Mempersiapkan Anak untuk Berlatih Puasa
loading...
A
A
A
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan diperintahkan Allah kepada umat muslim yang sudah baligh. Lantas bagaimana dengan anak-anak yang berusia dini dan belum akil baligh? Persiapan apa saja yang harus dilakukan orang tua untuk mengajari mereka berpuasa ini?
Syariat Islam memerintahkan kita melatih anak-anak kecil untuk menunaikan kewajiban sejak usianya genap tujuh tahun. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan sholat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya ketika berusia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari ibnu Umar).
Dr Yusuf Qardhawi dalam 'Buku Fiqih Puasa' menjelaskan, hadis di atas membagi ihwal belajar menjadi dua tahapan. Tahapan perintah, pengajaran, dan ajuran. Ini setelah umur tujuh tahun. Tahapan kedua adalah tahapan pukulan, pelatihan dan ancaman. Ini setelah anak berusia sepuluh tahun.
Pemukulan tidak dilakukan kecuali setelah anak diberi kesempatan tiga tahun untuk diajak, dimotivasi, dan diberi harapan balasan. Setelah itu adalah tahapan penugasan dan sanksi, tentu yang sesuai. Semua itu dalam rangka menanamkan perasaan serius. Persoalan sepenuhnya diserahkan kepada orang tua. Bukan sekadar kata-kata yang terucap dan setelah itu tidak ada perhitungan, pahala dan sanksi.
Memukul yang dimaksud, adalah sarana yang dipergunakan karena keadaan darurat. Darurat diukur sesuai kadarnya. Pukulan tidak boleh menggunakan cemeti atau kayu, yang menyakitkan dan melukai. Ayah yang terbaik adalah ayah yang tidak menginginkan pemukulan pada anak-anaknya, namun mendidik mereka dengan contoh, kata-kata dan nasihat yang baik, dalam rangka meneladani Rasulullah SAW, yang tidak pernah sama sekali memukul makhluk hidup dengan tangannya, tidak kepada istri, pembantu, anak-anaknya, bahkan tidak juga kepada binatang.
Menurut Dr Qardhawi, jika hadis tersebut berkaitan dengan masalah sholat, namun ia bersesuaian dengan puasa dalam berbagai hal kecuali satu, yakni dalam hal kemampuan jasmaniah. Boleh jadi seorang anak sudah berusia tujuh tahun atau sepuluh tahun, tetapi tubuhnya masih lemah, belum mampu untuk berpuasa. Untuk yang demikian hendaknya ditunda hingga benar-benar telah kuat.
Para Sahabat dahulu membiasakan anak-anaknya berpuasa ketika mereka masih kecil, dengan cara memberikan mainan berupa bulu domba. Mereka bermain dengan asyiknya hingga tidak terasa saat berbuka puasa tiba.
Salah satu kekeliruan yang sering dilakukan para orang tua saat ini adalah, mereka membiarkan anak-anak mereka hingga besar tanpa dilatih untuk menunaikan kewajiban dan ketaatan. Apabila mereka diperintah menunaikan kewajiban setelah masa balig, tentu akan terasa lebih berat daripada memikul gunung sekalipun.
Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang penyair :
Anak-anak mendapat manfaat dari pendidikan di masa kecil,
tidaklah manfaat itu mereka dapat, jika ditempuh di waktu tua.
Ranting-ranting kau luruskan niscaya lurus,
sedangkan kayu tetaplah bergeming meski kau paksa.
Wallahu A'lam
Syariat Islam memerintahkan kita melatih anak-anak kecil untuk menunaikan kewajiban sejak usianya genap tujuh tahun. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan sholat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya ketika berusia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari ibnu Umar).
Dr Yusuf Qardhawi dalam 'Buku Fiqih Puasa' menjelaskan, hadis di atas membagi ihwal belajar menjadi dua tahapan. Tahapan perintah, pengajaran, dan ajuran. Ini setelah umur tujuh tahun. Tahapan kedua adalah tahapan pukulan, pelatihan dan ancaman. Ini setelah anak berusia sepuluh tahun.
Pemukulan tidak dilakukan kecuali setelah anak diberi kesempatan tiga tahun untuk diajak, dimotivasi, dan diberi harapan balasan. Setelah itu adalah tahapan penugasan dan sanksi, tentu yang sesuai. Semua itu dalam rangka menanamkan perasaan serius. Persoalan sepenuhnya diserahkan kepada orang tua. Bukan sekadar kata-kata yang terucap dan setelah itu tidak ada perhitungan, pahala dan sanksi.
Memukul yang dimaksud, adalah sarana yang dipergunakan karena keadaan darurat. Darurat diukur sesuai kadarnya. Pukulan tidak boleh menggunakan cemeti atau kayu, yang menyakitkan dan melukai. Ayah yang terbaik adalah ayah yang tidak menginginkan pemukulan pada anak-anaknya, namun mendidik mereka dengan contoh, kata-kata dan nasihat yang baik, dalam rangka meneladani Rasulullah SAW, yang tidak pernah sama sekali memukul makhluk hidup dengan tangannya, tidak kepada istri, pembantu, anak-anaknya, bahkan tidak juga kepada binatang.
Menurut Dr Qardhawi, jika hadis tersebut berkaitan dengan masalah sholat, namun ia bersesuaian dengan puasa dalam berbagai hal kecuali satu, yakni dalam hal kemampuan jasmaniah. Boleh jadi seorang anak sudah berusia tujuh tahun atau sepuluh tahun, tetapi tubuhnya masih lemah, belum mampu untuk berpuasa. Untuk yang demikian hendaknya ditunda hingga benar-benar telah kuat.
Para Sahabat dahulu membiasakan anak-anaknya berpuasa ketika mereka masih kecil, dengan cara memberikan mainan berupa bulu domba. Mereka bermain dengan asyiknya hingga tidak terasa saat berbuka puasa tiba.
Salah satu kekeliruan yang sering dilakukan para orang tua saat ini adalah, mereka membiarkan anak-anak mereka hingga besar tanpa dilatih untuk menunaikan kewajiban dan ketaatan. Apabila mereka diperintah menunaikan kewajiban setelah masa balig, tentu akan terasa lebih berat daripada memikul gunung sekalipun.
Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang penyair :
Anak-anak mendapat manfaat dari pendidikan di masa kecil,
tidaklah manfaat itu mereka dapat, jika ditempuh di waktu tua.
Ranting-ranting kau luruskan niscaya lurus,
sedangkan kayu tetaplah bergeming meski kau paksa.
Wallahu A'lam
(wid)