Malu Menjadi Tanda Kecerdasan Seorang Anak
loading...
A
A
A
Malu termasuk di antara sifat yang bisa mencegah seseorang dari perbuatan buruk dan menjaganya jatuh ke lubang akhlak tercela dan lumpur dosa. Demikian pula, malu termasuk faktor terkuat yang mendorong manusia untuk berbuat baik dan berjalan di atas nilai-nilai yang mulia.
Malu adalah benteng pertahanan bagi seluruh akhlak. Ia merupakan keutamaan yang agung dan karenanya perilaku manusia menjadi terarah. Ia adalah pagar yang melindungi tatanan nilai dan moral.
Abu Hamid al-Ghazali pernah menyatakan, "Kontrol pertama yang paling tepat dalam diri seorang adalah rasa malu. Karena jika seorang merasa malu, dia akan meninggalkan perbuatan buruk."
(Baca juga : Inilah Nasib Orang yang Bakhil )
Hal ini tiada lain karena akalnya telah tersinari, sehingga dia mampu melihat hakikat keburukan dan penyimpangan. Dia mampu mengetahui mana yang harus disikapi dengan malu dan mana yang tidak. Ini merupakan anugerah dari Allah kepadanya dan merupakan penunjuk yang akan mengantarkan dia menuju perilaku yang baik dan hati yang bersih.
Dalam kitab 'Fiqhul Haya', DR Muhammad Ismail Al-Muqoddam menjelaskan, sifat malu ini ternyata menjadi tanda kecerdasan seorang anak. Menurutnya, perilaku malu yang sudah tertanam pada anak semenjak kecil, menjadi kabar gembira bagi orang tuanya jika anak tersebut tumbuh menjadi sosok yang cerdas saat menginjak usia dewasa. Karenanya seorang anak yang pemalu, janganlah diremehkan, tapi dibantu untuk memosisikan sikap malunya secara proposional .
(Baca juga : Jadikan Anak 'Periwayat' yang Baik Amalan Orang Tuanya )
Ibnu Maskawih berkata, "Jika kamu melihat seorang anak kecil merasa malu, menundukkan pandangannya ke bawah dengan tersipu, juga tidak menataomu, maka ini adalah tanda keluhurannya dan merupakan bukti bahwa jiwanya sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk."(Tahdzib al-Akhlaq h 48),
Amr bin Uqbah berkata, "Ketika aku berusia 15 tahun, ayahku berkata kepadaku, 'Hai anakku, telah habis masa kanak-kanakmu. Maka dari itu, peganglah rasa malu dan masuklah kamu menjadi ahlinya serta janganlah kamu meninggalkannya, maka kamu akan tahu manfaat dari sifat malu'."
(Baca juga : Banjir Bandang Terjang Cicurug Sukabumi )
Tiga Macam Rasa Malu
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang. Pertama, malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah Ta'ala dan umat.
Kedua, malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
(Baca juga : Heboh Insentif Kartu Prakerja Buat Booking PSK, Pemerintah: Melukai Hati Rakyat )
Ketiga, malu kepada Allah Ta'ala. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
Mengingat sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak anak dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik.
(Baca juga : Menkumham Ungkap Kesiapan RI Jadi Tuan Rumah Konferensi tentang Hukum )
Wallahu A'lam
Malu adalah benteng pertahanan bagi seluruh akhlak. Ia merupakan keutamaan yang agung dan karenanya perilaku manusia menjadi terarah. Ia adalah pagar yang melindungi tatanan nilai dan moral.
Abu Hamid al-Ghazali pernah menyatakan, "Kontrol pertama yang paling tepat dalam diri seorang adalah rasa malu. Karena jika seorang merasa malu, dia akan meninggalkan perbuatan buruk."
(Baca juga : Inilah Nasib Orang yang Bakhil )
Hal ini tiada lain karena akalnya telah tersinari, sehingga dia mampu melihat hakikat keburukan dan penyimpangan. Dia mampu mengetahui mana yang harus disikapi dengan malu dan mana yang tidak. Ini merupakan anugerah dari Allah kepadanya dan merupakan penunjuk yang akan mengantarkan dia menuju perilaku yang baik dan hati yang bersih.
Dalam kitab 'Fiqhul Haya', DR Muhammad Ismail Al-Muqoddam menjelaskan, sifat malu ini ternyata menjadi tanda kecerdasan seorang anak. Menurutnya, perilaku malu yang sudah tertanam pada anak semenjak kecil, menjadi kabar gembira bagi orang tuanya jika anak tersebut tumbuh menjadi sosok yang cerdas saat menginjak usia dewasa. Karenanya seorang anak yang pemalu, janganlah diremehkan, tapi dibantu untuk memosisikan sikap malunya secara proposional .
(Baca juga : Jadikan Anak 'Periwayat' yang Baik Amalan Orang Tuanya )
Ibnu Maskawih berkata, "Jika kamu melihat seorang anak kecil merasa malu, menundukkan pandangannya ke bawah dengan tersipu, juga tidak menataomu, maka ini adalah tanda keluhurannya dan merupakan bukti bahwa jiwanya sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk."(Tahdzib al-Akhlaq h 48),
Amr bin Uqbah berkata, "Ketika aku berusia 15 tahun, ayahku berkata kepadaku, 'Hai anakku, telah habis masa kanak-kanakmu. Maka dari itu, peganglah rasa malu dan masuklah kamu menjadi ahlinya serta janganlah kamu meninggalkannya, maka kamu akan tahu manfaat dari sifat malu'."
(Baca juga : Banjir Bandang Terjang Cicurug Sukabumi )
Tiga Macam Rasa Malu
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang. Pertama, malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah Ta'ala dan umat.
Kedua, malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
(Baca juga : Heboh Insentif Kartu Prakerja Buat Booking PSK, Pemerintah: Melukai Hati Rakyat )
Ketiga, malu kepada Allah Ta'ala. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
Mengingat sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak anak dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik.
(Baca juga : Menkumham Ungkap Kesiapan RI Jadi Tuan Rumah Konferensi tentang Hukum )
Wallahu A'lam
(wid)