Kisah Heroik Ali bin Abi Thalib dengan Pedang Zulfikar di Perang Khandaq
loading...
A
A
A
Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi antara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.
Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan cepat 'Amr menyahut: "Aku tidak membutuhkan itu!"
"Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!" tantang Ali sambil siaga menghadapi gerakan 'Amr.
Tantangan Ali itu diremehkan saja oleh 'Amr: "Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman karibku!"
Tanpa memperdulikan ucapan 'Amr, Ali dengan perasaan tak sabar lagi berucap: "Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!"
Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh 'Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh 'Amr mendidih. Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika menyerang Ali.
Demikian gesit dan tangkasnya 'Amr mengayunkan pedang dengan dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Ali tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya.
'Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Ali bin Abi Thalib. Kesempatan yang meleset itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ali. Ia mengelak, menangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat 'Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Ali menyambar bahu kanan 'Amr sampai terbelah dua.
Pendekar kebanggaan Quraisy itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu.
Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya banyak yang menduga bahwa Ali yang "masih hijau" itu akan dibelah dua oleh pedang 'Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Quraisy itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Ali menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan mengumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar ... Allaahu Akbar.... !
Selanjutnya Ali bin Abi Thalib kembali menghampiri Rasulullah. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah Ta'ala, Rasulullah mengeluarkan pernyataan singkat: "Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan 'Amr bin Abdu Wudd itu merupakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat."
Terbunuhnya jagoan Quraisy ini belum menyelesaikan jalannya perang Khandaq, namun cukup menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis.
Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan deras diiringi suara petir sambar menyambar. Kemah-kemah dan perkakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda angin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.
Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku rimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: "Saudara-saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa.
Bani Quraidah sudah tak menepati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita menghadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!"
Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggalkan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Quraisy atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit.
Rasulullah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kediaman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-dalamnya kepada Allah Ta'ala yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya. (
)
Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan cepat 'Amr menyahut: "Aku tidak membutuhkan itu!"
"Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!" tantang Ali sambil siaga menghadapi gerakan 'Amr.
Tantangan Ali itu diremehkan saja oleh 'Amr: "Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman karibku!"
Tanpa memperdulikan ucapan 'Amr, Ali dengan perasaan tak sabar lagi berucap: "Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!"
Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh 'Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh 'Amr mendidih. Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika menyerang Ali.
Demikian gesit dan tangkasnya 'Amr mengayunkan pedang dengan dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Ali tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya.
'Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Ali bin Abi Thalib. Kesempatan yang meleset itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ali. Ia mengelak, menangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat 'Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Ali menyambar bahu kanan 'Amr sampai terbelah dua.
Pendekar kebanggaan Quraisy itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu.
Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya banyak yang menduga bahwa Ali yang "masih hijau" itu akan dibelah dua oleh pedang 'Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Quraisy itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Ali menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan mengumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar ... Allaahu Akbar.... !
Selanjutnya Ali bin Abi Thalib kembali menghampiri Rasulullah. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah Ta'ala, Rasulullah mengeluarkan pernyataan singkat: "Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan 'Amr bin Abdu Wudd itu merupakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat."
Terbunuhnya jagoan Quraisy ini belum menyelesaikan jalannya perang Khandaq, namun cukup menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis.
Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan deras diiringi suara petir sambar menyambar. Kemah-kemah dan perkakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda angin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.
Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku rimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: "Saudara-saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa.
Bani Quraidah sudah tak menepati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita menghadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!"
Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggalkan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Quraisy atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit.
Rasulullah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kediaman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-dalamnya kepada Allah Ta'ala yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya. (
Baca Juga
(mhy)