Awal Puasa, Mengikuti Arab Saudi atau Negara Masing-masing?

Sabtu, 18 April 2020 - 09:30 WIB
loading...
Awal Puasa, Mengikuti...
Lalu, bolehkah salat ied di hari ketiga syawal? Ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
Sejauh ini belum ada keputusan resmi kapan awal puasa dimulai. Lazimnya, antara negara yang satu dengan lain bisa berbeda, bisa juga tidak. Perbedaan penentuan awal puasa seringkali menjadi perdebatan sengit di antara umat Islam. Ada yang berpendapat harus ikut Arab Saudi. Di sisi lain, ada berpendapat isbatnya sesuai ru’yah masing-masing negara saja.

Perbedaan seputar isbat memang berkaitan dengan masalah melihat hilal. Dalam masalah ini, bila dipetakan ada dua kelompok besar.

Pertama, wihdatul mathla’ yakni kelompok yang meyakini bahwa hilal itu satu dan global. Bila satu negara telah melihat hilal, maka wajib bagi seluruh penduduk dunia ikut ru’yahnya.

Kelompok ini menggunakan dalil: “Berpuasalah kalian di hari dimana kalian semua berpuasa, dan berbukalah (berlebaran) di hari dimana semua kalian berlebaran” (HR Tirmidzi)

Kedua, ikhtilaful mathali’. Kelompok ini meyakini bahwa hilal bisa berbeda di setiap wilayah sebagaimana disebutkan dalam hadis Kuraib.

Dari Kuraib, sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib: ”Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadhan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadhan) pada malam Jum’at.

Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan). Lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku (tentang beberapa hal). Kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadhan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”. Ia bertanya lagi: “Engkau melihatnya (sendiri)?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”.

Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “.

Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami (HR Muslim)

Imam Nawawi, dalam syarah sahih Muslim, saat menjelaskan hadis Kuraib mengatakan, jika terlihat hilal pada suatu negara, tidak berlaku hukumnya pada negara yang jauh darinya, dari situ tertera hadis Kuraib dari Ibnu Abbas yang menjelaskan secara jelas.

Menurut pendapat Ashhabinaa (ulama Syafi’iyah), ru’yah pada suatu negeri tidak berlaku untuk setiap orang di bumi ini, tetapi dibatasi pada kawasan di bawah jarak berlakunya qashar.

Pendapat lain dibatasi pada kawasan yang sama mathali’nya. Pendapat lain lagi, dibatasi hanya pada yang sama iklimnya.

Sebagian Ashhabina, ru’yah mewajibkan puasa semua penduduk bumi. Maka dalam hal ini kami berpendapat bahwa Ibnu Abbas menolak berita Kuraib bukan karena kesaksiannya hanya satu orang, tetapi karena ru’yah tidak berlaku bagi orang yang jauh.”

Hal ini juga ditegaskan dalam kitabnya yang terkenal di kalangan Syafi’iyah. Dalam kitab Minhaju Thalibin, Imam Nawawi juga menekankan bahwa hilal berlaku untuk negara yang berdekatan dan sama terlihat mathla’nya, sementara untuk batasan diberlakukannya ikhtilaful mathali’ adalah batas berlakunya salat qasar.

Di antara para ulama kontemporer Syekh Utsaimin menyatakan bahwa hal ini tergantung kepada mathla’ setiap negara. “Hal ini tergantung kepada pandangan para ahli Ilmu: apakah hilal itu satu di dunia secara universal, atau dia berbeda berdasarkan terbitnya? Dan yang paling benar adalah bahwa hilal berbeda sesuai dengan tempat munculnya.

Dan juga apabila ditetapkan bahwa hasil rukyat negara itu tertinggal dari Makkah, sehingga tanggal 9 di Makkah menjadi tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu puasanya pada tanggal 9 menurut negara itu, walaupun itu berarti sudah tanggal 10 di Makkah. Dan inilah pendapat yang rajih karena Nabi SAW bersabda: Apabila kamu melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan apabila kamu melihatnya maka berbukalah.”

Melalui semua perbedaan ini, Firman Arifandi, dalam buku berjudul Nastar (Nanya-nanya Seputar Ramadhan), berpendapat lebih cenderung untuk mengikuti pendapat bahwa mathla setiap negara berbeda sehingga isbat tiap negara juga pastinya bisa jadi berbeda.

“Kalaupun harus percaya kepada wihdatul mathla’, kenapa juga harus ikut isbat Saudi yang ulama Saudi sendiripun tidak berharap isbatnya diikuti semua negara seperti pendapat Syekh Utsaimin,” ujar dosen di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta ini.

WNI yang Mudik
Jika ada warga negara Indonesia yang tinggal di negara lain di mana awal penentuan Ramadhanya berbeda sehari atau dua hari dengan Indonesia, dan WNI ini hendak pulang ke Indonesia di pertengahan Ramadhan atau beberapa hari setelah awal puasa, dia harus ikut awal puasa Indonesia atau negara tempatnya tinggal?

Lulusan S2 prodi Ushul Fiqh di International Islamic University Islamabad, Pakistan, ini berpendapat konsekuensinya jika dia ikut awal puasa di negaranya berada, ketika sampai di Indonesia dia akan menjalani jumlah hari puasa yang tidak sempurna, bisa kurang dari 29 hari karena lebaran di Indonesia lebih awal, atau puasa lebih dari 30 hari karena awal puasa di negara sebelumnya yang jauh lebih awal dari Indonesia.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3094 seconds (0.1#10.140)