Sering Sujud, Kulit Kening Ali bin Abu Thaib Menebal dan Keras Kehitam-hitaman
loading...
A
A
A
"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasulullah SAW yang lain…," sahut Abu Darda.
Itulah keistimewaan Ali bin Abu Thalib r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Ali bin Abu Thalib r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Ali bin Abu Thalib r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.
Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Ali bin Abu Thalib r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut: "Pada satu hari aku menginap di rumah Ali bin Abu Thalib r.a. Sepanjang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?"
"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.
"Hai Nauf," ujar Ali bin Abu Thalib r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi'ar, menjadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!"
Selama hidupnya Ali bin Abu Thalib r.a. tidak pernah putus sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu Ya'laa meriwayatkan, bahwa Ali bin Abu Thalib r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah meninggalkan salat malam semenjak kudengar Rasulullah SAW mengatakan, bahwa salat malam itu adalah cahaya."
Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: "Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Ali bin Abu Thalib r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang untuk beribadah."
Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Ali bin Abu Thalib r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah.
Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasulullah SAW.
Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya sekadar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekadar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah menegaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia merdeka!"
Di samping Ali bin Abu Thalib r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban salat, ia pun terus-menerus mengingatkan para pengikutnya supaya selalu menunaikan salat tepat pada waktunya.
Salat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia. Hanya salatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasulullah SAW salat diibaratkan sebagai mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim.
Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!
Sekalipun Rasulullah SAW telah menjanjikan nikmat kepada Ali bin Abu Thalib r.a., namun kewajiban salat tetap dijaga kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…" (S. Thaha: 132).
Itulah keistimewaan Ali bin Abu Thalib r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Ali bin Abu Thalib r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Ali bin Abu Thalib r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.
Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Ali bin Abu Thalib r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut: "Pada satu hari aku menginap di rumah Ali bin Abu Thalib r.a. Sepanjang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?"
"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.
"Hai Nauf," ujar Ali bin Abu Thalib r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi'ar, menjadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!"
Selama hidupnya Ali bin Abu Thalib r.a. tidak pernah putus sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu Ya'laa meriwayatkan, bahwa Ali bin Abu Thalib r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah meninggalkan salat malam semenjak kudengar Rasulullah SAW mengatakan, bahwa salat malam itu adalah cahaya."
Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: "Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Ali bin Abu Thalib r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang untuk beribadah."
Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Ali bin Abu Thalib r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah.
Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasulullah SAW.
Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya sekadar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekadar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah menegaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia merdeka!"
Di samping Ali bin Abu Thalib r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban salat, ia pun terus-menerus mengingatkan para pengikutnya supaya selalu menunaikan salat tepat pada waktunya.
Salat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia. Hanya salatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasulullah SAW salat diibaratkan sebagai mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim.
Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!
Sekalipun Rasulullah SAW telah menjanjikan nikmat kepada Ali bin Abu Thalib r.a., namun kewajiban salat tetap dijaga kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…" (S. Thaha: 132).
(mhy)