Cerita Ajaran: Siti Fatimah dan Binatang
loading...
A
A
A
BERIKUT adalah cerita yang mengandung ajaran, dikenal dalam masyarakat dan dalam bentuk bagian dari kegiatan luar (fisik) para darwis. Dimaksudkan untuk meletakkan dasar dari pengetahuan tentang Sufisme dan metode-metode penalaran (berpikir) yang khas. Cerita dinukil dari Idries Shah dalam The Way of the Sufi dan telah diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha dengan judul Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma'rifat .
==
Terdapatlah seorang gadis kecil yang tumbuh berkembang bersama orangtuanya, semua di dalam hutan. Suatu hari ia menemukan ayah dan ibunya meninggal, dan dia harus menjaga dirinya sendiri. Orangtuanya meninggalkan Mihrab, sebuah ornamen ukiran yang aneh seperti kusen jendela, yang terus tergantung di dinding pondok.
"Sekarang aku sendirian," ujar Fatimah, "dan harus bertahan di hutan yang hanya didiami binatang ini, akan lebih baik jika aku dapat berbicara dan mengerti bahasa mereka."
Maka ia menghabiskan hari-hari baiknya dengan menyebut keinginannya ke kusen di dinding, "Mihrab, berilah aku kekuatan untuk memahami dan berbicara dengan binatang."
Setelah cukup lama, tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya dapat berbicara dengan burung, binatang-binatang lain bahkan ikan. Maka ia pergi ke dalam hutan untuk mencobanya.
Segera ia menuju ke kolam. Di atas air ada sejenis lalat kolam, melompat-lompat di permukaan dan tidak pernah masuk ke air. Bermacam ikan berenang di dalamnya, dan menempel di dasar kolam terdapat banyak siput.
Fatimah berkata untuk memulai percakapan, "Lalat, mengapa kau tidak masuk ke air?"
"Untuk apa, menganggap hal itu mungkin, padahal tidak?" tanya lalat.
"Karena kau akan aman dari burung-burung yang akan menyambar dan memakanmu."
"Bukankah aku belum dimangsanya?" jawab lalat.
Dan itu akhir percakapan.
Kemudian Fatimah berbicara pada ikan, "Wahai, ikan," katanya menembus air, "mengapa kau tidak berusaha keluar dari air, sedikit demi sedikit? Kudengar ada beberapa jenis ikan yang dapat melakukannya."
"Sama sekali tidak mungkin," ujar ikan, "tidak ada satu pun yang melakukan itu dan bertahan hidup. Kami dibesarkan untuk percaya bahwa itu adalah suatu dosa serta bahaya yang mematikan." Ikan itu kembali menyelam ke bayangan, tidak mau mendengar omong-kosong tersebut.
Lalu Fatimah menegur siput, "Hai, siput, kau dapat merayap keluar dari air dan mendapatkan daun-daunan segar untuk dimakan. Aku telah mendengar bahwa ada siput-siput yang dapat benar-benar melakukannya."
"Sebuah pertanyaan paling baik dijawab dengan pertanyaan apabila seekor siput yang bijak mendengarnya," ujar siput.
"Barangkali akan cukup baik jika engkau bersedia mengatakan padaku, mengapa engkau demikian tertarik dengan kesejahteraanku? Orang harus menjaga diri mereka sendiri."
"Baiklah," ujar Fatimah, "Aku menganggapnya karena jika seseorang dapat lebih memperhatikan orang lain, ia ingin membantunya mencapai puncak-puncak yang lebih tinggi."
"Tampaknya hal itu merupakan suatu gagasan yang asing bagiku," jawab siput, dan merayap ke bawah sebuah batu menjauhi jarak pendengaran.
Fatimah menyerah pada lalat, ikan dan siput, dan berkelana ke dalam hutan, mencari (sesuatu) yang lain untuk diajak bicara. Ia merasa bahwa dirinya harus menjadi orang yang bermanfaat untuk seseorang. Bagaimanapun, ia lebih banyak memiliki pengetahuan daripada penghuni hutan ini. Seekor burung misalnya, dapat diperingatkan agar menyimpan makanan untuk musim dingin, atau bersarang di dekat kehangatan pondok, sehingga tidak perlu ada kematian sia-sia. Tetapi ia tidak melihat seekor burung pun.
Sebagai gantinya, ia bertemu secara tidak sengaja dengan pondok seorang pembuat arang. Dia seorang laki-laki tua dan duduk di depan pintunya, membakar kayu untuk arang yang akan dibawanya ke pasar.
Fatimah, senang bertemu dengan manusia lain -- satu-satunya orang lain yang telah ditemuinya selain kedua orangtuanya -- segera berlari menghampirinya. Dia menceritakan pengalamannya hari itu.
"Jangan khawatir tentang hal itu, Anakku," ujar laki-laki tua yang baik tersebut, "Itulah hal-hal yang mana seorang manusia harus belajar, dan hal-hal itu berpengaruh sangat penting bagi kehidupan masa depannya."
"Hal-hal untuk dipelajari?" ujar Fatimah, "Dan apakah yang seharusnya aku inginkan dengan hal-hal untuk dipelajari itu, berdoa? Hal-hal itu hanya akan, sangat mungkin, mengubah sikap hidup dan cara berpikirku." Dan seperti lalat, ikan dan siput, ia pergi menjauhi si pembakar arang.
Fatimah, putri Waliah, telah menghabiskan waktu tigapuluh tahun berikutnya seperti halnya lalat, ikan dan siput sebelum ia mempelajari sesuatu sama sekali. ( )
==
Terdapatlah seorang gadis kecil yang tumbuh berkembang bersama orangtuanya, semua di dalam hutan. Suatu hari ia menemukan ayah dan ibunya meninggal, dan dia harus menjaga dirinya sendiri. Orangtuanya meninggalkan Mihrab, sebuah ornamen ukiran yang aneh seperti kusen jendela, yang terus tergantung di dinding pondok.
"Sekarang aku sendirian," ujar Fatimah, "dan harus bertahan di hutan yang hanya didiami binatang ini, akan lebih baik jika aku dapat berbicara dan mengerti bahasa mereka."
Maka ia menghabiskan hari-hari baiknya dengan menyebut keinginannya ke kusen di dinding, "Mihrab, berilah aku kekuatan untuk memahami dan berbicara dengan binatang."
Setelah cukup lama, tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya dapat berbicara dengan burung, binatang-binatang lain bahkan ikan. Maka ia pergi ke dalam hutan untuk mencobanya.
Segera ia menuju ke kolam. Di atas air ada sejenis lalat kolam, melompat-lompat di permukaan dan tidak pernah masuk ke air. Bermacam ikan berenang di dalamnya, dan menempel di dasar kolam terdapat banyak siput.
Fatimah berkata untuk memulai percakapan, "Lalat, mengapa kau tidak masuk ke air?"
"Untuk apa, menganggap hal itu mungkin, padahal tidak?" tanya lalat.
"Karena kau akan aman dari burung-burung yang akan menyambar dan memakanmu."
"Bukankah aku belum dimangsanya?" jawab lalat.
Dan itu akhir percakapan.
Kemudian Fatimah berbicara pada ikan, "Wahai, ikan," katanya menembus air, "mengapa kau tidak berusaha keluar dari air, sedikit demi sedikit? Kudengar ada beberapa jenis ikan yang dapat melakukannya."
"Sama sekali tidak mungkin," ujar ikan, "tidak ada satu pun yang melakukan itu dan bertahan hidup. Kami dibesarkan untuk percaya bahwa itu adalah suatu dosa serta bahaya yang mematikan." Ikan itu kembali menyelam ke bayangan, tidak mau mendengar omong-kosong tersebut.
Lalu Fatimah menegur siput, "Hai, siput, kau dapat merayap keluar dari air dan mendapatkan daun-daunan segar untuk dimakan. Aku telah mendengar bahwa ada siput-siput yang dapat benar-benar melakukannya."
"Sebuah pertanyaan paling baik dijawab dengan pertanyaan apabila seekor siput yang bijak mendengarnya," ujar siput.
"Barangkali akan cukup baik jika engkau bersedia mengatakan padaku, mengapa engkau demikian tertarik dengan kesejahteraanku? Orang harus menjaga diri mereka sendiri."
"Baiklah," ujar Fatimah, "Aku menganggapnya karena jika seseorang dapat lebih memperhatikan orang lain, ia ingin membantunya mencapai puncak-puncak yang lebih tinggi."
"Tampaknya hal itu merupakan suatu gagasan yang asing bagiku," jawab siput, dan merayap ke bawah sebuah batu menjauhi jarak pendengaran.
Fatimah menyerah pada lalat, ikan dan siput, dan berkelana ke dalam hutan, mencari (sesuatu) yang lain untuk diajak bicara. Ia merasa bahwa dirinya harus menjadi orang yang bermanfaat untuk seseorang. Bagaimanapun, ia lebih banyak memiliki pengetahuan daripada penghuni hutan ini. Seekor burung misalnya, dapat diperingatkan agar menyimpan makanan untuk musim dingin, atau bersarang di dekat kehangatan pondok, sehingga tidak perlu ada kematian sia-sia. Tetapi ia tidak melihat seekor burung pun.
Sebagai gantinya, ia bertemu secara tidak sengaja dengan pondok seorang pembuat arang. Dia seorang laki-laki tua dan duduk di depan pintunya, membakar kayu untuk arang yang akan dibawanya ke pasar.
Fatimah, senang bertemu dengan manusia lain -- satu-satunya orang lain yang telah ditemuinya selain kedua orangtuanya -- segera berlari menghampirinya. Dia menceritakan pengalamannya hari itu.
"Jangan khawatir tentang hal itu, Anakku," ujar laki-laki tua yang baik tersebut, "Itulah hal-hal yang mana seorang manusia harus belajar, dan hal-hal itu berpengaruh sangat penting bagi kehidupan masa depannya."
"Hal-hal untuk dipelajari?" ujar Fatimah, "Dan apakah yang seharusnya aku inginkan dengan hal-hal untuk dipelajari itu, berdoa? Hal-hal itu hanya akan, sangat mungkin, mengubah sikap hidup dan cara berpikirku." Dan seperti lalat, ikan dan siput, ia pergi menjauhi si pembakar arang.
Fatimah, putri Waliah, telah menghabiskan waktu tigapuluh tahun berikutnya seperti halnya lalat, ikan dan siput sebelum ia mempelajari sesuatu sama sekali. ( )
(mhy)