Hukum Menghidupkan Malam Nisfu Syaban (1)

Jum'at, 19 Maret 2021 - 16:39 WIB
loading...
Hukum Menghidupkan Malam Nisfu Syaban (1)
Pengasuh Yayasan Al-Hawthah Al-Jindaniyah, Al-Habib Ahmad Bin Novel Bin Salim Bin Jindan. Foto/Ist
A A A
Hari ini kita sudah memasuki 5 Sya'ban 1442 Hijriyah bertepatan Jumat 19 Maret 2021. Tinggal hitungan hari kita akan sampai di bulan suci Ramadhan, insya Allah.

Bulan Sya'ban adalah bulan yang agung dan mulia. Bulan yang dikhususkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan berpuasa dan beribadah. Sebelum kita membahas lebih dalam tentang malam Nisfu Sya'ban, ada beberapa poin yang perlu diketahui. Tahun ini insya Allah malam Nisfu Syaban (15 Syaban) akan jatuh pada malam Malam Senin 28 Maret 2021



Pengasuh Yayasan Al-Hawthah Al-Jindaniyah, Al-Habib Ahmad Bin Novel Bin Salim Bin Jindan menerangkan bahwa Hadits shahih dan hadits hasan adalah hadits yang kuat dan dapat dijadikan sebagai pondasi hukum agama. Adapun hadits dhaif tidaklah dapat dijadikan sebagai pondasi hukum, namun para ahli hadits menyatakan bahwa hadits dhaif boleh dijadikan pedoman dalam menjalankan suatu amal yang berpahala.

Hal ini diistilahkan dengan Fadhoil A'mal, yakni hadits yang menyatakan tentang kemulian suatu amal ibadah tertentu dengan pahala tertentu. Ahli hadits menyatakan bahwa bolehnya menjadikan hadits dhaif sebagai pedoman dalam Fadhoil A'mal dengan beberapa syarat, di antaranya adalah:
1. Status kedhaifannya tidak sangat parah.
2. Jenis amal ibadah yang dianjurkan dalam hadits dhaif tersebut adalah jenis yang direstuidalam hadits yang shahih atau hasan.
3. Mengamalkan hadits dhaif dalam Fadhoil A’mal tersebut dengan tanpa beriti’qad bahwa perkara tersebut adalah bagian dari sunnah nabi. Namun dengan tujuan ihtiath (berhati‐hati) agar perkara yang berkemungkinan sebagai bagian dari agama tidak terbuang.

Di antara poin yang perlu diketahui juga adalah bahwa hadits yang lemah dapat naik statusnya dengan dukungan keberadaan hadits‐hadits lainnya. Contohnya, jika suatu amal ibadah tertentu dengan pahala tertentu disebutkan oleh suatu hadits yang dhaif, dan kemudian terdapat beberapa hadits‐hadits dhaif yang lain yang menyebutkan tentang amal ibadah yang sama, maka hadits‐hadits dhaif itu saling menguatkan dan mendukung satu sama lain hingga mengangkat statusnya yang dhaif menjadi status hasan li ghoirihi (hadist hasan karena mendapat dukungan).

Demikian halnya dengan hadits hasan apabila terdapat hadits‐hadits pendukung yang mendukungnya maka statusnya terangkat dari hadits hasan menjadi shahih li ghoirihi (hadits shahih karena mendapat dukungan).

Kedua poin penting ini adalah sebagian kecil dari ilmu Mushthalah Al Hadits (ilmu penelitian keabsahan hadits) dan masih banyak lagi poin‐poin penting dalam meneliti suatu hadits. Hal ini perlu dinyatakan dengan tegas sehingga orang‐orang yang tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadist tidak lancang menyatakan pengingkarannya terhadap suatu hadits.

"Karena di zaman ini banyak orang yang dengan lancang mengatakan dengan gaya yang meremehkan "itu adalah hadits dhaif", seakan hadits dhaif sama sekali tidak punya tempat dalam agama Islam. Seakan hadits dhaif hanyalah salah satu sampah yang harus dibuang dan dibakar. Na'udzubillah. Kami berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala dari kelancangan terhadap syariat Allah," kata Habib Ahmad saat mengisi kajian Daurah Kemuliaan Bulan Syaban beberapa waktu lalu.

Untuk diketahui, para ulama ahli hadits meriwayatkan hadits‐hadits dhaif dan membuat aturan, syarat dan ketentuan yang ketat terhadapnya tiada lain karena kehati‐hatian mereka yang amat sangat besar terhadap hadits Rasulullah. Sebagaimana mereka tidak berani menyatakan suatu kepastian yang bulat bahwa hadits dhaif sebagai hadits yang sangat pasti keabsahannya. Mereka juga tidak berani menyatakan suatu kepastian bulat bahwa hadits dhaif sebagai hadits yang palsu.

Mereka khawatir jika mereka menyatakan bahwa hadits dhaif tersebut adalah pasti keabsahannya namun ternyata tidak demikian dan sebaliknya mereka juga khawatir jika mereka menyatakan bahwa hadits dhaif sebagai hadits palsu, namun ternyata tidak demikian. Karena itulah mereka meriwayatkan hadits‐hadits dhaif agar tidak membuang apa yang berkemungkinan sebagai bagian dari agama Allah. Dan mereka membuat aturan, syarat dan ketentuan yang ketat terhadapnya agar membentengi agama Allah dari apa yang kemungkinan bukan sebagai bagian dari agama Allah.

Nisfu Sya'ban Adalah Malam Mulia
Malam Nisfu Sya’ban adalah malam mulia di sisi Allah Ta’ala serta malam yang penuh dengan keberkahan dari Allah. Banyak diriwayatkan dari hadits Nabi menyebutkan tentang keistimewaan dan kemuliaan malam Nisfu Sya’ban ini. Beberapa yang diriwayatkan adalah hadits berstatus shahih, hasan, dha’if, sangat lemah, dan palsu.

Kita tidak akan menggunakan hadits yang palsu karena hadits palsu tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak pantas disebut sebagai hadits. Terdapat hadits‐hadits yang shahih dan hasan sebagaimana juga terdapat hadits‐hadits yang dha’if.

Al-Muhaddits Al Imam As‐Sayyid Abdullah bin Muhammad Al‐Ghumari (seorang ahli hadits besar di Maghrib), beliau di dalam kitabnya menyebutkan sekitar lebih dari 10 hadits Nabi yang meriwayatkan tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban secara khusus. Memakmurkan malam Nisfu Sya’ban adalah perkara yang tidak dilarang oleh agama. Sebab malam itu adalah malam mulia di sisi Allah dengan keberkahan‐Nya.

Dahulu, para ulama di Negeri Syam memakmuran malam Nisfu Sya’ban, baik secara sendiri maupun berkelompok di masjid. Di antara ulama yang berpendapat dan ikut memakmurkan malam Nisfu Sya’ban di masjid adalah seorang ulama besar di Negeri Syam, yaitu Khalid ibnu Ma’dan, Lukman bin Amir, serta ulama‐ulama besar lainnya.
Diriwayatkan bahwa mereka pada malam Nisfu Sya’ban memakai pakaian terbagus, wewangian terharum, dan mereka memakmurkan malam Nisfu Sya'ban di masjid dengan beribadah semalam suntuk kepada Allah Ta'ala.

(Bersambung)!

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1703 seconds (0.1#10.140)