Kisah Satria Mega Pethak Menyebarkan Ajaran Islam Versi Lawrens Rasyidi
loading...
A
A
A
Alkisah, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih hingga sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap. ”Sudah lama kudengar nama dan sepak terjangmu! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana anak buahmu?” ( )
Pimpinan perampok ini mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang penduduk berani berkata seperti itu kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan! Gila!” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini?”
Pemuda itu malah menatap lekat ke arah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang. Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan. ( )
"Ki Julung Pujud! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur!” jawab pemuda tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya,“ guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau sekadar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya cuma mengonggong!”
“Buktikanlah!" sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi. “Baik, panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing!” kata Julung Pujud sembari melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.
“Cepat berkumpul. Buang obor kalian! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud. ”Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani coba-coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial!”
“Namaku Ghafur! Tetapi lidah orang-orang Jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat!” ( )
“Hoo! Jadi namamu Kapur?” ejek Julung Pujud. ”Pantas wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat!”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol. “Penjalin! Aku hanya sekadar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu!” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu?” tukas Tekuk Penjalin.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap. ”Sudah lama kudengar nama dan sepak terjangmu! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana anak buahmu?” ( )
Pimpinan perampok ini mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang penduduk berani berkata seperti itu kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan! Gila!” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini?”
Pemuda itu malah menatap lekat ke arah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang. Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan. ( )
"Ki Julung Pujud! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur!” jawab pemuda tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya,“ guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau sekadar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya cuma mengonggong!”
“Buktikanlah!" sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi. “Baik, panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing!” kata Julung Pujud sembari melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.
“Cepat berkumpul. Buang obor kalian! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud. ”Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani coba-coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial!”
“Namaku Ghafur! Tetapi lidah orang-orang Jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat!” ( )
“Hoo! Jadi namamu Kapur?” ejek Julung Pujud. ”Pantas wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat!”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol. “Penjalin! Aku hanya sekadar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu!” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu?” tukas Tekuk Penjalin.