Selain Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, Imam Al-Ghazali Juga Kena Rampok
loading...
A
A
A
CERITA tokoh sufi yang kena rampok dan ceritanya menjadi bersejarah tak hanya dialami Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani seorang. Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazali juga pernah dirampok. (
)
Bedanya, jika kisah Al-Jilani dirampok justru membuat pimpinan rampok betekuk lutut karena kejujurannya, Al-Ghazali lain lagi.
Bukan duit yang direbut oleh perampok dari ulama besar yang hidup sezaman dengan Al-Jilani itu, melainkan kertas catatan selama ia belajar. Kisah ini tertuang dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra karya Imam Tajuddin As-Subki.
Dikisahkan, suatu hari dalam sebuah perjalanan al-Ghazali dihadang segerombolan perampok. Mereka berhasil mengambil seluruh hartanya lalu mencoba meninggalkan al-Ghazali begitu saja. Namun, dengan sekuat tenaga al-Ghazali mengikuti jejak langkah mereka. Tak lama kemudian, seorang pemimpin dari gerombolan perampok itu menghardiknya, “Pergilah, kalau tidak engkau akan binasa!” ( )
“Aku memohon kepadamu, demi Dzat yang kalian mengharapkan keselamatan dari-Nya, tolong kembalikan kepadaku catatan-catatan bukuku. Sungguh catatan-catatan milikku tak akan bermanfaat untuk kalian,” pinta al-Ghazali dengan penuh harap.
“Apa yang kau maksud dengan catatan milikmu?” hardik sang pemimpin perampok.
“Lihatlah kitab-kitab dalam keranjang itu. Sungguh aku telah berjuang untuk mengumpulkan catatan-catatan itu dari hasil aku mendengar uraian guru-guruku. Aku habiskan banyak waktuku untuk menulisnya serta mempelajari maksudnya” jawab al-Ghazali dengan yakin. ( )
Sang pemimpin perampok itu hanya menjawab harapan al-Ghazali dengan tertawa terbahak-bahak. “Oh sungguh malang sekali, bagaimana mungkin engkau mengaku mengetahui ilmu yang telah engkau pelajari? Sedangkan kini kami telah mengambil seluruh catatan ilmumu. Tanpa tumpukan catatan-catatan itu, engkau kini tak memiliki ilmu sedikit pun,” seru sang pemimpin perampok itu.
Akhirnya, pemimpin perampok itu menyuruh pengikutnya untuk mengembalikan keranjang yang penuh dengan catatan-catatan tersebut. Imam al-Ghazali pun sangat senang dengan hal itu. Hingga ia bergumam dalam hati, “Inilah teguran dan peringatan dari Allah kepadaku.”
Sesampainya di kota Thus, al-Ghazali pun menghabiskan waktu tiga tahun untuk menghafalkan seluruh catatan yang telah ia kumpulkan sehingga jika saatnya nanti ia dirampok di tengah jalan seperti yang pernah ia alami, niscaya ilmunya akan tetap terpelihara. ( )
Bedanya, jika kisah Al-Jilani dirampok justru membuat pimpinan rampok betekuk lutut karena kejujurannya, Al-Ghazali lain lagi.
Bukan duit yang direbut oleh perampok dari ulama besar yang hidup sezaman dengan Al-Jilani itu, melainkan kertas catatan selama ia belajar. Kisah ini tertuang dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra karya Imam Tajuddin As-Subki.
Dikisahkan, suatu hari dalam sebuah perjalanan al-Ghazali dihadang segerombolan perampok. Mereka berhasil mengambil seluruh hartanya lalu mencoba meninggalkan al-Ghazali begitu saja. Namun, dengan sekuat tenaga al-Ghazali mengikuti jejak langkah mereka. Tak lama kemudian, seorang pemimpin dari gerombolan perampok itu menghardiknya, “Pergilah, kalau tidak engkau akan binasa!” ( )
“Aku memohon kepadamu, demi Dzat yang kalian mengharapkan keselamatan dari-Nya, tolong kembalikan kepadaku catatan-catatan bukuku. Sungguh catatan-catatan milikku tak akan bermanfaat untuk kalian,” pinta al-Ghazali dengan penuh harap.
“Apa yang kau maksud dengan catatan milikmu?” hardik sang pemimpin perampok.
“Lihatlah kitab-kitab dalam keranjang itu. Sungguh aku telah berjuang untuk mengumpulkan catatan-catatan itu dari hasil aku mendengar uraian guru-guruku. Aku habiskan banyak waktuku untuk menulisnya serta mempelajari maksudnya” jawab al-Ghazali dengan yakin. ( )
Sang pemimpin perampok itu hanya menjawab harapan al-Ghazali dengan tertawa terbahak-bahak. “Oh sungguh malang sekali, bagaimana mungkin engkau mengaku mengetahui ilmu yang telah engkau pelajari? Sedangkan kini kami telah mengambil seluruh catatan ilmumu. Tanpa tumpukan catatan-catatan itu, engkau kini tak memiliki ilmu sedikit pun,” seru sang pemimpin perampok itu.
Akhirnya, pemimpin perampok itu menyuruh pengikutnya untuk mengembalikan keranjang yang penuh dengan catatan-catatan tersebut. Imam al-Ghazali pun sangat senang dengan hal itu. Hingga ia bergumam dalam hati, “Inilah teguran dan peringatan dari Allah kepadaku.”
Sesampainya di kota Thus, al-Ghazali pun menghabiskan waktu tiga tahun untuk menghafalkan seluruh catatan yang telah ia kumpulkan sehingga jika saatnya nanti ia dirampok di tengah jalan seperti yang pernah ia alami, niscaya ilmunya akan tetap terpelihara. ( )
(mhy)