Shafiyah yang Terpelajar, Penyabar dan Lemah Lembut
loading...
A
A
A
Sosok muslimah selanjutnya yakni Shafiyah binti Huyai . Salah satu istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan keturunan Arab Quraysh melainkan putri tokoh yahudi Khaibar . Ayahnya bernama Huyai bin Akhtab adalah seorang pemimpin Yahudi Bani Nadhir yang berkuasa di kawasan bernama Khaibar, terletak di sebelah barat laut Kota Madinah. Ibunya bernama Darrah binti Samail, puteri ketua Bani Quraizah.
Shafiyah dibesarkan dalam keluarga kaya nan berpengaruh. Pendidikan yang sempurna pun dia diperoleh. Seorang yang cantik rupawan dengan akhlak yang menawan itulah dirinya. Suami pertamanya adalah Sallam Ibn. Misham yang juga salah seorang penghulu kaum Yahudi. Namun perjodohan mereka tidak berlangsung lama. Shafiyah kembali tinggal bersama keluarganya. Pernikahan kedua dengan Kinanah Ibn Rabi’ sebelum akhirnya menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Baca juga : Perbuatan Baik yang Bisa Diamalkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat )
Rasulullah dan para sahabat melakukan perluasan dakwah di kawasan sekitar Madinah. Salah satunya wilayah Khaibar yang kebanyakan dihuni kaum yahudi. Pemimpinnya adalah Huyai yang menolak dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terjadilah pertempuran dahsyat yang tak terelakkan antara kaum muslimin dengan kaum yahudi Khaibar. Dan Allah berkenan memberikan kemenangan pada Rasul-Nya.
Terbunuhlah seluruh keluarga Shafiyah termasuk suami, ayah juga saudara lelakinya. Dia sendiri menjadi salah satu tawanan pasukan muslimin. Keadaan yang sangat menghinakan. Dibawalah para tawanan ini pada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Shafiyah kelihatan diam dan ketakutan. Namun, mereka dilayani dengan baik oleh pasukan Muslimin.
Di depan para tawanan, baginda Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil jubahnya dan meletakkan di bahu Shafiyah. Sebagai tanda kasihan kepadanya. Jauh di lubuk hati Shafiyah, ada perasaan telah dimuliakan dan diberi penghormatan yang tinggi dalam masyarakat muslim.
(Baca juga : Ummu Habibah,Perempuan Mukminah yang Setia kepada Diennya )
Selepas peperangan, salah seorang pasukan muslim bernama Dihya Al Kalbi meminta kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam seorang tawanan perempuan. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membolehkan memilih salah seorang. Dihya memilih Shafiyah. Salah seorang sahabat memberitahukan bahwa Shafiyah adalah putri ketua Bani Nadhir dan Bani Quraizah yang sepatutnya menjadi hak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Shafiyah tidak sepatutnya diperlakukan seperti wanita biasa. Akhirnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengganti perempuan lain untuk Dihya.
Rasulullah merasa kasihan terhadap Shafiyah yang hidup sebatang kara tanpa saudara dan terpaksa menanggung akibat permusuhan yang tidak diinginkannya. Shafiyah mau menerima Islam, lalu beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melamarnya. Shafiyah menerima dengan suka cita. Keadaannya tidak lagi terhina sebagai tawanan perang, bahkan menjadi ummul mukminin.
(Baca juga : Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya )
Shafiyah tekenal dengan kecantikannya meskipun tubuhnya tidak tinggi. Perempuan Anshar berkumpul untuk melihatnya termasuk isteri-isteri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Aisyah pulang dari melihat Shafiyah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Bagaimanakah pendapatmu tentang Shafiyah?” Tanya Rasulullah “Dia wanita Yahudi”, Jawab Aisyah. “Janganlah berkata begitu, Shafiyah telah memeluk Islam dan Islamnya adalah lebih baik”, jelas Rasulullah.
Shafiyah tidak diterima dengan baik oleh isteri-isteri Rasulullah lainnya. Mereka mengejek Shafiyah yang berketurunan Yahudi. Hingga suatu hari Rasulullah mendapati Shafiyah menangis sedih. Berkatalah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghiburnya: “Katakanlah kepada mereka bahwa bapakmu ialah Harun sedangkan Musa adalah pamanmu dan suamimu Nabi Allah.”
Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghibur dengan mengatakan bahwa pernikahan mereka karena perintah Allah Subhanahu wata’ala. Kata-kata itu menjadi obat kesedihan hatinya bahkan menambah kekuatan dalam menghadapi ujian.
(Baca juga : SBY Minta Macron Hentikan Kartun Nabi Muhammad SAW )
Shafiyah dekat dengan puteri kesayangan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Fatimah. Dia berikan anting emas kepada Fatimah juga pada isteri-isteri yang lain setelah pernikahannya. Shafiyah seorang yang tenang, lemah lembut, penyabar, sopan juga tabah. Selepas kemenangan Muslimin dalam peperangan Khaibar, Bilal telah membawa Shafiyah dan sepupunya melalui kawasan di mana mayat-mayat orang-orang Yahudi bergelimpangan termasuklah mayat kaum kerabat dan suami yang dicintai. Sepupunya itu tidak dapat menahan pilu melihat keadaan itu. Dia menangis sekuat hatinya. Tetapi Shafiyah tampak tenang dan tidak menunjukkan tanda sedih dan tertekan.
Beliau amat menyayangi dan mencintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pintar memasak makanan yang lezat untuk suaminya. Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam jatuh sakit, di akhir masa hidupnya, Shafiyah tidak dapat menahan kesedihan melihat derita yang dialami oleh suami yang mulia lalu menangis dan berkata: “Wahai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam kalaulah aku dapat menanggung semua penderitaanmu itu sendiri supaya engkau merasa ringan dengan sakitmu.”
Isteri-isteri baginda yang lain terkejut mendengar kata-kata Shafiyah itu. Tetapi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya Shafiyah adalah benar.”
(Baca juga : 334 Peserta Lulus CPNS di Lingkungan Kemenperin, Kuy di Cek )
Keikhlasannya terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak diragukan lagi. Beliau radhiallahu ‘anha sangat menghormati Rasul utusan Allah. Pernah suatu saat dirinya mendengar percakapan ayah dan pamannya tentang Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sekembali dari Madinah. Untuk memastikan kebenaran Rasul utusan Allah seperti yang diberitakan dalam kitab suci mereka. Salah seorang mereka berkata: “Apakah pandangan engkau tentangnya?” “Beliau adalah Nabi yang diperkatakan dalam kitab kita”, jawab seorang lagi.
Sejak peristiwa itu, Shafiyah yakin tentang kebenaran Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullah. Bahkan saat Shafiyah masih berada di samping suaminya, Kinanah, beliau bermimpi melihat bulan dari Yatsrib jatuh ke pangkuannya. Ketika diceritakan mimpinya itu berkata Kinanah: “Engkau ingin menikah dengan raja yang datang dari Madinah itu?” Kemudian Kinanah menampar muka Shafiyah dan tamparan itu meninggalkan bekas kebiru-biruan pada matanya.
(Baca juga : 2021, Ridwan Kamil Wajibkan Kendaraan Dinas Diganti Mobil-Motor Listrik )
Shafiyah amat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mencintai konsep kemanusiaan Islam dengan sempurna. Shafiyah senantiasa mematuhi semua ajaran agama dan menghormati hukum-hukum Islam dengan ikhlas. Beliau menjadi seorang Yahudi yang beriman kepada Allah Ta'ala dan berbangga karena memeluk agama Islam yang suci dan benar.
Seperti Ummul Mukminin yang lain, Shafiyah juga adalah gudang ilmu. Mereka yang mencari ilmu biasa berkumpul di rumah beliau untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sepulang menunaikan haji, rumah Shafiyah ramai dikunjungi wanita dari jauh seperti Kufah untuk bertanya pelbagai soalan kepada beliau. Shafiyah menjawab dengan tepat dan berkesan setiap persoalan yang diutarakan.
Terdapat sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh Shafiyah. Imam-imam yang terkenal mengambil hadis dari beliau. Diantaranya Muslim bin Safuan, Yazid bin Makhtab, Ishaq bin Abdullah dan masih banyak lagi. Abdul Birr pernah berkata: “Shafiyah adalah seorang wanita yang bijaksana, berpengetahuan dan lemah lembut.”
(Baca juga : Ini Cara Kemendikbud Tumbuhkan Kecintaan Anak Muda tentang Sejarah Kemerdekaan )
Shafiyah telah menghembuskan nafas terakhir pada tahun 50 Hijrah ketika usianya mencapai 60 tahun. Beliau dimakamkan di Baqi’. Shafiyah radhiyallahu'anha memiliki banyak sifat terpuji. Beliau pintar, terpelajar dan lemah lembut. Sifat penyabar dan lemah lembut menjadikan diri beliau pribadi Muslimah yang unggul.
Wallahu A'lam
Shafiyah dibesarkan dalam keluarga kaya nan berpengaruh. Pendidikan yang sempurna pun dia diperoleh. Seorang yang cantik rupawan dengan akhlak yang menawan itulah dirinya. Suami pertamanya adalah Sallam Ibn. Misham yang juga salah seorang penghulu kaum Yahudi. Namun perjodohan mereka tidak berlangsung lama. Shafiyah kembali tinggal bersama keluarganya. Pernikahan kedua dengan Kinanah Ibn Rabi’ sebelum akhirnya menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Baca juga : Perbuatan Baik yang Bisa Diamalkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat )
Rasulullah dan para sahabat melakukan perluasan dakwah di kawasan sekitar Madinah. Salah satunya wilayah Khaibar yang kebanyakan dihuni kaum yahudi. Pemimpinnya adalah Huyai yang menolak dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terjadilah pertempuran dahsyat yang tak terelakkan antara kaum muslimin dengan kaum yahudi Khaibar. Dan Allah berkenan memberikan kemenangan pada Rasul-Nya.
Terbunuhlah seluruh keluarga Shafiyah termasuk suami, ayah juga saudara lelakinya. Dia sendiri menjadi salah satu tawanan pasukan muslimin. Keadaan yang sangat menghinakan. Dibawalah para tawanan ini pada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Shafiyah kelihatan diam dan ketakutan. Namun, mereka dilayani dengan baik oleh pasukan Muslimin.
Di depan para tawanan, baginda Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil jubahnya dan meletakkan di bahu Shafiyah. Sebagai tanda kasihan kepadanya. Jauh di lubuk hati Shafiyah, ada perasaan telah dimuliakan dan diberi penghormatan yang tinggi dalam masyarakat muslim.
(Baca juga : Ummu Habibah,Perempuan Mukminah yang Setia kepada Diennya )
Selepas peperangan, salah seorang pasukan muslim bernama Dihya Al Kalbi meminta kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam seorang tawanan perempuan. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membolehkan memilih salah seorang. Dihya memilih Shafiyah. Salah seorang sahabat memberitahukan bahwa Shafiyah adalah putri ketua Bani Nadhir dan Bani Quraizah yang sepatutnya menjadi hak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Shafiyah tidak sepatutnya diperlakukan seperti wanita biasa. Akhirnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengganti perempuan lain untuk Dihya.
Rasulullah merasa kasihan terhadap Shafiyah yang hidup sebatang kara tanpa saudara dan terpaksa menanggung akibat permusuhan yang tidak diinginkannya. Shafiyah mau menerima Islam, lalu beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melamarnya. Shafiyah menerima dengan suka cita. Keadaannya tidak lagi terhina sebagai tawanan perang, bahkan menjadi ummul mukminin.
(Baca juga : Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya )
Shafiyah tekenal dengan kecantikannya meskipun tubuhnya tidak tinggi. Perempuan Anshar berkumpul untuk melihatnya termasuk isteri-isteri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Aisyah pulang dari melihat Shafiyah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Bagaimanakah pendapatmu tentang Shafiyah?” Tanya Rasulullah “Dia wanita Yahudi”, Jawab Aisyah. “Janganlah berkata begitu, Shafiyah telah memeluk Islam dan Islamnya adalah lebih baik”, jelas Rasulullah.
Shafiyah tidak diterima dengan baik oleh isteri-isteri Rasulullah lainnya. Mereka mengejek Shafiyah yang berketurunan Yahudi. Hingga suatu hari Rasulullah mendapati Shafiyah menangis sedih. Berkatalah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghiburnya: “Katakanlah kepada mereka bahwa bapakmu ialah Harun sedangkan Musa adalah pamanmu dan suamimu Nabi Allah.”
Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghibur dengan mengatakan bahwa pernikahan mereka karena perintah Allah Subhanahu wata’ala. Kata-kata itu menjadi obat kesedihan hatinya bahkan menambah kekuatan dalam menghadapi ujian.
(Baca juga : SBY Minta Macron Hentikan Kartun Nabi Muhammad SAW )
Shafiyah dekat dengan puteri kesayangan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Fatimah. Dia berikan anting emas kepada Fatimah juga pada isteri-isteri yang lain setelah pernikahannya. Shafiyah seorang yang tenang, lemah lembut, penyabar, sopan juga tabah. Selepas kemenangan Muslimin dalam peperangan Khaibar, Bilal telah membawa Shafiyah dan sepupunya melalui kawasan di mana mayat-mayat orang-orang Yahudi bergelimpangan termasuklah mayat kaum kerabat dan suami yang dicintai. Sepupunya itu tidak dapat menahan pilu melihat keadaan itu. Dia menangis sekuat hatinya. Tetapi Shafiyah tampak tenang dan tidak menunjukkan tanda sedih dan tertekan.
Beliau amat menyayangi dan mencintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pintar memasak makanan yang lezat untuk suaminya. Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam jatuh sakit, di akhir masa hidupnya, Shafiyah tidak dapat menahan kesedihan melihat derita yang dialami oleh suami yang mulia lalu menangis dan berkata: “Wahai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam kalaulah aku dapat menanggung semua penderitaanmu itu sendiri supaya engkau merasa ringan dengan sakitmu.”
Isteri-isteri baginda yang lain terkejut mendengar kata-kata Shafiyah itu. Tetapi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya Shafiyah adalah benar.”
(Baca juga : 334 Peserta Lulus CPNS di Lingkungan Kemenperin, Kuy di Cek )
Keikhlasannya terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak diragukan lagi. Beliau radhiallahu ‘anha sangat menghormati Rasul utusan Allah. Pernah suatu saat dirinya mendengar percakapan ayah dan pamannya tentang Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sekembali dari Madinah. Untuk memastikan kebenaran Rasul utusan Allah seperti yang diberitakan dalam kitab suci mereka. Salah seorang mereka berkata: “Apakah pandangan engkau tentangnya?” “Beliau adalah Nabi yang diperkatakan dalam kitab kita”, jawab seorang lagi.
Sejak peristiwa itu, Shafiyah yakin tentang kebenaran Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullah. Bahkan saat Shafiyah masih berada di samping suaminya, Kinanah, beliau bermimpi melihat bulan dari Yatsrib jatuh ke pangkuannya. Ketika diceritakan mimpinya itu berkata Kinanah: “Engkau ingin menikah dengan raja yang datang dari Madinah itu?” Kemudian Kinanah menampar muka Shafiyah dan tamparan itu meninggalkan bekas kebiru-biruan pada matanya.
(Baca juga : 2021, Ridwan Kamil Wajibkan Kendaraan Dinas Diganti Mobil-Motor Listrik )
Shafiyah amat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mencintai konsep kemanusiaan Islam dengan sempurna. Shafiyah senantiasa mematuhi semua ajaran agama dan menghormati hukum-hukum Islam dengan ikhlas. Beliau menjadi seorang Yahudi yang beriman kepada Allah Ta'ala dan berbangga karena memeluk agama Islam yang suci dan benar.
Seperti Ummul Mukminin yang lain, Shafiyah juga adalah gudang ilmu. Mereka yang mencari ilmu biasa berkumpul di rumah beliau untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sepulang menunaikan haji, rumah Shafiyah ramai dikunjungi wanita dari jauh seperti Kufah untuk bertanya pelbagai soalan kepada beliau. Shafiyah menjawab dengan tepat dan berkesan setiap persoalan yang diutarakan.
Terdapat sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh Shafiyah. Imam-imam yang terkenal mengambil hadis dari beliau. Diantaranya Muslim bin Safuan, Yazid bin Makhtab, Ishaq bin Abdullah dan masih banyak lagi. Abdul Birr pernah berkata: “Shafiyah adalah seorang wanita yang bijaksana, berpengetahuan dan lemah lembut.”
(Baca juga : Ini Cara Kemendikbud Tumbuhkan Kecintaan Anak Muda tentang Sejarah Kemerdekaan )
Shafiyah telah menghembuskan nafas terakhir pada tahun 50 Hijrah ketika usianya mencapai 60 tahun. Beliau dimakamkan di Baqi’. Shafiyah radhiyallahu'anha memiliki banyak sifat terpuji. Beliau pintar, terpelajar dan lemah lembut. Sifat penyabar dan lemah lembut menjadikan diri beliau pribadi Muslimah yang unggul.
Wallahu A'lam
(wid)