi, kata dia, di antaranya merusak kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta merusak lingkungan.
" Korupsi juga mengakibatkan kesejahteraan masyarakat tidak terpenuhi dengan baik, infrastruktur yang dibangun tidak memadai, layanan kesehatan tidak berjalan maksimal, juga pemenuhan pendidikan anak bangsa jadi terabaikan," katanya. ( )
(Bersambung)!
(rhs)