Berikut Lima Syarat Dibolehkannya Salat di Atas Kendaraan
loading...
A
A
A
Selain salat di atas punggung unta , ada juga dalil yang berupa perintah Rasulullah SAW kepada para sahabat untuk salat di atas kapal laut. Sebuah hadis menceritakan bagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan salat di atas perahu atau kapal laut, ketika menuju ke negeri Habasyah.
Bahwa Nabi SAW ketika mengutus Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahuanhu ke Habasyah, memerintahkan untuk salat di atas kapal laut dengan berdiri, kecuali bila takut tenggelam. (HR Al-Haitsami dan Al-Bazzar)
Selain itu juga ada hadis lainnya yang menceritakan salat di atas kapal laut.
Dari Abdullah bin Atabah berkata,"Aku menemani Jabir bin Abdullah, Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah naik kapal laut. Mereka salat berjamah dengan berdiri, salah seorang menjadi imam buat yang lainnya. (HR. Said bin Manshur)
Umumnya para ulama membolehkan salat sunnah di atas kendaraan, namun mereka mengharuskan untuk turun dari kendaraan bila yang dikerjakan salat wajib. Kalau pun terpaksa melakukan salat wajib di atas kendaraan, maka ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.
Buku " Shalat di Kendaraan " karya Ustaz Ahmad Sarwat menyebut sedangkan dalam salat wajib, Rasulullah SAW tidak mengerjakannya di atas kendaraan. Bahkan dua hadis Jabir menyebutkan dengan tegas bahwa beliau SAW turun dari kendaraan dan salat di atas tanah menghadap ke kiblat.
Kalau pun beliau SAW salat fardhu di atas punggung unta, hal itu karena memang untuk turun ke atas tanah tidak dimungkinkan, lantaran saat itu turun hujan yang membuat tanah menjadi becek atau berlumpur.
Selain itu ada hadis Nabi SAW yang lain di mana beliau memerintahkan Ja'far bin Abu Thalib yang menumpang kapal laut ketika berhijrah ke Habasyah untuk shalat wajib sambil berdiri.
Sehingga para ulama mengatakan bahwa salat wajib tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan, kecuali dengan terpenuhinya syarat dan ketentuannya, antara lain:
1. Berthaharah dengan benar
Syarat sah salat, baik salat wajib maupun salat sunnah adalah suci dari hadas. Tidak sah sebuah salat dilakukan apabila seseorang tidak dalam keadaan suci dari hadas.
Maka seseorang yang sedang berada di atas kendaraan, apabila hendak melakukan salat, dia wajib berwudhu' sebelumnya. Karena hadas kecil diangkat dengan cara berwudhu' selama masih ada air.
Apabila air sudah sama sekali tidak ada, padahal sudah diusahakan, maka di akhir waktu salat, boleh dilakukan tayammum. Namun yang perlu diperhatikan, apabila di atas kendaraan masih ada air, baik air minum atau pun kendaraan itu memiliki toilet, maka tayammum belum diperkenankan.
Para ulama menyebutkan bahwa paling tidak ada enam hal yang membolehkan tayammum, di antaranya tidak adanya air, sakit, suhu yang sangat dingin, air yang tidak terjangkau, jumlah air yang tidak cukup, dan habisnya waktu salat.
Apabila salah satu dari enam keadaan itu terjadi, maka barulah dibolehkan tayammum. Namun untuk mengerjakan tayammum, kita butuh tanah, sebagaimana Allah SWT sebutkan:
Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci. (QS An-Nisa : 43)
Para ulama mengatakan bahwa apa pun yang menjadi permukaan tanah, baik itu tanah merah, tanah liat, padang pasir, bebatuan, aspal, semen, dan segalanya termasuk dalam kategori tanah yang suci.
Sedangkan debu-debu yang tidak terlihat menempel di benda-benda di sekeliling kita, tidak dibenarkan untuk dijadikan media untuk bertayammum.
Jadi kalau pun di atas kendaraan seseorang ingin bertayammum, maka dia harus membawa tanah sendiri.
2. Menghadap kiblat
Di antara perbedaan antara salat wajib dan salat sunnah adalah bahwa rukun syarat sah salat wajib adalah menghadap ke kiblat.
Sedangkan untuk ketentuan salat sunnah, Allah SWT memberi keringanan sehingga boleh dikerjakan meski kita sedang berada di atas punggung unta dan tidak menghadap kiblat.
Bahwa Nabi SAW ketika mengutus Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahuanhu ke Habasyah, memerintahkan untuk salat di atas kapal laut dengan berdiri, kecuali bila takut tenggelam. (HR Al-Haitsami dan Al-Bazzar)
Selain itu juga ada hadis lainnya yang menceritakan salat di atas kapal laut.
Dari Abdullah bin Atabah berkata,"Aku menemani Jabir bin Abdullah, Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah naik kapal laut. Mereka salat berjamah dengan berdiri, salah seorang menjadi imam buat yang lainnya. (HR. Said bin Manshur)
Umumnya para ulama membolehkan salat sunnah di atas kendaraan, namun mereka mengharuskan untuk turun dari kendaraan bila yang dikerjakan salat wajib. Kalau pun terpaksa melakukan salat wajib di atas kendaraan, maka ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.
Buku " Shalat di Kendaraan " karya Ustaz Ahmad Sarwat menyebut sedangkan dalam salat wajib, Rasulullah SAW tidak mengerjakannya di atas kendaraan. Bahkan dua hadis Jabir menyebutkan dengan tegas bahwa beliau SAW turun dari kendaraan dan salat di atas tanah menghadap ke kiblat.
Kalau pun beliau SAW salat fardhu di atas punggung unta, hal itu karena memang untuk turun ke atas tanah tidak dimungkinkan, lantaran saat itu turun hujan yang membuat tanah menjadi becek atau berlumpur.
Selain itu ada hadis Nabi SAW yang lain di mana beliau memerintahkan Ja'far bin Abu Thalib yang menumpang kapal laut ketika berhijrah ke Habasyah untuk shalat wajib sambil berdiri.
Sehingga para ulama mengatakan bahwa salat wajib tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan, kecuali dengan terpenuhinya syarat dan ketentuannya, antara lain:
1. Berthaharah dengan benar
Syarat sah salat, baik salat wajib maupun salat sunnah adalah suci dari hadas. Tidak sah sebuah salat dilakukan apabila seseorang tidak dalam keadaan suci dari hadas.
Maka seseorang yang sedang berada di atas kendaraan, apabila hendak melakukan salat, dia wajib berwudhu' sebelumnya. Karena hadas kecil diangkat dengan cara berwudhu' selama masih ada air.
Apabila air sudah sama sekali tidak ada, padahal sudah diusahakan, maka di akhir waktu salat, boleh dilakukan tayammum. Namun yang perlu diperhatikan, apabila di atas kendaraan masih ada air, baik air minum atau pun kendaraan itu memiliki toilet, maka tayammum belum diperkenankan.
Para ulama menyebutkan bahwa paling tidak ada enam hal yang membolehkan tayammum, di antaranya tidak adanya air, sakit, suhu yang sangat dingin, air yang tidak terjangkau, jumlah air yang tidak cukup, dan habisnya waktu salat.
Apabila salah satu dari enam keadaan itu terjadi, maka barulah dibolehkan tayammum. Namun untuk mengerjakan tayammum, kita butuh tanah, sebagaimana Allah SWT sebutkan:
Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci. (QS An-Nisa : 43)
Para ulama mengatakan bahwa apa pun yang menjadi permukaan tanah, baik itu tanah merah, tanah liat, padang pasir, bebatuan, aspal, semen, dan segalanya termasuk dalam kategori tanah yang suci.
Sedangkan debu-debu yang tidak terlihat menempel di benda-benda di sekeliling kita, tidak dibenarkan untuk dijadikan media untuk bertayammum.
Jadi kalau pun di atas kendaraan seseorang ingin bertayammum, maka dia harus membawa tanah sendiri.
2. Menghadap kiblat
Di antara perbedaan antara salat wajib dan salat sunnah adalah bahwa rukun syarat sah salat wajib adalah menghadap ke kiblat.
Sedangkan untuk ketentuan salat sunnah, Allah SWT memberi keringanan sehingga boleh dikerjakan meski kita sedang berada di atas punggung unta dan tidak menghadap kiblat.