Gara-gara Madu, Ali bin Abu Thalib Nyaris Menghajar Husein
loading...
A
A
A
DALAM suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib --kakak Ali bin Abu Thalib r.a. -- menceritakan penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut:
"Waktu berkunjung ke rumah Ali bin Abu Thalib r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang kedatangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk membeli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar."
"Waktu Ali bin Abu Thalib r.a. datang dan minta supaya Qanbar mengambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang.
Ali bin Abu Thalib r.a. bertanya: 'Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wadah madu ini!'
Sebagai jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah itu.
Mendengar itu bukan main marahnya Ali bin Abu Thalib r.a.: 'Panggil Husein!'…"
Waktu Husein tiba di depannya, Ali bin Abu Thalib r.a. segera mengambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"
Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah Ali bin Abu Thalib r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Ali bin Abu Thalib r.a. bertanya: "Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?"
Putranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas madu. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan."
Dengan suara melunak Ali bin Abu Thalib r.a. menasehati putranya: "Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka".
"Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasulullah SAW mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!"
Ali bin Abu Thalib r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: "Belikan dengan uang ini madu yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah diambil!"
"Demi Allah…, demikian kata Aqil, "…seolah-olah sekarang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!"
Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu.
Menurut penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Ali bin Abu Thalib r.a.). Semua anakku kukumpulkan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali berkata: 'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'…"
Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian. Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir.
Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja untukmu!"
Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ternyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja dibakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai.
Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: "Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!"
Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Ali bin Abu Thalib r.a. berkata meneruskan: "Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluargamu."
Memang luar biasa. Muawiyah bin Sufyan ketika mendengar cerita tentang peristiwa itu berkomentar: "Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!"
"Waktu berkunjung ke rumah Ali bin Abu Thalib r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang kedatangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk membeli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar."
"Waktu Ali bin Abu Thalib r.a. datang dan minta supaya Qanbar mengambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang.
Ali bin Abu Thalib r.a. bertanya: 'Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wadah madu ini!'
Sebagai jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah itu.
Mendengar itu bukan main marahnya Ali bin Abu Thalib r.a.: 'Panggil Husein!'…"
Waktu Husein tiba di depannya, Ali bin Abu Thalib r.a. segera mengambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"
Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah Ali bin Abu Thalib r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Ali bin Abu Thalib r.a. bertanya: "Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?"
Putranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas madu. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan."
Dengan suara melunak Ali bin Abu Thalib r.a. menasehati putranya: "Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka".
"Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasulullah SAW mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!"
Ali bin Abu Thalib r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: "Belikan dengan uang ini madu yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah diambil!"
"Demi Allah…, demikian kata Aqil, "…seolah-olah sekarang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!"
Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu.
Menurut penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Ali bin Abu Thalib r.a.). Semua anakku kukumpulkan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali berkata: 'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'…"
Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian. Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir.
Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja untukmu!"
Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ternyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja dibakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai.
Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: "Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!"
Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Ali bin Abu Thalib r.a. berkata meneruskan: "Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluargamu."
Memang luar biasa. Muawiyah bin Sufyan ketika mendengar cerita tentang peristiwa itu berkomentar: "Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!"