Awal Puasa, Mengikuti Arab Saudi atau Negara Masing-masing?
loading...
A
A
A
“Jawabannya adalah agar WNI yang awal puasanya masih berada di luar negeri mengikuti isbat negara masing-masing, dan nanti ketika pulang ke Indonesia ikutan Isbat Id Indonesia. Adapun jika jumlah hari puasanya kurang dari 29 hari dia cukup mengqadha’nya di lain hari,” jelasnya.
Hal ini sebagaimana dinukil dari pendapat ulama seperti Ibnu Hajar Al-Haitami. Dalam Tuhfatul Muhtajnya Ibnu Hajar Al Haitami menegaskan: Jika belum diwajibkan berpuasa pada penduduk negara lain, karena perbedaan mathali’nya, kemudian dia berpindah dari negara yang mendapat ru’yah di awal, maka yang benar adalah agar dia mengikuti akhir puasa pada negara yang dipindahinya walaupun harus menggenapkan sejumlah 30 hari, karena dengan pindahnya dia ke negara lain menjadi bagian dari penduduknya.
Maka dari sini jika kita berpegang kepada madzhab yang pertama yakni wihdatul mathla’ yang memandang bahwa hilal adalah satu, sebaiknya harus konsisten, tidak dengan pertimbangan karena akan pulang ke Indonesia yang berbeda hari lebarannya dan harus punya landasan syar’i mengapa harus ikut hilal di Indonesia.
Tapi kalau mengikuti kelompok ikhtilaful mathali’ maka sesungguhnya akan lebih longgar dan fleksibel karena awal puasa mengikuti negara setempat dan ketika pulang bisa menggenapkan hitungan hari puasanya hingga 30 hari sesuai fatwa imam Ibnu Hajar Al Haitami.
Lalu, bolehkah salat ied di hari ketiga syawal?
Ini merupakan konsekuensi bagi yang pulang ke Indonesia dengan awal hari puasa yang berbeda, yakni perbedaan masuk syawal secara hitungan hari. Bila di negara setempat awal Ramadhan lebih awal daripada Indonesia maka otomatis dia akan melakukan salat ied yang dalam hitungannya adalah hari ke 2 syawwal.
Menyikapi hal ini ada sebuah hadist yang menjelaskan kebolehannya:
“Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu dari paman-pamannya di kalangan sahabat bahwa suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat salat mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam kitab Subulussalam hadis tersebut dijadikan landasan oleh Imam Syaukani tentang dibolehkannya melakukan salat ied di hari ke dua dan tiga dengan alasan ketidaktahuan, kemudian diqiyaskan kepada semua jenis udzur syar’i.
Hal ini sebagaimana dinukil dari pendapat ulama seperti Ibnu Hajar Al-Haitami. Dalam Tuhfatul Muhtajnya Ibnu Hajar Al Haitami menegaskan: Jika belum diwajibkan berpuasa pada penduduk negara lain, karena perbedaan mathali’nya, kemudian dia berpindah dari negara yang mendapat ru’yah di awal, maka yang benar adalah agar dia mengikuti akhir puasa pada negara yang dipindahinya walaupun harus menggenapkan sejumlah 30 hari, karena dengan pindahnya dia ke negara lain menjadi bagian dari penduduknya.
Maka dari sini jika kita berpegang kepada madzhab yang pertama yakni wihdatul mathla’ yang memandang bahwa hilal adalah satu, sebaiknya harus konsisten, tidak dengan pertimbangan karena akan pulang ke Indonesia yang berbeda hari lebarannya dan harus punya landasan syar’i mengapa harus ikut hilal di Indonesia.
Tapi kalau mengikuti kelompok ikhtilaful mathali’ maka sesungguhnya akan lebih longgar dan fleksibel karena awal puasa mengikuti negara setempat dan ketika pulang bisa menggenapkan hitungan hari puasanya hingga 30 hari sesuai fatwa imam Ibnu Hajar Al Haitami.
Lalu, bolehkah salat ied di hari ketiga syawal?
Ini merupakan konsekuensi bagi yang pulang ke Indonesia dengan awal hari puasa yang berbeda, yakni perbedaan masuk syawal secara hitungan hari. Bila di negara setempat awal Ramadhan lebih awal daripada Indonesia maka otomatis dia akan melakukan salat ied yang dalam hitungannya adalah hari ke 2 syawwal.
Menyikapi hal ini ada sebuah hadist yang menjelaskan kebolehannya:
“Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu dari paman-pamannya di kalangan sahabat bahwa suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat salat mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam kitab Subulussalam hadis tersebut dijadikan landasan oleh Imam Syaukani tentang dibolehkannya melakukan salat ied di hari ke dua dan tiga dengan alasan ketidaktahuan, kemudian diqiyaskan kepada semua jenis udzur syar’i.
(mhy)