Tanda-tanda Mencapai Maqam Badal Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
loading...
A
A
A
SETIDAKNYA ada dua ulama ahli hadis telah mengarang sebuah kitab khusus yang menjelaskan dalil-dalil keberadaan para wali Badal. Mereka adalah al-Hafidz as-Suyuthi dalam al-Khabar ad-Daal fi wujudi al-Quthbi wa al-Autaad wa an-Nujabaa’ wa al-Abdaal, dan al-Hafidz as-Sakhawi (Murid al-Hafidz Ibnu Hajar) dalam Nadzmu al-La’al fi al-Kalaami ala al-Abdaal. Secara khusus beliau menetapkan satu Bab tentang al-Abdaal (wali Badal) dalam kitab hadisnya al-Maqaashid al-Hasanah dengan menyebut beberapa hadis yang hasan dan dhaif. (
)
Diantaranya riwayat Abu Nuaim dalam al-Hilyah, bahwa sahabat bertanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنَا عَلَى أَعْمَالِهِمْ قَالَ يَعْفُوْنَ عَمَّنْ ظَلَمَهُمْ وَيُحْسِنُوْنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِمْ وَيَتَوَاصَلُوْنَ فِيْمَا أَتَاهُمُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Rasulullah , tunjukkan kepada kami tentang perilaku mereka (wali Badal)! Rasulullah menjawab: Mereka pemaaf terhadap orang yang mendzaliminya, mereka berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadanya, dan mereka saling menyambung dalam pemberian dari Allah kepada mereka”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab berjudul Futuh Al-Ghaib banyak menyebut tingkatan seseorang yang telah memasuki maqam badal itu. Beliau juga memberikan resep untuk mencapai maqam seperti itu. ( )
Menjadi Milik Allah
Syaikh menulis, sungguh tiada sesuatu, kecuali Allah, sedang dirimu adalah tandanya. Kedirian manusia bertentangan dengan Allah. Segala suatu patuh kepada Allah dan milik Allah, demikian pula dengan kedirian manusia, sebagai makhluk sekaligus milikNya.
Kedirian manusia itu pongah, darinya tumbuh dambaan-dambaan palsu. Nah, jika kau menyatu dengan kebenaran, dengan menundukkan dirimu sendiri, maka kau menjadi milik Allah dan menjadi musuh dirimu sendiri. Allah telah bersabda kepada Nabi Daud as: “Wahai Daud, Akulah tujuan hidupmu, yang tak mungkin kau elakkan. Karenanya berpegangteguhlah kepada tujuan yang satu ini; beribadahlah sebenar-benarnya, sampai kau menjadi lawan keakuanmu, semata-mata karena Aku.”
Maka keakrabanmu dengan Allah dan pengabdianmu kepadaNya menjadi kenyataan. Lalu kau peroleh bagianmu nan suci sungguh menyenangkan. Dengan demikian kau dicintai dan terhormat, dan segala sesuatu mengabdi dan takut kepadamu, karena semua tunduk kepada Tuhan mereka, dan selaras denganNya, karena Dia adalah Pencipta mereka, dan mereka mengabdi kepadaNya.
Firman Allah: “Dan tak ada sesuatu pun melainkan bartasbih memujiNya, tetapi kamu tak mengerti tasbih mereka.” (QS 17:44).
Maka segala sesuatu di alam raya ini menyadari keridhaanNya, dan menaati perintah-perintahNya. Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung berfirman: “Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Hendaklah kamu berdua datang dengan suka ataupun terpaksa’, Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati.'” (QS 41:11).
Jadi, segala pengabdian kepadaNya terletak pada penentangan terhadap kedirian. Allah berfirman: “Dan janganlah engkau turuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS 38:26).
Ia juga berfirman: “Hindarilah hawa nafsumu, karena sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang menentangKu di seluruh kerajaanKu, kecuali nafsu jasmani manusia.”
Suatu ketika Abu Yazid Bustami bermimpi bertemu Allah, dan bertanya kepadaNya: “Bagaimana cara menjumpaiMu?”
JawabNya: “Buanglah keakuanmu dan berpalinglah kepadaKu”.
“Lalu”, lanjut sang Sufi, “aku keluar dari diriku bagai seekor ular keluar dari selongsong tubuhnya.”
Jadi, segala kebajikan terletak pada memerangi kedirian dalam segala hal dan segala keadaan. Karena itu, jika berada pada kesalehan, tundukkanlah kedirian, hingga kau terbebas dari hal-hal terlarang dan syubhat dari pertolongan mereka, dari ketergantungan kepada mereka, dari rasa takut terhadap mereka atau dari rasa iri terhadap milikan duniawi mereka. ( )
Lalu jangan mengharapkan sesuatu dari mereka, baik hadiah, kemurahan, atau pun sedekah . Karenanya bila kau bergaul dengan seorang kaya, jangan mengharapkan kematiannya demi mewarisi hartanya,. Maka, bebaskanlah dirimu dari ikatan makhluk, dan anggaplah mereka itu pintu gerbang yang membuka dan menutup., atau pohon yang kadang berbuah dan kadang tidak. Ketahuilah, peristiwa semacam itu terjadi oleh satu pelaksana, dirancang oleh satu perancang, dan Dialah Allah, sehingga kau beriman pada Keesaan Allah.
Jabariyah dan Qadariyah
Selanjutnya Syaikh Abdul Qadir menyatakan jangan pula melupakan upaya manusiawi, agar tak menjadi korban keyakinan kaum fatalis (Jabariyah) , dan yakinlah bahwa tak suatu pun terwujud, kecuali atas izin Allah Ta’ala. Karena itu, jangan Anda puja upaya manusiawi, karena yang demikian ini melupakan Tuhan, dan jangan berkata bahwa tindakan-tindakan manusia berasal dari sesuatu. Bila demikian, berarti kau tak beriman, dan termasuk dalam golongan Qadariyah.
"Hendaknya kau katakan, bahwa segala aksi makhluk adalah milik Allah, inilah pandangan yang telah diturunkan kepada kita lewat keterangan-keterangan yang berhubungan dengan masalah pahala dan hukuman," katanya.
Dan laksanakan perintah-perintah Allah yang berkenaan dengan mereka (manusia), dan pisahkanlah bagianmu sendiri dari mereka dengan perintahNya pula, dan jangan melampaui batas ini, karena hukum Allah itu pasti menentukanmu dan mereka; jangan menjadi penentu diri sendiri. Kemaujudanmu bersama mereka merupakan takdirNya. TakdirNya merupakan ‘kegelapan’, maka masukilah ‘kegelapan’ ini dengan pelita sekaligus penentu; yaitu Kitab Allah ( Al Qur’an ) dan Sunnah Rasul .
"Jangan tinggalkan kedua-duanya. Tapi bila di dalam pikiranmu melintas suatu gagasan, atau kau menerima ilham, maka tundukkanlah mereka kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul," lanjutnya. ( )
Bila kau dapati larangan dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul tentang yang terlintas pada benakmu dan yang kau terima melalui ilham, maka kau mesti menjauhi gagasan dan ilham semacam itu. Yakinilah bahwa gagasan dan ilham itu berasal dari setan yang terlaknat.
Dan jika Kitab Allah dan Sunnah Rasul membolehkan gagasan dan ilham itu – semisal pemenuhan keinginan-keinginan yang dibolehkan hukum, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, dan lain-lain – maka jauhilah pula gagasan dan ilham itu, jangan menerimanya.
Ketahuilah, hal itu merupakan dorongan hewanimu, karenanya, tentanglah dan musuhilah hal itu. Bila kau dapati tiadanya larangan atau pembolehan di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tentang yang kau terima, dan kau tak mengerti -semisal kau diminta pergi ke tempat tertentu, atau menemuhi seseorang yang saleh, padahal melalui karunia ilmu dan pencerahan dari Allah kepadamu, kau tak perlu pergi ke tempat itu, atau menemui si orang saleh itu maka bersabarlah, jangan dulu melakukan sesuatu, dan bertanyalah kepada dirimu sendiri: “Benarkah ini ilham dari Allah dan mesti aku laksanakan ?”
Adalah Sunnah Allah, mengulang-ulang ilham semacam itu, dan memerintahkanmu untuk segera berupaya atau menyibakkan isyarat semacam itu bagi para ahli hikmah – suatu isyarat yang hanya bisa dimengerti oleh para wali yang arif dan para badal yang teguh. Karena itu, kau mesti tak segera berbuat, sebab kau tak tahu akibat dan tujuan akhir urusan, cobaan, bahaya dan sesuatu rancangan gaib dariNya. ( )
Maka bersabarlah, sampai Allah Sendiri melakukannya bagimu. Bila tindakan itu atas kehendakNya, dan kau diantarkan ke maqam itu, maka bila cobaan menghadangmu, kau akan melewatinya dengan selamat, karena Allah takkan menghukummu atas tindakan yang dikehendakiNya sendiri, namun Ia akan menghukummu atas keterlibatan langsungmu dalam kemaujudan suatu hal.
Dua Hal
Syaikh Abdul Qadir menjelaskan menaati perintah itu meliputi dua hal. Pertama, mengambil dari sarana penghidupan duniawi sebatas keperluanmu, dan mesti menghindari segala pemanjaan kesenangan jasmani, rampungkanlah semua tugas-tugasmu, dan ikatlah dirimu kepada penghalauan segala dosa, yang nyata dan yang tersembunyi.
Kedua, berhubungan dengan perintah-perintah tersembunyi, yakni Allah tak menyuruh hambaNya untuk mengerjakan sesuatu, dan tak pula melarangnya. Perintah seperti ini berkaitan dengan hal-hal yang padanya tak ada hukum yang jelas; yakni hal-hal yang tak tergolong terlarang dan tak terwajibkan, dengan kata lain ‘tak jelas’, yang di dalamnya manusia diberi kebebasan penuh untuk bertindak, dan hal ini disebut mubah. Dalam hal ini tak boleh mengambil prakarsa, tetapi menunggu perintah yang bertalian dengannya. ( )
Bila menerima perintah itu, ia taati. Dengan demikian semua gerak dan diamnya menjadi demi Allah. Jika ada kejelasan hukumnya, ia bertindak selaras dengannya. Bila tak ada kejelasan hukumnya, ia bertindak atas dasar perintah perintah tersembunyi.
Melalui ini, ia menjadi seteguh orang memperoleh hakikat. Bila kau telah sampai pada kebenarannya kebenaran,
yang disebut pencelupan (mahwu) atau peleburan (fana), berarti kau berada pada maqam badal yang patah hati demi Dia, suatu keadaan yang dimiliki muwahhid, orang yang tercerahkan rohaninya, orang arif, yang adalah amir para amir, pengawas dan pelindung umat, khalifah dari Yang Maha Pengasih, kepercayaanNya (alaihimussalam).
Untuk menaati perintah, kau harus melawan kedirianmu, dan bebas dari ketergantungan kepada segala kemampuan dan kekuatan, dan mutlak harus terhindar dari segala kemauan dan tujuan duniawi dan ukhrawi.
"Dengan demikian, kau menjadi abdi Sang Raja, bukan abdi kerajaanNya, bukan abdi perintahNya, bukan pula abdi kedirian. Kau seperti bayi dalam asuhan alam, atau mayat yang dimandikan, atau pasien tak sadarkan diri di hadapan sang dokter, dalam segala hal yang berada di luar wilayah perintah dan larangan," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. ( )
Diantaranya riwayat Abu Nuaim dalam al-Hilyah, bahwa sahabat bertanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنَا عَلَى أَعْمَالِهِمْ قَالَ يَعْفُوْنَ عَمَّنْ ظَلَمَهُمْ وَيُحْسِنُوْنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِمْ وَيَتَوَاصَلُوْنَ فِيْمَا أَتَاهُمُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Rasulullah , tunjukkan kepada kami tentang perilaku mereka (wali Badal)! Rasulullah menjawab: Mereka pemaaf terhadap orang yang mendzaliminya, mereka berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadanya, dan mereka saling menyambung dalam pemberian dari Allah kepada mereka”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab berjudul Futuh Al-Ghaib banyak menyebut tingkatan seseorang yang telah memasuki maqam badal itu. Beliau juga memberikan resep untuk mencapai maqam seperti itu. ( )
Menjadi Milik Allah
Syaikh menulis, sungguh tiada sesuatu, kecuali Allah, sedang dirimu adalah tandanya. Kedirian manusia bertentangan dengan Allah. Segala suatu patuh kepada Allah dan milik Allah, demikian pula dengan kedirian manusia, sebagai makhluk sekaligus milikNya.
Kedirian manusia itu pongah, darinya tumbuh dambaan-dambaan palsu. Nah, jika kau menyatu dengan kebenaran, dengan menundukkan dirimu sendiri, maka kau menjadi milik Allah dan menjadi musuh dirimu sendiri. Allah telah bersabda kepada Nabi Daud as: “Wahai Daud, Akulah tujuan hidupmu, yang tak mungkin kau elakkan. Karenanya berpegangteguhlah kepada tujuan yang satu ini; beribadahlah sebenar-benarnya, sampai kau menjadi lawan keakuanmu, semata-mata karena Aku.”
Maka keakrabanmu dengan Allah dan pengabdianmu kepadaNya menjadi kenyataan. Lalu kau peroleh bagianmu nan suci sungguh menyenangkan. Dengan demikian kau dicintai dan terhormat, dan segala sesuatu mengabdi dan takut kepadamu, karena semua tunduk kepada Tuhan mereka, dan selaras denganNya, karena Dia adalah Pencipta mereka, dan mereka mengabdi kepadaNya.
Firman Allah: “Dan tak ada sesuatu pun melainkan bartasbih memujiNya, tetapi kamu tak mengerti tasbih mereka.” (QS 17:44).
Maka segala sesuatu di alam raya ini menyadari keridhaanNya, dan menaati perintah-perintahNya. Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung berfirman: “Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Hendaklah kamu berdua datang dengan suka ataupun terpaksa’, Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati.'” (QS 41:11).
Jadi, segala pengabdian kepadaNya terletak pada penentangan terhadap kedirian. Allah berfirman: “Dan janganlah engkau turuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS 38:26).
Ia juga berfirman: “Hindarilah hawa nafsumu, karena sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang menentangKu di seluruh kerajaanKu, kecuali nafsu jasmani manusia.”
Suatu ketika Abu Yazid Bustami bermimpi bertemu Allah, dan bertanya kepadaNya: “Bagaimana cara menjumpaiMu?”
JawabNya: “Buanglah keakuanmu dan berpalinglah kepadaKu”.
“Lalu”, lanjut sang Sufi, “aku keluar dari diriku bagai seekor ular keluar dari selongsong tubuhnya.”
Jadi, segala kebajikan terletak pada memerangi kedirian dalam segala hal dan segala keadaan. Karena itu, jika berada pada kesalehan, tundukkanlah kedirian, hingga kau terbebas dari hal-hal terlarang dan syubhat dari pertolongan mereka, dari ketergantungan kepada mereka, dari rasa takut terhadap mereka atau dari rasa iri terhadap milikan duniawi mereka. ( )
Lalu jangan mengharapkan sesuatu dari mereka, baik hadiah, kemurahan, atau pun sedekah . Karenanya bila kau bergaul dengan seorang kaya, jangan mengharapkan kematiannya demi mewarisi hartanya,. Maka, bebaskanlah dirimu dari ikatan makhluk, dan anggaplah mereka itu pintu gerbang yang membuka dan menutup., atau pohon yang kadang berbuah dan kadang tidak. Ketahuilah, peristiwa semacam itu terjadi oleh satu pelaksana, dirancang oleh satu perancang, dan Dialah Allah, sehingga kau beriman pada Keesaan Allah.
Jabariyah dan Qadariyah
Selanjutnya Syaikh Abdul Qadir menyatakan jangan pula melupakan upaya manusiawi, agar tak menjadi korban keyakinan kaum fatalis (Jabariyah) , dan yakinlah bahwa tak suatu pun terwujud, kecuali atas izin Allah Ta’ala. Karena itu, jangan Anda puja upaya manusiawi, karena yang demikian ini melupakan Tuhan, dan jangan berkata bahwa tindakan-tindakan manusia berasal dari sesuatu. Bila demikian, berarti kau tak beriman, dan termasuk dalam golongan Qadariyah.
"Hendaknya kau katakan, bahwa segala aksi makhluk adalah milik Allah, inilah pandangan yang telah diturunkan kepada kita lewat keterangan-keterangan yang berhubungan dengan masalah pahala dan hukuman," katanya.
Dan laksanakan perintah-perintah Allah yang berkenaan dengan mereka (manusia), dan pisahkanlah bagianmu sendiri dari mereka dengan perintahNya pula, dan jangan melampaui batas ini, karena hukum Allah itu pasti menentukanmu dan mereka; jangan menjadi penentu diri sendiri. Kemaujudanmu bersama mereka merupakan takdirNya. TakdirNya merupakan ‘kegelapan’, maka masukilah ‘kegelapan’ ini dengan pelita sekaligus penentu; yaitu Kitab Allah ( Al Qur’an ) dan Sunnah Rasul .
"Jangan tinggalkan kedua-duanya. Tapi bila di dalam pikiranmu melintas suatu gagasan, atau kau menerima ilham, maka tundukkanlah mereka kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul," lanjutnya. ( )
Bila kau dapati larangan dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul tentang yang terlintas pada benakmu dan yang kau terima melalui ilham, maka kau mesti menjauhi gagasan dan ilham semacam itu. Yakinilah bahwa gagasan dan ilham itu berasal dari setan yang terlaknat.
Dan jika Kitab Allah dan Sunnah Rasul membolehkan gagasan dan ilham itu – semisal pemenuhan keinginan-keinginan yang dibolehkan hukum, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, dan lain-lain – maka jauhilah pula gagasan dan ilham itu, jangan menerimanya.
Ketahuilah, hal itu merupakan dorongan hewanimu, karenanya, tentanglah dan musuhilah hal itu. Bila kau dapati tiadanya larangan atau pembolehan di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tentang yang kau terima, dan kau tak mengerti -semisal kau diminta pergi ke tempat tertentu, atau menemuhi seseorang yang saleh, padahal melalui karunia ilmu dan pencerahan dari Allah kepadamu, kau tak perlu pergi ke tempat itu, atau menemui si orang saleh itu maka bersabarlah, jangan dulu melakukan sesuatu, dan bertanyalah kepada dirimu sendiri: “Benarkah ini ilham dari Allah dan mesti aku laksanakan ?”
Adalah Sunnah Allah, mengulang-ulang ilham semacam itu, dan memerintahkanmu untuk segera berupaya atau menyibakkan isyarat semacam itu bagi para ahli hikmah – suatu isyarat yang hanya bisa dimengerti oleh para wali yang arif dan para badal yang teguh. Karena itu, kau mesti tak segera berbuat, sebab kau tak tahu akibat dan tujuan akhir urusan, cobaan, bahaya dan sesuatu rancangan gaib dariNya. ( )
Maka bersabarlah, sampai Allah Sendiri melakukannya bagimu. Bila tindakan itu atas kehendakNya, dan kau diantarkan ke maqam itu, maka bila cobaan menghadangmu, kau akan melewatinya dengan selamat, karena Allah takkan menghukummu atas tindakan yang dikehendakiNya sendiri, namun Ia akan menghukummu atas keterlibatan langsungmu dalam kemaujudan suatu hal.
Dua Hal
Syaikh Abdul Qadir menjelaskan menaati perintah itu meliputi dua hal. Pertama, mengambil dari sarana penghidupan duniawi sebatas keperluanmu, dan mesti menghindari segala pemanjaan kesenangan jasmani, rampungkanlah semua tugas-tugasmu, dan ikatlah dirimu kepada penghalauan segala dosa, yang nyata dan yang tersembunyi.
Kedua, berhubungan dengan perintah-perintah tersembunyi, yakni Allah tak menyuruh hambaNya untuk mengerjakan sesuatu, dan tak pula melarangnya. Perintah seperti ini berkaitan dengan hal-hal yang padanya tak ada hukum yang jelas; yakni hal-hal yang tak tergolong terlarang dan tak terwajibkan, dengan kata lain ‘tak jelas’, yang di dalamnya manusia diberi kebebasan penuh untuk bertindak, dan hal ini disebut mubah. Dalam hal ini tak boleh mengambil prakarsa, tetapi menunggu perintah yang bertalian dengannya. ( )
Bila menerima perintah itu, ia taati. Dengan demikian semua gerak dan diamnya menjadi demi Allah. Jika ada kejelasan hukumnya, ia bertindak selaras dengannya. Bila tak ada kejelasan hukumnya, ia bertindak atas dasar perintah perintah tersembunyi.
Melalui ini, ia menjadi seteguh orang memperoleh hakikat. Bila kau telah sampai pada kebenarannya kebenaran,
yang disebut pencelupan (mahwu) atau peleburan (fana), berarti kau berada pada maqam badal yang patah hati demi Dia, suatu keadaan yang dimiliki muwahhid, orang yang tercerahkan rohaninya, orang arif, yang adalah amir para amir, pengawas dan pelindung umat, khalifah dari Yang Maha Pengasih, kepercayaanNya (alaihimussalam).
Untuk menaati perintah, kau harus melawan kedirianmu, dan bebas dari ketergantungan kepada segala kemampuan dan kekuatan, dan mutlak harus terhindar dari segala kemauan dan tujuan duniawi dan ukhrawi.
"Dengan demikian, kau menjadi abdi Sang Raja, bukan abdi kerajaanNya, bukan abdi perintahNya, bukan pula abdi kedirian. Kau seperti bayi dalam asuhan alam, atau mayat yang dimandikan, atau pasien tak sadarkan diri di hadapan sang dokter, dalam segala hal yang berada di luar wilayah perintah dan larangan," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. ( )
(mhy)