Zakat untuk Pemerataan, Haruskan untuk Muslim Saja?

Selasa, 19 Mei 2020 - 17:09 WIB
loading...
A A A
Salamah (1978, 98-99) berpendapat bahwa dalam permasalahan manusia yang bersifat keuangan dan perekonomian, Islam menentukan batas-batas dan meletakkan kaidah-kaidah yang sangat jelas, yaitu yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan kepercayaan. Islam menyatakan bahwa harta benda itu bukan tujuan dalam hidup ini, akan tetapi hanya alat semata untuk mempertukarkan manfaat dan saling memenuhi keperluan, yang digunakan untuk mencapai keadilan sosial yang dicita-citakan Islam. Harta benda itu sendiri sebagai alat yang tunduk kepada kehendak manusia adalah netral. Jadi kehendak manusia itu dapat menjadikan harta benda itu sebagai nikmat, rejeki, dan kurnia yang berguna, demi untuk mencapai yang baik. Namun kehendak manusia itu pulalah yang dapat mengubah harta benda itu menjadi sumber azab dan sengsara bagi manusia itu sendiri.



Salamah merasa heran karena dewasa ini umat Islam pada umumnya mentolerir praktek-praktek riba dalam bidang keuangan dan ekonomi, yang berdasarkan eksploitasi dalam bentuknya yang paling buruk, sehingga gejala ini memperlihatkan bahwa harta benda itu telah menguasai hak-hak asasi manusia. Ia berpendapat bahwa kegiatan yang berdasarkan riba ini pulalah yang menyebabkan mengapa sebagian besar harta benda menumpuk di tangan segelintir kecil manusia yang sangat kaya.

Zakat sebagai rukun Islam ketiga, menurut pendapatnya, disamping membersihkan jiwa dan harta benda, juga merupakan alat pemerataan yang ampuh dari harta benda dalam masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa zakat merupakan sebagian besar dari pendapatan negara yang menjadikan negara-negara dulu kaya dan makmur, serta tak mengenal kemiskinan dan
penderitaan. Selanjutnya ia memandang bahwa relevansi zakat di masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas daripada pajak
yang telah ada, karena tempat penyalurannya berbeda. Zakat merupakan faktor utama dalam pemerataan harta benda di
kalangan masyarakat, dan juga merupakan sarana utama dalam menyebarluaskan perasaan senasib-sepenanggungan dan
persaudaraan di kalangan umat manusia. Karena itu dapat dikatakan bahwa zakat, kalau akan dinamakan pajak, maka ia
adalah pajak dalam bentuk yang amat khusus.

Bagi Tawati (1986), kedatangan Islam adalah untuk memperbaiki kehidupan manusia yang dipenuhi ketidak-adilan. Dalam hubungan ini zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk mendirikan keadilan sosial dalam masyarakat Islam. Ia bertujuan membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan dan ketamakan, serta untuk memenuhi kebutuhan mereka yang
fakir miskin dan diselubungi penderitaan. Zakat juga digunakan untuk mendirikan segala sesuatu yang penting bagi kepentingan
umat, seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara berbagai lapisan sosial.

Menurut pendapat Tawati, definisi-definisi yang diberikan para ulama terhadap zakat memberikan kesan, semuanya itu bermuara pada seruan mendirikan masyarakat Islam yang kokoh, kerjasama antara anggota umat berdasarkan kebaikan dan ketaqwaan, dan seruan untuk berusaha sedapat mungkin agar semua orang dapat hidup dalam suatu tingkat kehidupan yang layak dan mulia, karena kepentingan-kepentingannya yang utama dalam hidup telah terpenuhi.

Perbedaan yang mendasar antara zakat dan pajak, menurut pendapatnya, adalah bahwa pajak dibayar orang karena terpaksa, tapi zakat dibayarkan sebagai lambang kerja sama, persaudaraan yang sungguh-sungguh, yang dilaksanakan dengan cara yang berbeda pula. Dan yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa zakat itu adalah ibadah.

Dalam pemikiran para sarjana Muslim di Indonesia, zakat adalah alat pemerataan dan mencegah tertumpuknya modal sehingga tak akan lahir monopoli dan monopsoni (Kuntowijoyo 1991). Baginya zakat berpusat pada keimanan, tapi ujungnya adalah menciptakan terwujudnya kesejahternan sosial.Penelitian membuktikan, zakat telah terbukti dapat mengurangi jumlah orang miskin di beberapa tempat tertentu. Karena itu zakat dapat dipahami dalam konteks yang lebih real dan lebih faktual.

Mas'udi melaporkan bahwa ada pendapat-pendapat di Indonesia yang ingin lebih memberikan penekanan pada tarif yang tinggi (20%) dari zakat dengan berpegang kepada rikaz, yang dirasakan Mas'udi sendiri merupakan suatu kebuntuan. Memang merupakan masalah apakah kaum Muslim, atau para ulama mereka, berhak mengubah suatu ketentuan agama yang telah baku (qath'i) demikian saja berdasarkan perubahan situasi dan kondisi. Bagi golongan Syi'ah hal ini tak menjadi masalah, karena seperti dilaporkan Nasr (1975), dalam kalangan Syi'ah praktik khums adalah suatu praktik yang telah biasa.

Fakir Miskin
Rahman Zainuddin menyatakan tertarik oleh apa yang dilaporkan Thabbarah tentang perbedaan antara fakir dan miskin dalam membicarakan golongan-golongan orang yang berhak menerima zakat. Menurut pendapat 'Akramah Maula Ibn 'Abbar, yang dimaksud dengan fakir itu adalah golongan miskin kaum Muslim, sedangkan yang dimaksud dengan miskin itu adalah golongan miskin kaum non-Muslim (ahl al-kitab). Pendapat ini diperkuat pula oleh pendapat 'Umar bin Khattab yang menafsirkan al-masakin dengan golongan lemah ahl al-kitab.



Suatu kali ia melihat seorang zhimmi yang buta tergeletak di pintu kota. 'Umar bertanya kepadanya, "Kenapa Anda?" Ia menjawab, "Dahulu mereka memungut jizyah dariku. Ketika saya telah buta, mereka menelantarkan saya. Tak ada orang yang membantu saya sedikitpun". Umar menjawab, "Kalau begitu, kami telah berlaku tak adil terhadapmu."

Setelah itu ia memerintahkan agar diberi makan dan belanja untuk memperbaiki tingkat hidupnya. 'Umar berpendapat ini adalah penafsiran perkataan Tuhan, innama 'I-shadaqatu li 'I-fuqara' wa 'I masakin. Jadi baginya, masakin itu adalah orang-orang ahl al-kitab yang tak mampu lagi bekerja, atau menderita penyakit yang tak dapat sembuh lagi. Namun pendapat itu tentu saja bertentangan dengan pendapat jumhur ahli fiqh yang berpendapat, zakat itu hanya diberikan kepada orang Islam saja.

Hanya untuk Muslim
Dalilnya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz Bin Jabal ketika berdakwah mengajak kepada Islam. Ketika mereka menerima dakwah dan masuk Islam, mereka diperintahkan membayar zakat yang diambil dari orang kaya kaum muslimin dan dibagikan kepada orang miskin dari kaum muslimin.

Rasulullah bersabda kepada Mu’adz ketika akan berdakwah ke Yaman,

ﻓﺈﻥ ﺃﻃﺎﻋﻮﻙ ﻟﺬﻟﻚ ﻓﺄﻋﻠﻤﻬﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻓﺘﺮﺽ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺻﺪﻗﺔ ﺗﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﺃﻏﻨﻴﺎﺋﻬﻢ ﻓﺘﺮﺩ ﻓﻲ ﻓﻘﺮﺍﺋﻬﻢ

“Jika mereka pun patuh untuk itu, ajari pula mereka bahwa Allah mewajibkan mereka menunaikan zakat yang ditarik dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan pada para fakir miskin dari kalangan mereka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Ibnul Mudzir menyatakan ada ijma’ ulama dalam hal ini. Beliau berkata, “Ulama menyatakan secara ijma’ bahwa kafir dzimmi tidak diberi zakat sedikitpun.” [Al-Ijma’ hal.8]. An-Nawawi juga menyatakan inilah pendapat jumhur ulama. Beliau berkata, “Jumhur ulama salaf (dahulu) dan khalaf (sekarang) berpendapat tidak boleh memberikan zakat kepada fakir atau miskin dari orang kafir.” [Al-Majmu’ 6/228)

Demikian juga Ibnu Qudamah menyatakan, “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dari ahli ilmu bahwa zakat harta tidak boleh diberikan kepada orang kafir dan budak.” [Al-Mughni 2/487]

Demikian juga zakat fitri, tidak boleh diberikan kepada orang kafir.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2003 seconds (0.1#10.140)