Najiskah Jilbab Terkena Lumpur atau Tanah?
loading...
A
A
A
Beribadah kepada Allah, terutama salat, harus suci dari najis . Baik suci pakaian maupun suci badan. Maka sebagai keabsahan ibadah salat, syariat mewajibkan untuk bersuci atau dibersihkan dengan tata cara yang diatur oleh fiqih .
Jika badan najis maka disucikannya dengan berwudhu atau membersihkan badan yang terkena najis. Sedangkan jika najisnya ada di pakaian, maka pakaian wajib di cuci atau dibasuh dengan air. Jadi, kesucian pakaian yang digunakan salat merupakan salah satu syarat agar salat yang didirikan sah.
(Baca juga : Inilah Doa-doa Agar Diberi Keturunan yang Saleh )
Namun bagaimana jika ujung kain dari gaun yang digunakan bersentuhan dengan tanah atau lumpur, sahkah salat yang dilakukan? Apalagi, ketika musim penghujan sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, maka hujan pun hampir turun setiap hari, sehingga banyak membuat genangan di mana-mana. Sebagai muslimah dengan hijab yang panjang, kadang kain yang menjulur sampai mata kaki, terkena genangan air dan juga lumpur.
Terkadang bukan hanya tanah atau lumpur saja yang tercampur oleh air hujan, namun selokan dan berbagai jenis saluran air dapat meluap karena tak mampu membendung banyaknya air hujan. Maka tak dapat terhelakkan air hujan yang suci mengandung rahmat bercampur dengan air comberan yang kotor atau bahkan najis. Namun tentu hal yang tidak mungkin untuk memisahkan keduanya.
(Baca juga : Amalkan Lima Doa Ini, Rezeki Datang Bertubi-tubi )
Lantas, apakah lumpur yang menempel di pakaian muslimah ini termasuk najis? Menurut Ibnu Rusy dalam Bidayatul Mujtahid, status ujung kain yang bersentuhan dengan tanah adalah ma’fu (dimaafkan, ditolelir). Begitu juga dengan ujung kain yang bersentuhan dengan tanah yang basah, asalkan tanah yang dilewati sesudah tanah yang basah tersebut kondisinya bersih atau suci, maka statusnya tetap ma’fu.
Pakaian yang terkena lumpur ini dimaafkan karena Islam tidak ingin memberatkan seseorang ketika akan menegakkan ibadah. agama Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi umat Islam itu sendiri. Jadi, Islam selain memberi syarat-syarat yang perlu di penuhi dalam memenuhi kewajiban sebagai umat, Islam juga memberikan kemudahan dalam setiap situasi tertentu. Termasuk dengan najis yang dibawa dari percikan-percikan air hujan yang sulit dihindari oleh kita.
(Baca juga : Bercermin, Berdialog dengan Diri Sendiri )
Dalam Kitab Al-Wajiz karya Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa :
قال الغزالي : يُعْذَرُ مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا
Artinya: “Imam Al-Ghazali berkata: Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air dijalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan.”
(Baca juga : Susi Pudjiastuti Bukan Mahadewi Soal Larangan Ekspor Benih Lobster )
Abu Dawud telah mengetengahkan Hadis yang menyebutkan bahwa seorang wanita dari kalangan bani Abdul Asyhal berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalan yang kami lalui menuju masjid dalam kondisi kotor. Maka bagaimana kami harus berbuat jika terjadi hujan?’ Rasulullah lalu bersabda :
"Bukankah sesudah jalan tersebut ada jalan lain yang tanahnya suci?’ Wanita tersebut menjawab: ‘Benar.’ Nabi bersabda: ‘Yang ini dengan yang itu."
(Baca juga : Mahfud MD Sebut Ada Gerakan Pembonceng Habib Rizieq dan FPI )
Maksudnya, najis yang berasal dari jalan yang satu secara otomatis dibersihkan dengan tanah suci yang berada di jalan yang lain itu. Hal ini senada dengan penjelasan Rasul lainnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahli Hadits yang Empat selain Nasa’i dari Ummu Salamah, bahwa seorang wanita pernah berkata kepadanya :
“Sesungguhnya pancung (ujung) kainku panjang dan jika berjalan aku melewati tempat yang kotor. Bagaimana ini?” Lantas ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “Tanah suci yang ada di jalan sesudah jalan yang kotor itu otomatis menjadi pembersihnya.”
(Baca juga : Waspada Ancaman Ledakan Golput di Pilkada 2020, Ini Bisa Jadi Pemicu )
Namun, ada hal yang harus Anda perhatikan dan pahami. Bahwa ketentuan yang disebutkan hadits di atas hanya berlaku untuk najis yang kering. Ketentuan ini tidak berlaku jika najisnya adalah najis yang seluruhnya basah atau cair.
Jika badan najis maka disucikannya dengan berwudhu atau membersihkan badan yang terkena najis. Sedangkan jika najisnya ada di pakaian, maka pakaian wajib di cuci atau dibasuh dengan air. Jadi, kesucian pakaian yang digunakan salat merupakan salah satu syarat agar salat yang didirikan sah.
(Baca juga : Inilah Doa-doa Agar Diberi Keturunan yang Saleh )
Namun bagaimana jika ujung kain dari gaun yang digunakan bersentuhan dengan tanah atau lumpur, sahkah salat yang dilakukan? Apalagi, ketika musim penghujan sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, maka hujan pun hampir turun setiap hari, sehingga banyak membuat genangan di mana-mana. Sebagai muslimah dengan hijab yang panjang, kadang kain yang menjulur sampai mata kaki, terkena genangan air dan juga lumpur.
Terkadang bukan hanya tanah atau lumpur saja yang tercampur oleh air hujan, namun selokan dan berbagai jenis saluran air dapat meluap karena tak mampu membendung banyaknya air hujan. Maka tak dapat terhelakkan air hujan yang suci mengandung rahmat bercampur dengan air comberan yang kotor atau bahkan najis. Namun tentu hal yang tidak mungkin untuk memisahkan keduanya.
(Baca juga : Amalkan Lima Doa Ini, Rezeki Datang Bertubi-tubi )
Lantas, apakah lumpur yang menempel di pakaian muslimah ini termasuk najis? Menurut Ibnu Rusy dalam Bidayatul Mujtahid, status ujung kain yang bersentuhan dengan tanah adalah ma’fu (dimaafkan, ditolelir). Begitu juga dengan ujung kain yang bersentuhan dengan tanah yang basah, asalkan tanah yang dilewati sesudah tanah yang basah tersebut kondisinya bersih atau suci, maka statusnya tetap ma’fu.
Pakaian yang terkena lumpur ini dimaafkan karena Islam tidak ingin memberatkan seseorang ketika akan menegakkan ibadah. agama Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi umat Islam itu sendiri. Jadi, Islam selain memberi syarat-syarat yang perlu di penuhi dalam memenuhi kewajiban sebagai umat, Islam juga memberikan kemudahan dalam setiap situasi tertentu. Termasuk dengan najis yang dibawa dari percikan-percikan air hujan yang sulit dihindari oleh kita.
(Baca juga : Bercermin, Berdialog dengan Diri Sendiri )
Dalam Kitab Al-Wajiz karya Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa :
قال الغزالي : يُعْذَرُ مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا
Artinya: “Imam Al-Ghazali berkata: Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air dijalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan.”
(Baca juga : Susi Pudjiastuti Bukan Mahadewi Soal Larangan Ekspor Benih Lobster )
Abu Dawud telah mengetengahkan Hadis yang menyebutkan bahwa seorang wanita dari kalangan bani Abdul Asyhal berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalan yang kami lalui menuju masjid dalam kondisi kotor. Maka bagaimana kami harus berbuat jika terjadi hujan?’ Rasulullah lalu bersabda :
"Bukankah sesudah jalan tersebut ada jalan lain yang tanahnya suci?’ Wanita tersebut menjawab: ‘Benar.’ Nabi bersabda: ‘Yang ini dengan yang itu."
(Baca juga : Mahfud MD Sebut Ada Gerakan Pembonceng Habib Rizieq dan FPI )
Maksudnya, najis yang berasal dari jalan yang satu secara otomatis dibersihkan dengan tanah suci yang berada di jalan yang lain itu. Hal ini senada dengan penjelasan Rasul lainnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahli Hadits yang Empat selain Nasa’i dari Ummu Salamah, bahwa seorang wanita pernah berkata kepadanya :
“Sesungguhnya pancung (ujung) kainku panjang dan jika berjalan aku melewati tempat yang kotor. Bagaimana ini?” Lantas ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “Tanah suci yang ada di jalan sesudah jalan yang kotor itu otomatis menjadi pembersihnya.”
(Baca juga : Waspada Ancaman Ledakan Golput di Pilkada 2020, Ini Bisa Jadi Pemicu )
Namun, ada hal yang harus Anda perhatikan dan pahami. Bahwa ketentuan yang disebutkan hadits di atas hanya berlaku untuk najis yang kering. Ketentuan ini tidak berlaku jika najisnya adalah najis yang seluruhnya basah atau cair.