Rasulullah Pernah Ditanya, Siapa Orang Paling Cerdas?
loading...
A
A
A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Suatu hari Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah ditanya, "Siapakah orang yang paling cerdas di dunia ini?"
Nabi Muhammad Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menjawab, "Al-Akyas; orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu memikirkan kematiannya!"
Ya, itulah jawaban puncak dari seorang yang dikenal paling cerdas untuk mendefinisikan batasan tingkat kecerdasan manusia.
Barometer intelegensi atau ukuran standar kecerdasan seseorang ternyata bukanlah berdasarkan nilai-nilai angka kumulatif. Bukan pula pada nilai kualitatif, melainkan pada nilai orientatif, nilai goal yang akan dicapai.
Sebab, selama kecerdasan hanya berorientasi pada urusan keduniawian yang semu ini, maka dia masih tertipu, dan orang cerdas tentu tidak akan mudah tertipu, bukan?
Orang yang cerdas tidak akan banyak membuang-buang sisa umurnya yang terus berkurang setiap harinya dengan hal-hal yang sia-sia. Benarlah ucapan Nabi: "Tanda kualitas seseorang, dia tidak akan melakukan hal-hal yang sia-sia."
Kondisi pandemi dalam setahun terakhir sesungguhnya banyak mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan dunia itu singkat, prestasi dan pencapaian keduniawian itu semu. Semua akan ditinggalkan dalam satu malam saja. Tak ada yang abadi.
Tetangga saya kemarin terlihat masih muda, tampak sehat afiat, katanya nanti saja beribadah kalau sudah berumur. Tahunya malamnya sudah meninggal dunia. Siapa sangka?
Ada anak muda, setiap hari nongkrong di kafe, hobinya main game online, kadang joget-joget tik tok, beberapa hari sakit pun langsung meninggal dunia. Jangankan dia mampu menghabiskan masa mudanya, menyelesaikan game online saja belum selesai. Itulah dunia, Ghurur alias menipu kata Al-Qur'an.
Di media sosial kita akan temui banyak sekali perilaku orang-orang yang tidak paham makna hakikat hidup ini seperti apa sesungguhnya. Kita bisa perhatikan dari status-status yang mereka tuliskan atau konten yang mereka posting.
Kadang ada yang hanya suka bercanda-canda, lebai, narsis, mereka paling pintar, merasa hebat, merasa cantik, merasa kaya, kadang pula status-status keluhan atau ratapan kesedihan dan keputus-asaan.
Sekiranya paham hakikat kehidupan ini, mau kemana sesungguhnya hidup yang singkat ini. Bekal apa yang harus dipersiapkan, tentu tak akan ada waktu untuk bersenang-senang secara berlebihan atau bersedih terlampau berlebihan.
Sebab, dunia ini bukan tujuannya untuk bersenang-senang dan mengejar kenikmatan hakiki. Dunia juga sifatnya Darul Balwa; tempat musibah, petaka, fitnah dan kesedihan. Jadi, memang seperti itulah fitrahnya, jadi tak perlu juga berlebihan meratapinya.
Kembali pada pembicaraan di atas bahwa ukuran kecerdasan itu bukan lagi soal pendidikan. Bukan soal materi, bukan pula soal pencapaian seberapa banyak yang sudah dikumpulkan. Akan tetapi, kecerdasan adalah kemampuan melihat masa depan.
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Suatu hari Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah ditanya, "Siapakah orang yang paling cerdas di dunia ini?"
Nabi Muhammad Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menjawab, "Al-Akyas; orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu memikirkan kematiannya!"
Ya, itulah jawaban puncak dari seorang yang dikenal paling cerdas untuk mendefinisikan batasan tingkat kecerdasan manusia.
Barometer intelegensi atau ukuran standar kecerdasan seseorang ternyata bukanlah berdasarkan nilai-nilai angka kumulatif. Bukan pula pada nilai kualitatif, melainkan pada nilai orientatif, nilai goal yang akan dicapai.
Sebab, selama kecerdasan hanya berorientasi pada urusan keduniawian yang semu ini, maka dia masih tertipu, dan orang cerdas tentu tidak akan mudah tertipu, bukan?
Orang yang cerdas tidak akan banyak membuang-buang sisa umurnya yang terus berkurang setiap harinya dengan hal-hal yang sia-sia. Benarlah ucapan Nabi: "Tanda kualitas seseorang, dia tidak akan melakukan hal-hal yang sia-sia."
Kondisi pandemi dalam setahun terakhir sesungguhnya banyak mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan dunia itu singkat, prestasi dan pencapaian keduniawian itu semu. Semua akan ditinggalkan dalam satu malam saja. Tak ada yang abadi.
Tetangga saya kemarin terlihat masih muda, tampak sehat afiat, katanya nanti saja beribadah kalau sudah berumur. Tahunya malamnya sudah meninggal dunia. Siapa sangka?
Ada anak muda, setiap hari nongkrong di kafe, hobinya main game online, kadang joget-joget tik tok, beberapa hari sakit pun langsung meninggal dunia. Jangankan dia mampu menghabiskan masa mudanya, menyelesaikan game online saja belum selesai. Itulah dunia, Ghurur alias menipu kata Al-Qur'an.
Di media sosial kita akan temui banyak sekali perilaku orang-orang yang tidak paham makna hakikat hidup ini seperti apa sesungguhnya. Kita bisa perhatikan dari status-status yang mereka tuliskan atau konten yang mereka posting.
Kadang ada yang hanya suka bercanda-canda, lebai, narsis, mereka paling pintar, merasa hebat, merasa cantik, merasa kaya, kadang pula status-status keluhan atau ratapan kesedihan dan keputus-asaan.
Sekiranya paham hakikat kehidupan ini, mau kemana sesungguhnya hidup yang singkat ini. Bekal apa yang harus dipersiapkan, tentu tak akan ada waktu untuk bersenang-senang secara berlebihan atau bersedih terlampau berlebihan.
Sebab, dunia ini bukan tujuannya untuk bersenang-senang dan mengejar kenikmatan hakiki. Dunia juga sifatnya Darul Balwa; tempat musibah, petaka, fitnah dan kesedihan. Jadi, memang seperti itulah fitrahnya, jadi tak perlu juga berlebihan meratapinya.
Kembali pada pembicaraan di atas bahwa ukuran kecerdasan itu bukan lagi soal pendidikan. Bukan soal materi, bukan pula soal pencapaian seberapa banyak yang sudah dikumpulkan. Akan tetapi, kecerdasan adalah kemampuan melihat masa depan.
(rhs)