Jadikan Rumah sebagai 'Majelis Ilmu' Terbaik Bagi Anak
loading...
A
A
A
Dalam perspektif Islam , pendidikan anak adalah proses mendidik, mengasuh, dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan orang tua sebagai tanggung jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai baik dan terpuji bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Sistem pendidikan keluarga ini dipandang sebagai penentu masa depan anak. Sampai-sampai diibaratkan bahwa surga dan neraka anak tergantung terhadap orang tuanya. Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang menjadi generasi insan yang rabbani yang beriman, bertakwa dan beramal saleh adalah tanggung jawab orang tua.
Sebagai amanah dari Allah Ta'ala yang harus dipertanggung-jawabkan oleh setiap orang tua dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Karena itu, pendidikan perlu dilihat sebagai suatu proses yang berkesambungan dan berkembang. Dan serentak dengan perkembangan individu seorang anak, ia memperlajari apa saja yang ada dilingkungannya. Dengan kemahiran yang diperoleh anak akan mengaplikasikannya dalam konteks yang bermacam-macam dalam hidup kesehariannya disaat itu ataupun sebagai persiapan untuk kehidupannya di masa yang akan datang.
Jika anak yang dididik mengikuti ajaran Islam maka orang tua akan memperoleh ganjaran pahala yang besar dari hasil ketaatan mereka. Dan perlu diingat, semua anak di usia perkembangannya adalah seorang 'prawi' atau periwayat yang hebat, dari apa yang meriwayatkan kepadanya.
Kenapa demikian? Semua anak terlahir dengan kesucian, namun orang-orang terdekatnyalah yang akan paling banyak memengaruhi 'ilmu' yang didapatkannya dalam kehidupan. Mulai dari lingkungan keluarga, bapak-ibunya, saudara, kakek-nenek, lingkungan sekolah dan tetangga di rumah. Merekalah sumber informasi ilmu anak.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
‘Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? ‘ kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi: ‘…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.’ (QS: Ar Ruum (30): 30). (HR. Bukhari)
Hadis ini mudah dipahami. Karena memang anak lebih banyak waktu dengan orang tua dibandingkan dengan di sekolah, lingkungan bermain, sepanjang malam mereka bersama orang tua. Pada hadis di atas, bukan hanya aktifitas keseharian, perkataan dan perbuatan, bahkan agama sekalipun orang tua mampu mengubah dan menggantinya.
Di rumah, anak menerima pembelajaran (riwayat) ilmu pertamanya. Aktifitas mereka pun sangat kompleks. Mereka melakukan aktivitas penuh pengulangan, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Hal ini dilakukan hari demi hari. Bulan demi bulan hingga berganti tahun. Bersama orang tua mereka anak melakukan aktifitas ruh, fisik, keterampilan, bahkan ibadah seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.
Anak-anak bisa mempraktikkan majelis ilmu, adab, tadabbur ayat-ayat Al-Qur’an, latihan sedekah, doa-doa harian, dan seterusnya. Karena itulah, semua aktifitas akan terekam kuat oleh anak (dhabit). Orang tua adalah guru utamanya saat di rumah.
Kemudian, mereka pun akan sangat menurut pada gurunya ketika dia sudah bersekolah. Banyak contoh, guru sebagai 'orang' yang sangat berperan dalam kehidupan keilmuan anak pula. Lihat betapa banyak ahli hadis meriwayatkan dari gurunya.
Tak sedikit anak-anak kita meniru bahkan lebih tunduk pada gurunya. Betapa banyak para ulama dalam biografi-biografinya juga terpengaruh oleh gurunya bahkan meneruskan bidang keilmuan gurunya.
Di dalam Kitab Ta’lim, Sultan Iskandar Dzulqarnain pernah ditanya, mengapa engkau lebih menghormati guru dibandingkan ayahmu?
لان ابى انزلنى من السماء الى الارض واستاذى يرفعنى من الارض الى السماء
"Karena sesungguhnya ayahku adalah orang yang menurunkanku dari langit ke bumi, sedangkan guruku mengangkatku dari bumi ke langit."
Sistem pendidikan keluarga ini dipandang sebagai penentu masa depan anak. Sampai-sampai diibaratkan bahwa surga dan neraka anak tergantung terhadap orang tuanya. Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang menjadi generasi insan yang rabbani yang beriman, bertakwa dan beramal saleh adalah tanggung jawab orang tua.
Baca Juga
Sebagai amanah dari Allah Ta'ala yang harus dipertanggung-jawabkan oleh setiap orang tua dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Karena itu, pendidikan perlu dilihat sebagai suatu proses yang berkesambungan dan berkembang. Dan serentak dengan perkembangan individu seorang anak, ia memperlajari apa saja yang ada dilingkungannya. Dengan kemahiran yang diperoleh anak akan mengaplikasikannya dalam konteks yang bermacam-macam dalam hidup kesehariannya disaat itu ataupun sebagai persiapan untuk kehidupannya di masa yang akan datang.
Jika anak yang dididik mengikuti ajaran Islam maka orang tua akan memperoleh ganjaran pahala yang besar dari hasil ketaatan mereka. Dan perlu diingat, semua anak di usia perkembangannya adalah seorang 'prawi' atau periwayat yang hebat, dari apa yang meriwayatkan kepadanya.
Baca Juga
Kenapa demikian? Semua anak terlahir dengan kesucian, namun orang-orang terdekatnyalah yang akan paling banyak memengaruhi 'ilmu' yang didapatkannya dalam kehidupan. Mulai dari lingkungan keluarga, bapak-ibunya, saudara, kakek-nenek, lingkungan sekolah dan tetangga di rumah. Merekalah sumber informasi ilmu anak.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
‘Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? ‘ kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi: ‘…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.’ (QS: Ar Ruum (30): 30). (HR. Bukhari)
Hadis ini mudah dipahami. Karena memang anak lebih banyak waktu dengan orang tua dibandingkan dengan di sekolah, lingkungan bermain, sepanjang malam mereka bersama orang tua. Pada hadis di atas, bukan hanya aktifitas keseharian, perkataan dan perbuatan, bahkan agama sekalipun orang tua mampu mengubah dan menggantinya.
Di rumah, anak menerima pembelajaran (riwayat) ilmu pertamanya. Aktifitas mereka pun sangat kompleks. Mereka melakukan aktivitas penuh pengulangan, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Hal ini dilakukan hari demi hari. Bulan demi bulan hingga berganti tahun. Bersama orang tua mereka anak melakukan aktifitas ruh, fisik, keterampilan, bahkan ibadah seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.
Anak-anak bisa mempraktikkan majelis ilmu, adab, tadabbur ayat-ayat Al-Qur’an, latihan sedekah, doa-doa harian, dan seterusnya. Karena itulah, semua aktifitas akan terekam kuat oleh anak (dhabit). Orang tua adalah guru utamanya saat di rumah.
Kemudian, mereka pun akan sangat menurut pada gurunya ketika dia sudah bersekolah. Banyak contoh, guru sebagai 'orang' yang sangat berperan dalam kehidupan keilmuan anak pula. Lihat betapa banyak ahli hadis meriwayatkan dari gurunya.
Tak sedikit anak-anak kita meniru bahkan lebih tunduk pada gurunya. Betapa banyak para ulama dalam biografi-biografinya juga terpengaruh oleh gurunya bahkan meneruskan bidang keilmuan gurunya.
Di dalam Kitab Ta’lim, Sultan Iskandar Dzulqarnain pernah ditanya, mengapa engkau lebih menghormati guru dibandingkan ayahmu?
لان ابى انزلنى من السماء الى الارض واستاذى يرفعنى من الارض الى السماء
"Karena sesungguhnya ayahku adalah orang yang menurunkanku dari langit ke bumi, sedangkan guruku mengangkatku dari bumi ke langit."