Ucapan Para Khalifah dan Orang-orang Saleh Menjelang Ajalnya (Bagian 1)
loading...
A
A
A
Kematian ( ajal ) adalah sesuatu yang pasti dan tak seorang pun dapat mengelak darinya. Dalam satu Hadis yang diriwayatkan Imam At-Turmudzi, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda tentang kematian: "Perbanyaklah olehmu mengingat-ingat kepada sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan, yaitu kematian."
Kematian adalah terputusnya hubungan antara ruh dengan badan, berpisahnya kaitan antara keduanya, bergantinya kondisi, dan berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Demikian kata Imam Al-Qurtubhi.
(Baca Juga: Manfaat dan Faedah Mengingat Mati)
Bagi seorang mukmin kematian adalah nikmat, karena merupakan pintumasuk menuju kehidupan yang abadi. Sedangkan bagi orang kafir, kematian adalah hukuman yang menyedihkan.
Berikut kita ulas bagaimana ucapan para khalifah dan orang-orang saleh terdahulu ketika menjelang ajalnya yang bersumber dari buku "Dibalik Tabir Kematian" karya Imam Al-Ghazali . Ada banyak hikmah dan iktibar dari kisah para kaum shalihin saat menghadapi ajalnya.
Ketika Muawiyah bin Abu Sufyan berada di ambang ajalnya, ia berkata, "Bantulah aku duduk!" Orang-orang pun segera membantunya. Setelah membaca kalimat tasbih dan berzikir kepada Allah sampai menangis, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Wahai Muawiyah, kamu baru ingat Tuhanmu setelah datangnya masa tua dan usia uzur. Betapa elok seandainya kamu melakukan hal ini ketika masih muda dan segar?"
Ia menangis lagi lebih keras seraya berdoa: "Ya Allah, kasihanilah orang tua yang penuh dosa dan berhati keras ini. Ya Allah, maafkanlah kekeliruanku dan ampunilah kesalahanku. Berikan kelembutan-Mu kepada hamba yang hanya berharap dan bertawakal kepada-Mu ini."
Diriwayatkan dari seorang syaikh kaum Quraisy, "Beberapa orang datang menjenguk Muawiyah ketika sakit yang dideritanya sudah semakin berat. Setelah memanjatkan puja puji kepada Allah, ia berkata, 'Bukankah dunia ini hanyalah seperti yang kita alami dan kita lihat? Sungguh, demi Allah, kita rela bersusah payah demi bersuka ria menikmati pesona-pesona dunia dalam hidup ini. Tetapi lambat laun dunia menggerogoti kita sedikit demi sedikit, sehingga ia berhasil menipu dan menguras tenaga kita. Oleh karena itu, betapa tidak berharganya dunia ini untuk dijadikan tempat tinggal yang abadi."
(Baca Juga: 4 Alasan Mengapa Manusia Takut Mati)
Diriwayatkan, sesungguhnya pesan terakhir yang disampaikan oleh Muawiyah dalam khutbahnya ialah, "Wahai manusia, sesungguhnya barangsiapa yang menanam, ia akan menuai hasilnya. Aku telah memerintah kalian, dan siapa pun orang yang akan menggantikan aku ia pasti lebih buruk daripada aku, sebagaimana orang-orang yang aku gantikan, dimana mereka lebih baik daripada aku. Wahai Yazid, jika nanti ajalku telah tiba, biarlah yang akan memandikan aku adalah orang yang berilmu, karena orang yang berilmu itu memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah. Ia pasti akan melaksanakan tugasnya dengan baik. Pergilah untuk mencari sebuah peti yang berisikan pakaian Rasulullah صلى الله عليه وسلم, sedikit rambut, dan potongan-potongan kuku beliau. Kamu letakkan itu pada lubang hidung, mulut, telinga, dan mataku. Balutkan pakaian beliau itu ke tubuhku bersama kain kafanku. Wahai Yazid, jagalah selalu wasiat Allah tentang kedua orang tuamu. Kemudian jika kamu telah menurunkan jasadku ke dalam liang lahat, tinggalkan sendirian Muawiyah bersama dengan Tuhan Yang Paling Penyayang."
Muhammad bin Uqbah mengatakan, "Ketika hendak meninggal dunia, Muawiyah berkata: "Aduh, seandainya aku adalah seorang Quraisy di Dzi Tluiwa, dan tidak pernah memegang tampuk kekuasaan ini."
Kisah berikutnya, ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah) sudah dekat dengan ajalnya, ia memandang ke arah seorang tukang cuci pakaian di wilayah Damaskus yang sedang sibuk bekerja. Sang khalifah berguman sendiri: "Seandainya saja aku seorang tukang cuci itu, yang setiap hari makan dari hasil pekerjaannya sendiri. Dan seandainya saja aku tidak pernah memegang tampuk kekuasaan apa pun di dunia ini."
Rupanya ucapan ini didengar oleh Abu Hazm yang kemudian menyahut, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan orang-orang yang ketika sedang menghadapi ajal kematian berharap bisa hidup seperti kami ini. Sebaliknya, ketika sedang menghadapi ajal kematian, kami tidak berharap bisa seperti mereka."
Saat sudah dalam kondisi kritis, Abdul Malik bin Marwan ditanya, "Bagaimana keadaan Anda, wahai Amirul Mukminin?"
Ia menjawab, "Aku dalam keadaan seperti yang difirmankan oleh Allah Ta'ala:
ولقد جئتمونا فرادى كما خلقناكم اول مرة وتركتم ما خولنا كم وراء ظهوركم
"Dan sesungguhnya kamu datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu." (QS Al-An'aam: 94)
Setelah menjawab seperti itu beliau pun mengembuskan nafas terakhirnya. Semoga Allah meridhai mereka dan mengumpulkannya bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
(Baca Juga: Mengapa Takut Mati? Quraish Shihab Bilang Mati Itu Lezat dan Nikmat)
(Bersambung)!
Sumber:
Dibalik Tabir Kematian karya Imam Al-Ghazali
Kematian adalah terputusnya hubungan antara ruh dengan badan, berpisahnya kaitan antara keduanya, bergantinya kondisi, dan berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Demikian kata Imam Al-Qurtubhi.
(Baca Juga: Manfaat dan Faedah Mengingat Mati)
Bagi seorang mukmin kematian adalah nikmat, karena merupakan pintumasuk menuju kehidupan yang abadi. Sedangkan bagi orang kafir, kematian adalah hukuman yang menyedihkan.
Berikut kita ulas bagaimana ucapan para khalifah dan orang-orang saleh terdahulu ketika menjelang ajalnya yang bersumber dari buku "Dibalik Tabir Kematian" karya Imam Al-Ghazali . Ada banyak hikmah dan iktibar dari kisah para kaum shalihin saat menghadapi ajalnya.
Ketika Muawiyah bin Abu Sufyan berada di ambang ajalnya, ia berkata, "Bantulah aku duduk!" Orang-orang pun segera membantunya. Setelah membaca kalimat tasbih dan berzikir kepada Allah sampai menangis, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Wahai Muawiyah, kamu baru ingat Tuhanmu setelah datangnya masa tua dan usia uzur. Betapa elok seandainya kamu melakukan hal ini ketika masih muda dan segar?"
Ia menangis lagi lebih keras seraya berdoa: "Ya Allah, kasihanilah orang tua yang penuh dosa dan berhati keras ini. Ya Allah, maafkanlah kekeliruanku dan ampunilah kesalahanku. Berikan kelembutan-Mu kepada hamba yang hanya berharap dan bertawakal kepada-Mu ini."
Diriwayatkan dari seorang syaikh kaum Quraisy, "Beberapa orang datang menjenguk Muawiyah ketika sakit yang dideritanya sudah semakin berat. Setelah memanjatkan puja puji kepada Allah, ia berkata, 'Bukankah dunia ini hanyalah seperti yang kita alami dan kita lihat? Sungguh, demi Allah, kita rela bersusah payah demi bersuka ria menikmati pesona-pesona dunia dalam hidup ini. Tetapi lambat laun dunia menggerogoti kita sedikit demi sedikit, sehingga ia berhasil menipu dan menguras tenaga kita. Oleh karena itu, betapa tidak berharganya dunia ini untuk dijadikan tempat tinggal yang abadi."
(Baca Juga: 4 Alasan Mengapa Manusia Takut Mati)
Diriwayatkan, sesungguhnya pesan terakhir yang disampaikan oleh Muawiyah dalam khutbahnya ialah, "Wahai manusia, sesungguhnya barangsiapa yang menanam, ia akan menuai hasilnya. Aku telah memerintah kalian, dan siapa pun orang yang akan menggantikan aku ia pasti lebih buruk daripada aku, sebagaimana orang-orang yang aku gantikan, dimana mereka lebih baik daripada aku. Wahai Yazid, jika nanti ajalku telah tiba, biarlah yang akan memandikan aku adalah orang yang berilmu, karena orang yang berilmu itu memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah. Ia pasti akan melaksanakan tugasnya dengan baik. Pergilah untuk mencari sebuah peti yang berisikan pakaian Rasulullah صلى الله عليه وسلم, sedikit rambut, dan potongan-potongan kuku beliau. Kamu letakkan itu pada lubang hidung, mulut, telinga, dan mataku. Balutkan pakaian beliau itu ke tubuhku bersama kain kafanku. Wahai Yazid, jagalah selalu wasiat Allah tentang kedua orang tuamu. Kemudian jika kamu telah menurunkan jasadku ke dalam liang lahat, tinggalkan sendirian Muawiyah bersama dengan Tuhan Yang Paling Penyayang."
Muhammad bin Uqbah mengatakan, "Ketika hendak meninggal dunia, Muawiyah berkata: "Aduh, seandainya aku adalah seorang Quraisy di Dzi Tluiwa, dan tidak pernah memegang tampuk kekuasaan ini."
Kisah berikutnya, ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah) sudah dekat dengan ajalnya, ia memandang ke arah seorang tukang cuci pakaian di wilayah Damaskus yang sedang sibuk bekerja. Sang khalifah berguman sendiri: "Seandainya saja aku seorang tukang cuci itu, yang setiap hari makan dari hasil pekerjaannya sendiri. Dan seandainya saja aku tidak pernah memegang tampuk kekuasaan apa pun di dunia ini."
Rupanya ucapan ini didengar oleh Abu Hazm yang kemudian menyahut, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan orang-orang yang ketika sedang menghadapi ajal kematian berharap bisa hidup seperti kami ini. Sebaliknya, ketika sedang menghadapi ajal kematian, kami tidak berharap bisa seperti mereka."
Saat sudah dalam kondisi kritis, Abdul Malik bin Marwan ditanya, "Bagaimana keadaan Anda, wahai Amirul Mukminin?"
Ia menjawab, "Aku dalam keadaan seperti yang difirmankan oleh Allah Ta'ala:
ولقد جئتمونا فرادى كما خلقناكم اول مرة وتركتم ما خولنا كم وراء ظهوركم
"Dan sesungguhnya kamu datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu." (QS Al-An'aam: 94)
Setelah menjawab seperti itu beliau pun mengembuskan nafas terakhirnya. Semoga Allah meridhai mereka dan mengumpulkannya bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
(Baca Juga: Mengapa Takut Mati? Quraish Shihab Bilang Mati Itu Lezat dan Nikmat)
(Bersambung)!
Sumber:
Dibalik Tabir Kematian karya Imam Al-Ghazali
(rhs)