Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Salat, Bagaimana Jika Sebagai Makmum?
loading...
A
A
A
KETENTUAN bahwa membaca Surat Al-Fatihah adalah rukun salat adalah pendapat jumhur ulama , khususnya bagi orang yang salat sendirian (munfarid) atau bagi imam yang memimpin salat. Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum yang salat di belakang imam. Apakah tetap wajib membacanya, ataukah bacaan imam sudah cukup bagi makmum, sehingga tidak perlu lagi membacanya? (
)
Dalil Wajib Baca Al Fatihah
Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”. (HR Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394)
Dari Abu Hurairah , hadisnya marfu’ sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ
“Barangsiapa yang melaksanakan salat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka salatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali. HR. (Muslim no. 395)
Dalil Wajib Diam Ketika Imam Membaca Al Fatihah
Abu Hurairah berkata,
صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ « هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ». قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ « إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ ».
“Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah salat subuh. Beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya. ” Beliau lalu bersabda: “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?“ (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, juga yang lainnya. Hadis ini sahih).
Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barangsiapa yang salat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.” Hadits ini dikritisi oleh para ulama.
Hadis lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الإِمَامُ – أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ – لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.” (HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411)
Dalam riwayat Muslim pada hadis Abu Musa terdapat tambahan,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.”
Kompromi (Menjama’)
Metode para ulama dalam menyikapi dua macam hadis yang seolah-olah bertentangan adalah menjama’ di antara dalil-dalil yang ada selama itu memungkinkan. ( )
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata, “Jika dua hadis bertentangan secara zahir, jika memungkinkan untuk dijama’ antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya terlebih dahulu.”
Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata, “Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama’ (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama’ dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”
Dalil Wajib Baca Al Fatihah
Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”. (HR Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394)
Dari Abu Hurairah , hadisnya marfu’ sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ
“Barangsiapa yang melaksanakan salat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka salatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali. HR. (Muslim no. 395)
Dalil Wajib Diam Ketika Imam Membaca Al Fatihah
Abu Hurairah berkata,
صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ « هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ». قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ « إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ ».
“Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah salat subuh. Beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya. ” Beliau lalu bersabda: “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?“ (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, juga yang lainnya. Hadis ini sahih).
Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barangsiapa yang salat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.” Hadits ini dikritisi oleh para ulama.
Hadis lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الإِمَامُ – أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ – لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.” (HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411)
Dalam riwayat Muslim pada hadis Abu Musa terdapat tambahan,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.”
Kompromi (Menjama’)
Metode para ulama dalam menyikapi dua macam hadis yang seolah-olah bertentangan adalah menjama’ di antara dalil-dalil yang ada selama itu memungkinkan. ( )
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata, “Jika dua hadis bertentangan secara zahir, jika memungkinkan untuk dijama’ antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya terlebih dahulu.”
Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata, “Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama’ (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama’ dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”