Konsep Haji Syari’ah dan Thariqah Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
loading...
A
A
A
Selanjutnya berangkat ke muzdalifah al fu’ad dengan me-mulazamahkan nama kelima dan keenam yaitu” al Hayyu dan al Qayyumu” (yang maha hidup dan yang maha ada dengan sendirinya). Lalu berangkat ke Mina sirri yang terletak di antara dua haram (dua daerah) dan menginap di sana.
“Selanjutnya menyembelih nafsu muthma’innah dengan me-mulazamahkan nama yang ketujuh yaitu “Al Qahhar” (Yang Maha Memaksa), karena “Al Qahhar” adalah ismul fana (nama peleburan) yang mengangkat hijabul kufri (penghalang yang bernama kekufuran). Sebagaimna Sabda Nabi SAW:
“Kufur dan iman adalah dua tempat di belakang Arsy. Keduanya merupakan penghalang antara hamba dengan Tuhannya. Salah satunya hitam dan salah satunya putih”.
Selanjutnya memotong rambut sifat basyariyah (kesenangan manusiawi) dari kepala Ruh Al Qudsi dengan menggunakan nama Allah yang kedelapan yaitu “Al Wahhab” (Yang Maha Pemberi Karunia).
Selanjutnya masuk ke Haram sirri dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesembilan yaitu “Al Fattah” (Yang Maha Pembuka) hingga sampailah pada tempat di mana ia bisa melihat orang-orang yang sedang beri’tikaf di hamparan alam Qurbah. Dan di sana ia bermesraan (unsiyah) dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesepuluh “Al Wahid” (Yang Maha Esa).
Lalu ia melihat keindahan Allah yang Maha Suci dan Maha Agung tanpa bisa ditanyakan kondisinya bagaimana dan tidak dapat pula diumpamakan.
Selanjutnya melakukan tawaf batin tujuh putaran dengan memulazamah-kan nama yang kesebelas yaitu “Al Ahad”.
Nama yang kesebelas ini disertai dengan enam nama-nama cabang dan selanjutnya meminum minuman batin dari tangan Al-Qudrah. Allah berfirman “Tuhan memberi kepada mereka minuman yang bersih” (QS Al-Insan: 21).
Allah memberi minum dari gelas AsmaNya yang kedua belas “al Shamad”. Kemudian orang itu akan diangkat Dzat yang maha kekal dan maha suci dari perumpamaan: hingga ia melihat kepada Allah dengan nur-Nya.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam hadis qudsi: “Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata, yakni pertemuan dengan Allah, tidak dapat didengar oleh telinga, yakni Kalamullah yang tanpa huruf, tanpa suara, tanpa perantara, dan tidak terbesit dalam qalbu manusia, yaitu nikmatnya rasa melihat dan berkenalan dengan Allah SWT”.
Selanjutnya bertahallul dari yang diharamkan Allah SWT. Artinya, menukar sifat yang baik denga selalu mengulang-ulang Asma Tauhid. Sebagaimana firman Allah, “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan kebajikan maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan” (QS Al-Furqan: 70).
Lalu melepaskan diri dari melakukan perbuatan yang bersifat hawa nafsu. Setelah itu seseorang tidak akan merasa khawatir dan bersedih hati.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”(Q.S. Yunus: 62).”
“Selanjutnya melaksanakan thawaf shadri dengan mengulang-ulang seluruh asma Tauhid. Lalu pulang ke negeri asal masing-masing, yang ada di dalam Al-Qudsi dalam rupa yang sebaik-baiknya dengan memulazamahkan asma Allah yang keduabelas. Nama keduabelas ini sangat berkaitan dengan alam Al-Yaqin.”
Demikianlah konsep ibadah haji secara thariqah menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani. Dan penjelasan di atas hanya sekadar penjelasan yang dapat diterima akal saja.
Sebenarnya masih banyak penjelasan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan jika kita ingin mengetahuinya harus dengan mengamalkannya. Seperti perkataan Syaikh Abdul Qâdir:
“Ini adalah takwil yang beredar di sekitar lisan dan akal saja. Adapun hal-hal lain yang ada di balik itu tidak akan dapat diberikan karena tidak akan terkejar oleh pemahaman qalbu dan tidak akan dapat dibahas".
Di antara ilmu itu ada yang seperti mutiara di dalam kerang, hanya ulama-ulama khusus yang mengetahuinya. Jika mereka membicarakannya tidak akan mengingkarinya kecuali orang yang tidak tahu.”
Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalan-amalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya seperti makan, minum, dan pakaian.
“Selanjutnya menyembelih nafsu muthma’innah dengan me-mulazamahkan nama yang ketujuh yaitu “Al Qahhar” (Yang Maha Memaksa), karena “Al Qahhar” adalah ismul fana (nama peleburan) yang mengangkat hijabul kufri (penghalang yang bernama kekufuran). Sebagaimna Sabda Nabi SAW:
“Kufur dan iman adalah dua tempat di belakang Arsy. Keduanya merupakan penghalang antara hamba dengan Tuhannya. Salah satunya hitam dan salah satunya putih”.
Selanjutnya memotong rambut sifat basyariyah (kesenangan manusiawi) dari kepala Ruh Al Qudsi dengan menggunakan nama Allah yang kedelapan yaitu “Al Wahhab” (Yang Maha Pemberi Karunia).
Selanjutnya masuk ke Haram sirri dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesembilan yaitu “Al Fattah” (Yang Maha Pembuka) hingga sampailah pada tempat di mana ia bisa melihat orang-orang yang sedang beri’tikaf di hamparan alam Qurbah. Dan di sana ia bermesraan (unsiyah) dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesepuluh “Al Wahid” (Yang Maha Esa).
Lalu ia melihat keindahan Allah yang Maha Suci dan Maha Agung tanpa bisa ditanyakan kondisinya bagaimana dan tidak dapat pula diumpamakan.
Selanjutnya melakukan tawaf batin tujuh putaran dengan memulazamah-kan nama yang kesebelas yaitu “Al Ahad”.
Nama yang kesebelas ini disertai dengan enam nama-nama cabang dan selanjutnya meminum minuman batin dari tangan Al-Qudrah. Allah berfirman “Tuhan memberi kepada mereka minuman yang bersih” (QS Al-Insan: 21).
Allah memberi minum dari gelas AsmaNya yang kedua belas “al Shamad”. Kemudian orang itu akan diangkat Dzat yang maha kekal dan maha suci dari perumpamaan: hingga ia melihat kepada Allah dengan nur-Nya.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam hadis qudsi: “Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata, yakni pertemuan dengan Allah, tidak dapat didengar oleh telinga, yakni Kalamullah yang tanpa huruf, tanpa suara, tanpa perantara, dan tidak terbesit dalam qalbu manusia, yaitu nikmatnya rasa melihat dan berkenalan dengan Allah SWT”.
Selanjutnya bertahallul dari yang diharamkan Allah SWT. Artinya, menukar sifat yang baik denga selalu mengulang-ulang Asma Tauhid. Sebagaimana firman Allah, “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan kebajikan maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan” (QS Al-Furqan: 70).
Lalu melepaskan diri dari melakukan perbuatan yang bersifat hawa nafsu. Setelah itu seseorang tidak akan merasa khawatir dan bersedih hati.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”(Q.S. Yunus: 62).”
“Selanjutnya melaksanakan thawaf shadri dengan mengulang-ulang seluruh asma Tauhid. Lalu pulang ke negeri asal masing-masing, yang ada di dalam Al-Qudsi dalam rupa yang sebaik-baiknya dengan memulazamahkan asma Allah yang keduabelas. Nama keduabelas ini sangat berkaitan dengan alam Al-Yaqin.”
Demikianlah konsep ibadah haji secara thariqah menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani. Dan penjelasan di atas hanya sekadar penjelasan yang dapat diterima akal saja.
Sebenarnya masih banyak penjelasan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan jika kita ingin mengetahuinya harus dengan mengamalkannya. Seperti perkataan Syaikh Abdul Qâdir:
“Ini adalah takwil yang beredar di sekitar lisan dan akal saja. Adapun hal-hal lain yang ada di balik itu tidak akan dapat diberikan karena tidak akan terkejar oleh pemahaman qalbu dan tidak akan dapat dibahas".
Di antara ilmu itu ada yang seperti mutiara di dalam kerang, hanya ulama-ulama khusus yang mengetahuinya. Jika mereka membicarakannya tidak akan mengingkarinya kecuali orang yang tidak tahu.”
Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalan-amalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya seperti makan, minum, dan pakaian.