Hati-hati, Menghina dengan Sebutan Nama Binatang Masuk Kategori Dosa Besar Lho!
loading...
A
A
A
Melihat fenomena masyarakat akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan. Apalagi melihat perkembangan dunia media sosial (medsos). Penggunaan media informasi ini, ternyata sudah banyak disalahgunakan . Di media jejaring sosial, orang-orang dengan bebas mengeluarkan uneg-unegnya, bahkan bebas mencaci, mengumpat atau menghina sesamanya. Tak jarang pula, umpatan atau hinaan-hinaan yang dikeluarkan dengan kata-kata kasar bahkan memakai sebutan nama binatang.
Berapa banyak laporan ke polisi 'akibat' hinaan, cacian dan kata-kata kasar lainnya. Tentu saja, orang yang mendapatkan cacian dan hinaan itu akan sakit hati. Apalagi menghina dengan sebutan binatang atau ujaran kalimat kasar tentu akan membuat pihak yang dihina sakit hati. Paling tidak, dongkol.
Jika ditelusuri secara hukum syariat, menghina sesama muslim dengan kata-kata kasar itu adalah tindakan yang masuk kategori dosa besar . Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Dari Abdullah ia berkata, “Mencela/menghina seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. An-Nasa-i no. 4036)
Gaya mencela dan menghina mungkin berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia. Namun, penghinaan, celaan, kutukan, dan semisalnya yang menggunakan ujaran binatang atau nama binatang itu termasuk kategori Sibab. Sibab sendiri berasal dari kata asy-Syatmu, artinya mengutuk.
Sibab itu celaan atau kutukan yang lebih parah dari Sabb. Kalau sabb itu mencela sekedarnya tanpa unsur kedustaan, sedangkan sibab adalah mencela dan mengutuk dengan unsur kebohongan (sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri yang dicela) dan aib orang yang dicela. Sabb dan sibab sama-sama perbuatan yang dilarang dan berdosa.
Imam an-Nawawi menjelaskan, “Fasik itu secara etimologi artinya keluar. Keluar dari ketaatan. Maksud hadis di atas, menghina seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan hukumnya haram berdasarkan Ijma’. Pelakunya dihukumi sebagai Fasik, sebagaimana keterangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.”
Syaikh asy-Syinqiti mendetailkan, “Itu menunjukkan bahwa kedua tindakan tersebut adalah bagian dari dosa besar.” sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas.
Menghina dengan sebutan ‘Wahai anak anjing’, ‘Kamu anak lutung’, ‘Dasar kampret’ (Kampret: bahasa jawa: anak kelelawar), ‘Mereka itu sekumpulan binatang’, dan masih banyak lagi hinaan dan celaan yang sering terdengar di masyarakat. Model-model hinaan seperti itu termasuk kategori Sibab yang hukumnya haram dilemparkan kepada sesama muslim. Itu adalah dosa besar.
Dikutip dari fatwa.islamweb.net, menghina dengan sebutan binatang kepada sesama muslim, selain itu termasuk dosa besar, perbuatan itu juga tentu berakibat negatif pada muslim yang dihina atau dicela. Hinaan dan celaan itu tentu akan menyakiti hati dan perasaan. Ketika hati seorang muslim tersakiti oleh kezaliman berupa celaan dan hinaan dengan ujaran kalimat binatang, rasa sakit itu sangat mungkin akan membekas kuat dalam hatinya.
Jika muslim yang dihina tidak memiliki kesabaran dan sifat lapang dada yang lebih, hinaan yang membekas dalam hatinya akan berubah menjadi rasa benci. Bahkan, bisa jadi akan ia wujudkan dalam aksi balasan. Tentu ini akan menimbulkan masalah baru dalam tubuh umat Islam berupa permusuhan dan perpecahan antar sesama muslim.
Lantas bolehkan mebalas hinaan dalam rangka membela diri? Hinaan dan celaan apapun itu bentuknya tetap saja menyakitkan hati. Seorang muslim yang dihina dan dicela berada dalam posisi orang yang dizalimi.
Para ulama mengatakan bahwa membalas hinaan dan celaan orang lain dalam rangka membela diri itu hukum asalnya adalah boleh. Syaratnya, balasan hinaan atau celaan sekadar dengan hinaan atau celaan yang ia terima. Tidak boleh lebih.
Dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المتسابان ماقالا، فعلى البادي منهما حتى يعتدي المظلوم
“Dosa akibat perkataan dua orang yang saling memaki menjadi tanggungan orang yang memulainya, sampai orang dizalimi melewati batas”. (HR. Muslim)
Dalam hadis tersebut terkandung beberapa hukum. Di antaranya:
1. Menghina, mencela, atau memaki sesama muslim hukumnya haram.
2. Orang yang dihina dan dicela boleh membalas dengan hinaan dan celaan sepadan yang dia terima, selama hinaan dan celaan yang dia lemparkan tidak mengandung unsur kebohongan.
3. Jika pihak yang dihina dan dicela membela diri, maka lawannya tidak lagi menanggung dosa orang tersebut. Ia harus menanggung dosa karena telah memulai hinaan dan celaan tersebut.
4. Jika orang yang dihina dan dicela membalas dengan melebihi kadar hinaan dan celaan yang ia terima, maka ia berdosa.
5. Sikap yang lebih baik tentunya adalah memafkan orang yang telah menghina dan mencelanya. (Syarh Riyadhus Shalihin, 3/75)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ * وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura: 39-40)
Wallahu A’lam
Berapa banyak laporan ke polisi 'akibat' hinaan, cacian dan kata-kata kasar lainnya. Tentu saja, orang yang mendapatkan cacian dan hinaan itu akan sakit hati. Apalagi menghina dengan sebutan binatang atau ujaran kalimat kasar tentu akan membuat pihak yang dihina sakit hati. Paling tidak, dongkol.
Jika ditelusuri secara hukum syariat, menghina sesama muslim dengan kata-kata kasar itu adalah tindakan yang masuk kategori dosa besar . Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Dari Abdullah ia berkata, “Mencela/menghina seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. An-Nasa-i no. 4036)
Gaya mencela dan menghina mungkin berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia. Namun, penghinaan, celaan, kutukan, dan semisalnya yang menggunakan ujaran binatang atau nama binatang itu termasuk kategori Sibab. Sibab sendiri berasal dari kata asy-Syatmu, artinya mengutuk.
Sibab itu celaan atau kutukan yang lebih parah dari Sabb. Kalau sabb itu mencela sekedarnya tanpa unsur kedustaan, sedangkan sibab adalah mencela dan mengutuk dengan unsur kebohongan (sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri yang dicela) dan aib orang yang dicela. Sabb dan sibab sama-sama perbuatan yang dilarang dan berdosa.
Imam an-Nawawi menjelaskan, “Fasik itu secara etimologi artinya keluar. Keluar dari ketaatan. Maksud hadis di atas, menghina seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan hukumnya haram berdasarkan Ijma’. Pelakunya dihukumi sebagai Fasik, sebagaimana keterangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.”
Syaikh asy-Syinqiti mendetailkan, “Itu menunjukkan bahwa kedua tindakan tersebut adalah bagian dari dosa besar.” sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas.
Menghina dengan sebutan ‘Wahai anak anjing’, ‘Kamu anak lutung’, ‘Dasar kampret’ (Kampret: bahasa jawa: anak kelelawar), ‘Mereka itu sekumpulan binatang’, dan masih banyak lagi hinaan dan celaan yang sering terdengar di masyarakat. Model-model hinaan seperti itu termasuk kategori Sibab yang hukumnya haram dilemparkan kepada sesama muslim. Itu adalah dosa besar.
Dikutip dari fatwa.islamweb.net, menghina dengan sebutan binatang kepada sesama muslim, selain itu termasuk dosa besar, perbuatan itu juga tentu berakibat negatif pada muslim yang dihina atau dicela. Hinaan dan celaan itu tentu akan menyakiti hati dan perasaan. Ketika hati seorang muslim tersakiti oleh kezaliman berupa celaan dan hinaan dengan ujaran kalimat binatang, rasa sakit itu sangat mungkin akan membekas kuat dalam hatinya.
Jika muslim yang dihina tidak memiliki kesabaran dan sifat lapang dada yang lebih, hinaan yang membekas dalam hatinya akan berubah menjadi rasa benci. Bahkan, bisa jadi akan ia wujudkan dalam aksi balasan. Tentu ini akan menimbulkan masalah baru dalam tubuh umat Islam berupa permusuhan dan perpecahan antar sesama muslim.
Baca Juga
Lantas bolehkan mebalas hinaan dalam rangka membela diri? Hinaan dan celaan apapun itu bentuknya tetap saja menyakitkan hati. Seorang muslim yang dihina dan dicela berada dalam posisi orang yang dizalimi.
Para ulama mengatakan bahwa membalas hinaan dan celaan orang lain dalam rangka membela diri itu hukum asalnya adalah boleh. Syaratnya, balasan hinaan atau celaan sekadar dengan hinaan atau celaan yang ia terima. Tidak boleh lebih.
Dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المتسابان ماقالا، فعلى البادي منهما حتى يعتدي المظلوم
“Dosa akibat perkataan dua orang yang saling memaki menjadi tanggungan orang yang memulainya, sampai orang dizalimi melewati batas”. (HR. Muslim)
Dalam hadis tersebut terkandung beberapa hukum. Di antaranya:
1. Menghina, mencela, atau memaki sesama muslim hukumnya haram.
2. Orang yang dihina dan dicela boleh membalas dengan hinaan dan celaan sepadan yang dia terima, selama hinaan dan celaan yang dia lemparkan tidak mengandung unsur kebohongan.
3. Jika pihak yang dihina dan dicela membela diri, maka lawannya tidak lagi menanggung dosa orang tersebut. Ia harus menanggung dosa karena telah memulai hinaan dan celaan tersebut.
4. Jika orang yang dihina dan dicela membalas dengan melebihi kadar hinaan dan celaan yang ia terima, maka ia berdosa.
5. Sikap yang lebih baik tentunya adalah memafkan orang yang telah menghina dan mencelanya. (Syarh Riyadhus Shalihin, 3/75)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ * وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura: 39-40)
Wallahu A’lam
(wid)