Konsep Puasa Syari’ah, Thariqah, dan Hakikat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani

Senin, 22 Februari 2021 - 15:53 WIB
loading...
Konsep Puasa Syari’ah, Thariqah, dan Hakikat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Ilustrasi/Ist
A A A
BERBEDA dengan salat dan zakat , puasa menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî ada tiga macam yaitu puasa syari’ah , puasa thariqah , dan puasa hakikat . Masing-masing puasa ini memiliki derajat atau tingkatan tersendiri.



Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani berkata dalam kitab sir al-asrâr: “Puasa syari’ah adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh di siang hari”.

Menurut bahasa, puasa berarti menahan diri. Menurut syara’ adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari karena perintah Allah semata, dengan disertai niat dan syarat-syarat tertentu.

Jadi konsep puasa syariah Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani kurang lebih sama dengan pendapat para ulama lainnya.

Rukun puasa syari’ah ada dua, yaitu niat berpuasa di malam hari sebelum fajar shadiq. Adapun niat puasa Sunnah boleh dilakukan di pagi hari. Dan meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.

Sedangkan hal-hal yang membatlkan puasa ada tujuh yaitu memasukkan sesuatu ke dalam lubang rongga badan dengan sengaja, muntah dengan sengaja, haidh dan nifas, jima’ di siang hari, atau ketika terbit fajar shadiq, gila walaupun sebentar, mabuk atau pingsan sepanjang hari, dan murtad.

Konsep puasa syari’ah menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani ini tidak jauh berbeda dengan ulama lainnya.



Konsep Puasa Thariqah
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani berkata: “Sedangkan puasa thariqah adalah menahan seluruh anggota badan secara lahir maupun batin, siang maupun malam, dari segala perbuatan yang diharamkan, yang dilarang, dan sifat-sifat tercela, seperti ‘ujub, sombong, bakhil, dan sebagainya. Semua itu dapat membatalkan puasa thariqah.

Puasa Syari’ah terbatas waktu, sedangkan puasa thariqah dilakukan seumur hidup”.36

Puasa thariqah ini tingkatannya lebih sulit dibandingkan dengan puasa syari’ah, karena tidak hanya menahan lapar, haus, dan perbuatan maksiat saja, tetapi juga menahan seluruh anggota badan dari perbuatan yang diharamkan Allah.

Misalkan tangan tidak boleh digunakan untuk perbuatan zalim, mulut tidak boleh berkata yang tidak bermanfaat, dalam hati tidak boleh ada sifat ‘ujub, dengki, sombong dan sebagainya, telinga tidak boleh mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat, mata tidak boleh melihat sesuatu yang diharamkan, dan masih banyak lagi.

Banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan haus saja, ia tidak mendapat pahala dari Allah SWT.

“Oleh karena itu ada pula ungkapan, 'banyak yang berpuasa, tetapi berbuka, banyak yang berbuka, tetapi berpuasa'," ujar
Syaikh Abdul Qâdir.



Arti dari 'Banyak yang berbuka tetapi berpuasa', menurut Syaikh Abdul Qadir, "adalah orang yang perutnya tidak berpuasa, tetapi menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan terlarang dan menyakiti orang lain”. 37

Syaikh Abdul Qâdir mengutip dua hadist qudsi “Puasa itu untukku dan akulah yng akan membalasnya” (H.R. Muslim) dan hadist qudsi yang lain: “Bagi orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan, pertama ketika berbuka, kedua ketika melihat Aku”.38

Menurut Syaikh Abdul Qâdir, ulama ahli syari’ah dan ahli thariqah berbeda pendapat tentang hadis di atas. Menurut ahli syari’ah yang dimaksud dengan berbuka adalah makan saat matahari tenggelam. Sedangkan ru’yah yang mereka maksud adalah melihat hilal untuk mementukan jatuhnya hari raya Idul Fitri.

Adapun pengertian menurut ahli thariqah, berbuka ialah kebahagiaan saat masuk surga, saat mencicipi semua kenikmatan surga. Yang dimaksud dengan ru’yah menurut ahli thariqah ialah melihat Allah SWT secara nyata pada hari kiamat dengan pandangan sirri. Semoga dengan kemuliaan Allah SWT, Ia menganugerahkan kepada kita untuk bisa melihat-Nya.

Konsep puasa thariqah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ini sejalan dengan pemikiran Imam Ghazali.

Imam Ghazali tidak melulu memandang puasa sebagai ibadah badaniyah. Oleh karena itu, gagasannya tentang rahasia puasa pun menyadarkan kita akan pentingnya menunaikan ibadah puasa secara lahir batin.

Berikut ini enam rahasia puasa menurut Imam al Ghazali yang ditulis dalam kitab fenomenalnya Ihya’ Ulum ad Din.

Pertama adalah menundukkan mata dan mencegahnya dari memperluas pandangan ke semua yang dimakruhkan, dan dari apapun yang melalaikan hati untuk berzikir kepada Allah.

Berikutnya adalah menjaga lisan dari igauan, dusta, mengumpat, fitnah, mencela, tengkar, dan munafik.

Kedua, menahan telinga dari mendengar hal-hal yang dimakruhkan. Karena semua yang haram diucapkan, haram pula didengarkan. Allah menyamakan antara mendengar dan memakan perkara haram “sammâ’ûna lil kadzibi akkâlûna lis suht”.

Ketiga, mencegah bagian tubuh yang lain seperti tangan dan kaki dari tindakan-tindakan dosa, juga mencegah perut dari makan barang syubhat ketika berbuka.

Mana mungkin bermakna, orang berpuasa dari makanan halal lalu berbuka dengan makanan haram. Ibaratnya seperti orang yang membangun gedung tetapi menghancurkan kota.

Nabi Muhammad pernah bersabda, “Banyak sekali orang yang berpuasa namun yang ia dapat hanya lapar dan haus. Ia adalah orang yang berbuka dengan haram.

“Ia yang berpuasa lalu berbuka dengan memakan daging sesama, yaitu dengan ghibah.”

Keempat, adalah tidak memperbanyak makan ketika berbuka, mengisi perut dan mulut dengan tidak sewajarnya. Maka, apalah arti puasa jika saat berbuka seseorang mengganti apa yang hilang ketika waktu siang, yaitu makan. Bahkan, justru ketika Ramadhan makanan akan lebih beragam.

Apa yang tidak dimakan di bulan-bulan selain Ramadhan malah tersedia saat Ramadhan. Padahal, maksud dan tujuan puasa ialah mengosongkan perut dan menghancurkan syahwat, supaya diri menjadi kuat untuk bertakwa.

Supaya hati setelah berbuka berguncang antara khouf (takut) dan roja’ (mengharap). Karena, ia tidak tahu apakah puasanya diterima dan ia menjadi orang yang dekat dengan Allah, ataukah puasanya ditolak dan ia menjadi orang yang dibenci.

Dan seperti itulah adanya di seluruh ibadah ketika selesai dilaksanakan.

Puasa Hakikat
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, “Adapun puasa hakikat adalah menjaga qalbu dari mencintai selain Allah SWT dan menjaga rasa (sirri) agar tidak mencintai musyahadah pada selain Allah SWT.

Siiri itu berasal dari cahaya Allah, sehingga tidak mungkin condong kepada selain Allah. Bagi orang yang berpuasa tarekat, di dunia ini maupun di akhirat, tidak ada yang dicintai, diingini, dan dicari selain Allah SWT.

Jika qalbu dan sirri terjatuh untuk mencintai selain Allah SWT, maka batallah puasa thariqahnya dan ia harus melakukan qadha dengan kembali mencintai Allah dan menemui-Nya.

Pahala dari puasa hakikat ini adalah bertemu dengan Allah SWT”.40

Puasa hakikat ini adalah tingkatan tertinggi yang dicapai seseorang. Orang yang sudah sampai di tingkatan ini tidak berharap apapun selain Allah SWT. Karena tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi selain berjumpa dengan Allah di hari kiamat nanti.

Puasa hakikat ini batal ketika qalbu dan sirr mencintai selain Allah. Dan harus diqadha dengan cara mencintai Allah SWT dan meninggalkan selain Allah.

Orang yang melaksanakan puasa sesuai dengan konsep puasanya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani akan berdampak pada psikologisnya.

Orang yang berpuasa seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani akan selalu terhindar dari perbuatan dosa.

Bagaimana tidak, setiap anggota badan yang selalu kita gunakan untuk beraktivitas akan terus terjaga jika mengikuti konsep puasanya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Tangan, kaki, dan anggota badan yang lain ikut berpuasa sehingga puasanya tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan syahwat yang lain, yaitu syahwat berbicara, syahwat tidur, dan lain-lain, sehingga ia akan terjaga dari perbutan dosa dan perbuatan yang tidak bermanfaat.

Jadi psikologisnya orang yang berpuasa sesuai dengan konsep puasa Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani akan menjadi sehat.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3197 seconds (0.1#10.140)